Hidayatullah.com– Anggota Komisi IV DPR RI, Andi Akmal Pasluddin, sangat menyayangkan kebijakan pemerintah terkait impor gula pada tahun 2018 ini.
Akmal mengatakan, polemik impor beras belum berakhir, tetapi pemerintah melakukan impor gula. Ia menyesali tindakan pemerintah yang seharusnya menyelesaikan masalah yang ada, tetapi malah membuat masalah baru bagi rakyat banyak.
Dikatakannya, meskipun pemerintah memberi izin impor gula sebanyak 1,1 juta ton kepada perusahaan pemerintah seperti PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X, XI, dan XII, serta PT. Gendhis Multi Manis (GMM), namun tindakan ini semakin sulit dipahami secara nalar yang baik.
“Sudah sangat wajar bila DPR dan berbagai masyarakat mempertanyakan, kenapa pemerintah selalu berpolemik dengan impor produk pangan ini terutama menjelang Pemilu. Sulit rasanya masyarakat ini bersimpati atas kebijakan pemerintah berkaitan dengan impor pangan yang senyatanya telah membelenggu daya beli masyarakat banyak,” ujar Akmal dirilis Parlementaria, Senin (17/09/2018).
Ia juga menyatakan, pemerintah saat ini selalu membuat alasan klasik berkaitan dengan impor gula. Dari tahun ke tahun, tidak pernah berhenti beralasan bahwa impor gula ini dilakukan atas dasar kualitas gula nasional belum bisa memenuhi kebutuhan gula industri. Alasan lainnya, karena stok dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan nasional sehingga perlu dilakukan impor gula.
Ia membandingkan, pada kasus beras, Menteri Pertanian berulang-ulang menyatakan bahwa stok beras nasional cukup. Namun Kementerian Perdagangan yang berkoordinasi dengan berbagai kementerian kepemimpinan Jokowi memutuskan impor beras.
“Saya jadi mencurigai, bahwa sesungguhnya gula kita ini tidak sebesar itu (1,1 juta ton) untuk impor. Karena saat ini Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) mengklaim institusinya hingga September 2018 ini mampu menyerap gula milik petani lebih dari 100 ribu ton,” tutur Akmal.
Akmal menjelaskan, saat ini Bulog memiliki tugas untuk menyerap dan membeli gula milik petani dengan harga Rp 9.700 per kilogram (kg) sebanyak 600 ribu ton hingga April 2019 mendatang. Dengan klaim Bulog bahwa gudangnya memiliki 140 ribu ton gula, maka ketersediaan gula yang ada di gudang Bulog saat ini mencapai lebih dari 270 ribu ton.
“Saya berharap pemerintah tidak usah lagi menambah kesengsaraan rakyat terutama petani kita dengan dihadapkan produk impor pangan. Sudah cukup derita ini perlu diakhiri. Semoga pemerintah mendengar dan mampu memperbaiki kinerjanya,” pungkas politisi dapil Sulsel itu.
Sementara itu sebelumnya, Perum Bulog mengklaim terus menyerap gula hasil produksi dari petani domestik. Kebijakan ini muncul meski pemerintah telah memberikan izin untuk impor gula sebesar 1,1 juta ton pada tahun ini, dimana Bulog mendapat jatah impor sebanyak 600 ribu ton.
Direktur Pengadaan Bulog, Bachtiar, mengatakan, penyerapan tersebut dilakukan lantaran memang sudah menjadi tugas perum Bulog untuk menyerap seluruh gula petani lokal. Hal itu sesuai dengan hasil rapat koordinasi antar Kementerian dan Lembaga yang dilakukan pada Juli 2018 lalu.
Hingga September ini, dikatakannya, Bulog telah menyerap sebanyak 100 ribu ton lebih gula hasil produksi petani. Sehingga cadangan gula yang telah masuk ke Bulog telah mencapai 270 ribu ton.
“Sudah 100 ribu ton lebih. Banyak, sudah ada 270 ribu ton lebih. Kita masih menyerap gula petani sesuai dengan penugasan itu dan terus berlanjut. Kalau dia giling berapa, itu yang kita ambil,” ujarnya di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu 12 September 2018 kutip laman resmi Bulog.
Karena itu, menurutnya, setelah izin impor gula diberikan Kementerian Perdagangan pada awal tahun ini sebanyak 1,1 juta ton, ditambah serapan gula dari produksi petani yang mencapai 2,2 juta ton. Maka, dikatakannya impor gula tidak akan lagi ditambah untuk tahun ini.
“Yang Bulog kan sudah penuh, kan enggak mungkin kita menerima impor-impor lagi,” klaim Bachtiar.
Demi menyerap gula petani domestik, Bulog mengaku telah menganggarkan dana sebesar Rp 5 triliun hingga Rp 7 triliun. Serapan tersebut akan mencapai 600 ribu ton hingga April 2019 dengan harga per kilogramnya sebesar Rp 9.700.*