Hidayatullah.com– Perppu Ormas bukan langkah bijak mengatasi ormas-ormas bermasalah. Perppu yang menggantikan UU No 17/2013 ini juga merupakan bentuk ketidakmampuan pemerintah melakukan pembinaan ormas.
Demikian menurut anggota DPR RI Heri Gunawan, Selasa (24/10/2017). Hari ini, DPR RI diagendakan menggelar rapat paripurna membahas Perppu Ormas di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.
Rapat Paripurna ini sebagai proses pengambilan keputusan tingkat II apakah Perppu Ormas ini ditolak atau disetujui menjadi undang-undang.
“Perppu tentang Ormas bukanlah langkah bijak untuk menyelesaikan permasalahan ormas yang dianggap bermasalah, melainkan sebagai wujud ketidakmampuan pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap berbagai Ormas yang ada,” ujar Heri dilansir Parlementaria.
Baca: Pakar Hukum Tata Negara Sarankan DPR Tolak Perppu Ormas
Menurutnya, Perppu memang hak subjektif presiden, sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 pasal 22 ayat (1).
Dalam UUD itu, pada kegentingan yang memaksa, Presiden bisa mengeluarkan Perppu.
Ada tiga syarat, kata Heri, keluarnya Perppu berdasarkan Putusan MK No 138/PUU-VII/2009. Yaitu; kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum, terjadi kekosongan hukum, dan kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan membuat UU karena butuh waktu lama.
Sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian untuk segera diselesaikan.
Namun begitu, politisi Partai Gerindra menilai, bila merujuk pada Putusan MK, maka Perppu Ormas telah melanggar tiga syarat itu.
Baca: 6 Fraksi DPR Setuju Perppu Ormas, PAN-PKS-Gerindra Menolak
Pertama, tidak ada kebutuhan mendesak, karena kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini masih normal.
Kedua, tidak ada kekosongan hukum, karena ketiadaan UU, mengingat pengaturan tentang tata kelola dan pemberian sanksi bahkan pembubaran Ormas telah ada dalam UU No 17/2013.
Ketiga, kalau pun ada kekosongan hukum, Presiden masih bisa mengajukan perubahan UU No 17/2013 kepada DPR.
“Perppu No 2/2017 jangan sampai memberangus kebebasan berekspresi dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945. Sebab kalau itu terjadi, maka pemerintahan Joko Widodo dapat dikatakan menjadi sebuah pemerintah yang berwatak otoriter.
Kenapa dikatakan otoriter, karena setiap kewenangan diambil alih oleh pemerintah yang kontra produktif dengan semangat demokrasi Pancasila yang kita anut,” tegas Heri.
Perppu tersebut ternyata kata dia juga memberi peluang seluas-luasnya kepada Mendagri dan Menkumham untuk menilai apakah suatu ormas menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (4) huruf c.
Artinya, hanya pemerintah satu-satunya yang punya otoritas memberi tafsir apakah ormas melanggar atau tidak melanggar, bertentangan atau tidak bertentangan terhadap Pancasila. “Itu, kan, wilayah yudikatif, wilayah pengadilan,” tandasnya.
Baca: RDPU DPR, DDII: Perppu Ormas Dapat Menjerat Anggota Ormas Dakwah
Dengan Perppu tersebut, Kemenhumkam dapat membubarkan ormas semaunya sendiri. Ini otoriter namanya, masih menurutnya. Dan Perppu tersebut sangat rawan untuk disalahgunakan. Bisa terjadi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Pemerintah juga bisa semaunya sendiri menghantam suara-suara yang tidak setuju dengannya.
“Soal kita perlu mengantisipasi bahaya radikalisme, komunisme, dan paham-paham lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dengan Pancasila dan UUD 1945 serta NKRI, itu harus. Tapi caranya musti dilakukan berdasarkan mekanisme yang terbuka, adil, dan benar. Saat ini banyak instrumen yang bisa dipakai untuk melacak sejak dini ancaman radikalisme itu,” papar anggota Komisi XI ini.
Sebelumnya, diketahui pemerintah telah membantah jika Perppu Ormas dikeluarkan sebagai bentuk keotoriteran pemerintah.
Partai Gerindra bersama PAN dan PKS merupakan fraksi yang menolak Perppu Ormas untuk disahkan menjadi Undang-Undang.*