Hidayatullah.com–Pemuda Tajikistan itu tidak ingin meninggalkan rumah, meskipun ibunya sudah memastikan kalau dia terlihat baik-baik saja.
Sehari sebelumnya dia memiliki janggut (jenggot) hitam bergelombang, seperti teman-temannya di masjid. Tetapi polisi telah memaksanya berjalan jongkok dengan tangan dibelakang dan pemuda berjanggut lainnya menuju tempat potong rambut, di mana janggut-janggut mereka dipaksa dicukur.
Beberapa orang yang melihat kejadian itu tertawa, tetapi, ketika tidak terlihat oleh polisi, banyak yang mengeluh.
Kejadian seperti itu telah menjadi semakin umum di Tajikistan, sebuah negara yang hampir seluruhnya daratan, yang berada berbatasan dengan Afghanistan dan China.
Pada tahun 2015 salah satu dari empat pemerintahan wilayah negara itu dilaporkan secara paksa mencukur janggut 13.000 pria, tulis laman economist.com.
Muncul orang-orang yang menjual sertifikat, lengkap dengan foto dan stempel yang terlihat resmi, memperbolehkan pemegangnnya menumbuhkan janggut.
Awalnya pemerintah Tajik menuduh perang melawan janggut itu merupakan tindakan kepolisian setempat, tetapi saat ini mengakui bahwa pihaknya menganjurkan hal itu untuk membatasi ekstrimisme agama.
Mencukur janggut hanyalah satu alat pemerintah yang digunakan untuk menekan Islam, meskipun kurang lebih seluruh populasinya pada nominalnya merupakan Muslim.
Pada 2015 pemerintah menutup lebih dari 160 toko kerudung dan hijab. Tahun lalu melarang nama-nama yang berbau Arab. Sedangkan pada awal tahun ini, pemerintah Taji melarang produksi, impor atau eksport buku-buku agama tanpa izin.
Mendapatkan izin untuk mendirikan organisasi agama, menerbitkan buku Islam atau pergi berhaji ke Makkah merupakan sebuah proses yang sulit.
Pada tahun 2010 Tajikistan memiliki 19 madrasah terdaftar dan ratusan yang tidak terdaftar. Madrasah terakhir ditutup pada 2016. Siapapun yang mengajarkan agama secara tidak resmi dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 12 tahun.
Bahkan belajar di sekolah-sekolah agama di luar negara itu dilarang. Hampir 3.000 pemuda yang berada di sekolah-sekolah agama di Afghanistan, Pakistan, Mesir dan negara lain telah dipaksa pulang.
Terdapat sekitar 3.700 masjid di negara itu. Mereka diatur secara ketat oleh pemerintah, bahkan sampai isi dari khutbah Jumat.
Menggunakan pengeras suara untuk menyiarkan adzan tidak lagi diperbolehkan. Anak-anak berumur di bawah 18 tahun dan wanita tidak diperbolehkan pergi ke masjid. Sedangkan pria/wanita berumur di bawah 40 tahun tidak diperbolehkan berhaji.
Tajikistan merupakan negara diantara bekas republik Soviet Asia Tengah yang awalnya mengizinkan sebuah partai oposisi Islam, Partai Pembangunan Islam Tajikistan (IRPT) – hasil dari kesepakatan damai yang mengakhiri perang sipil pada 1997.
Baca: Dengan Stigma Radikal, Pemerintah Tajik Larang Pemuda Muslim Naik Haji
Tetapi Emomali Rahmon, pemimpin negara itu sejak 1992, berada di pihak yang berlawanan dalam konflik itu dan secara bertahap mengingkari kesepakatan tersebut.
Pada 2015 dia melarang IRPT; sejak itu, kampanyenya melawan orang-orang Islam makin intensif.
Penindasan itu, yang tak terelakkan lagi, telah membantu meradikalisasi umat Muslim yang taat. Lebih dari 2.000 orang Tajik dituduh bergabung dengan ISIS. Mantan komandan dari sebuah pasukan elit polisi, Gulmurod Khalimov, merupakan rekrutan paling terkenal mereka.
Dalam sebuah video YouTube dia mengancam akan kembali ke Tajikistan mendirikan hukum Islam. Pada awal bulan ini Rusia mengklaim bahwa Gulmurod telah terbunuh dalam sebuah serangan udara di Suriah.
Perkiraan tidak resmi menunjukkan pengangguran di Tajik mencapai 15%. Dalam mencari pekerjaan, banyak pemuda yang pergi ke luar negeri, di mana beberapa menjadi teradikalisasi. Tetapi Rahmon terlihat lebih khawatir mengenai janggut daripada pekerjaannya.*