oleh: Nissa Soewardjono
MENJELANG tahun politik, aliran politik identitas bukan lagi hal yang tabu disematkan oleh bakal calon peserta Pilpres.
Pada awalnya istilah politik identitas mempunyai arti yang tendensius, namun akhirnya serangan menggunakan politik identitas adalah keniscayaan yang harus siap mereka hadapi. Rezim menyadari betul akan hal ini, mengaca pada Pilkada DKI.
Karenanya, pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang selama ini oleh sebagian masyarakat, distigmakan sebagaian masyarakat ‘sering berkonfrontasi dengan kepentingan umat Islam’, secara tiba-tiba menggandeng Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf Amien menjadi calon wakil presiden (cawapres), dengan menyingkirkan bakal calon lain.
Seketika umat dibuat bingung, dan tak sedikit yang menyambut dengan eforia, melupakan ‘dosa-dosa penguasa’ kepada umat Islam. Terlebih pihak oposisi tidak jadi mengangkat ulama sebagai cawapres. Dari sini, umat Islam harus menyikapi dengan kritis terhadap pilihan calon di Pilpres nanti.
Ada beberapa kemungkinan alasan mengapa sebagian umat Islam tetap tidak akan memilih Jokowi di Pilpres 2019. Namun sebelumnya, perlu saya sampaikan bahwa dasar persepsi saya tentang dua paslon peserta Pilpres adalah kaidah fiqh: Idhaa ta’aarodho dhororooni daf’u akhfahuma (jika ada dua pilihan maka pilihlah yang paling ringan mudharatnya).
Pertama, Jokowi diusung oleh partai yang dinilai sebagian orang ‘tidak bersahabat’ dengan umat Islam. Hal ini sangat penting, karena merekalah pembisiknya nanti terhadap kebijakan yang terkait dengan kepentingan umat.
Sudah jadi rahasia umum, partai-partai pendukung yang sering disebut kelompok ‘penista agama’ ada di pihak mereka. Catatan tentang PDIP di parlemen sebagai partai yang tidak mengakomodir kepentingan umat, menjadi sejarah yang tidak terlupakan oleh sebagaian umat.
Kedua, sudah bisa diraba sinyalnya, ijtima’ ulama tidak mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Keputusan ijtima’ ulama setidaknya pendapat banyak perwakilan umat Islam Indonesia. Meskipun Jokowi berpasangan dengan seorang ulama, tapi keputusan perwakilan ulama dan tokoh Islam dalam ijtima’ punya kedudukkanya dari keputusan ulama per orangan atau kelompok kecil.
Ketiga, pemerintahan Jokowi menerbitkan Perppu Ormas yang secara substansial dianggap merugikan sebagian umat Islam, karena Perppu itu akan dianggap membatasi dan mengekang dakwah Islam.
Keempat, dalam satu periode masa pemerintahan Jokowi, penistaan agama sangat sulit diproses hukum sesuai azas keadilan. Rezim tidak serius menangani pelanggaran hukum ini, bahkan terkesan menjadikan tersangka penista sebagai korban.
Contoh yang paling nyata adalah kasus penistaan agama oleh mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Begitu lambannya sikap Presiden Jokowi menjadikan Ahok tersangka, sehingga umat harus turun ke jalan.
Kelima, adanya sejumlah catatan kriminalisasi ulama sepanjang masa kepemimpinan Presiden Jokowi. Dari ‘kriminalisasi’ pemimpin FPI Habib Rizieq, Shihab penahanan Ustadz Alfian Tanjung, sampai pemanggilan Ustadz Zulkifli Muhammad Ali dan usaha-usaha yang dirasakan umat Islam sebagai ‘kriminalisasi dai dan ulama’.
Keenam, dengan adanya pembiaran persekusi para dai dan dakwah Islam, mengindikasikan Pemerintahan di bawah Presiden Jokowi dianggap tidak membawa semangat persatuan umat, tapi memperuncing perpecahan.
Ketujuh, Presiden Jokowi membiarkan keresahan umat, dengan wacana “Islam Nusantara”. Dimana sebagian umat menilai, ‘Islam Nusantara’ adalah sebuah ‘proyek liberalisasi ajaran Islam’, yang diharamkan dalam Fatwa MUI tahun 2005.
Kedelapan, di saat umat Islam sedang berduka karena ribuan masjid di Lombok hancur diterjang gempa, Menteri Agama bukannya memikirkan bagaimana membangun kembali masjid tersebut dengan segera, malah mengurusi masalah toa masjid.
Kesembilan, dua tahun yang lalu, tepatnya bulan Agustus 2016, CNN merilis berita tentang kebijakan rezim yang mengakui keberadaan agama Yahudi di Indonesia dan mereka bebas menjalankan ajaran agamanya. Meskipun tidak menjadi agama resmi, tapi wacana pengakuan tersebut sangat menyakiti perasaan umat Islam.
Baca: Komnas HAM: Persekusi #2019GantiPresiden Melanggar HAM
Kesepuluh, penggunaan dana haji untuk pembangunan infrastruktur oleh pemerintahan Jokowi, di mana pemiliknya tidak mengetahui bagaimana pertanggungjawabannya.
Kesebelas, Presiden Jokowi memaklumi beredarnya kaos berlambang palu arit, sementara kaos lambang kalimat tauhid, kaos tagar #2019GantiPresiden dipermasalahkan dan diintimidasi.
Duabelas, Fatwa MUI tahun 2015 mengharamkan pemimpin yang mengingkari janji saat kampanye. Jokowi dianggap tidak menepati janji-janji kampanye pada Pilpres 2014.
Sejumlah catatan di atas kemungkinan menjadi alasan mengapa umat Islam akan mencukupkan Jokowi hanya satu periode saja masa pemerintahannya. Sekali lagi, itulah di antara suara-suara riak umat yang sering saya dengar di tetangga, pasar, tokoh dan lingkungan sekitar. Semoga hal ini menjadi catatan.*
Penulis, emak dengan lima anak, tinggal di Semarang