Hidayatullah.com– Pasal kritik DPR dalam Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) dikritik oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Jimly Asshiddiqie.
“Itu pasal yang tidak perlu. Berlebihan,” respons dia saat ditanya hidayatullah.com seusai kajian “Umat Islam dalam Spektrum Politik” di aula A.H. Nasution Masjid Cut Meutia, Jakarta, Rabu (14/02/2018).
Sebab menurutnya DPR sebagai lembaga tidak memiliki perasaan. Maka, tidak mungkin merasa terhina.
Karena itu, kata Jimly, “Bagaimana mau diterapkan pasal penghinaan?”
Sama halnya dengan institusi presiden. Presiden itu sebuah institusi. “Yang terhina itu orangnya. Lah kalau orangnya, dia ngadu, namanya delik aduan. Jadi bukan delik biasa,” terang Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) ini.
Pasal kritik presiden menurutnya juga sebuah kemunduran karena kembali pada pasal zaman kolonial.
“Harusnya pemimpin zaman now itu berpikirnya maju ke depan, jangan mundur ke belakang. Kalau dia hanya melihat kepentingan jangka pendek, itu bisa dimengerti. Tapi kalau dalam perspektif jangka panjang itu counterproductive. Berbahaya bagi demokrasi dan perkembangan kualitas peradaban bangsa. Mundur kita,” paparnya.
Baca: RKUHP, Pasal Penghinaan Presiden Dinilai Kemunduran Demokrasi
Bagi yang tidak puas dengan pasal kritik DPR, kata dia, bisa mengujinya ke MK. Kalau bertentangan dengan konstitusi, maka bisa dibatalkan.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan, Pasal 122 huruf K pada revisi UU MD3 dimaksudkan agar tidak ada kriminalisasi terhadap apa yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari DPR RI, terutama dalam memberikan kritik terhadap pemerintah.
“Terutama tupoksi dalam hal mengkritisi pemerintah,” ujar Fadli saat ditemui wartawan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (12/02/2018).* Andi