ISU radikalisme yang seakan identik dengan agama kembali mencuat pasca Presiden Joko Widodo melantik sosok menteri agama berlatar belakang militer. Tidak tanggung-tanggung, sekelas Prof Din Syamsuddin pun dikabarkan merespons terpilihnya sang menteri tersebut di Kabinet Indonesia Maju dengan tingkat “kegelisahan” yang mendalam.
Penting dicatat bersama, kata “radikalisme” di negeri ini memang tidak jelas definisi yang disepakati, sehingga acapkali stigma radikalisme cenderung merugikan komunitas agama tertentu, yang kemudian juga berdampak pada tertekannya sebagian umat beragama karena nyaris semua hal yang disandingkan dengan radikalisme seakan-akan bersumber atau setidak-tidaknya terafirmasi dengan ajaran sebuah agama.
Dalam konteks Indonesia, kata “radikalisme” seakan identik dengan ajaran Islam.
Seperti warta yang dilansir sebuah situs berita online mainstream Tanah Air pada 13 Oktober 2019 ditulis dengan judul, “Densus Temukan Buku Jihad di Rumah Tersangka Teroris Bekasi.”
Kata “Buku Jihad di Rumah Tersangka Teroris Bekasi” secara gamblang nampak ingin menghadirkan kesan kepada publik bahwa teroris sangat suka, gemar, dan kemana-mana membawa serta mengamalkan buku jihad.
Padahal jihad dalam Islam, baik secara normatif maupun historis tidak pernah membenarkan yang namanya aksi terorisme yang pekerjaannya menakut-nakuti dan mengancam orang lain supaya takut. Dalam kata yang lain adalah sebuah kesengajaan yang kontraporduktif kala menyandingkan kata “teroris” dengan kata “jihad.”
Bagi umat Islam dan demikian fakta sejarahnya, tanpa jihad Indonesia tidak akan merdeka. Tanpa jihad umat Islam tidak akan tergerak untuk melawan penjajah. Bahkan begitu pentingnya jihad untuk mewujudkan Indonesia merdeka, KH Hasyim Asy’ari menyeru umat Islam untuk bersatu melawan penjajahan dengan Resolusi Jihad. Kata jihad bagi umat Islam adalah seruan suci melawan kezaliman dalam konteks sejarah Indonesia adalah perlawanan terhadap penjajah.
Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sangat “berhutang” dengan istilah “jihad.” Lantas mengapa kini kata yang mengantarkan rakyat Indonesia bersatu melawan penjajahan justru terkesan diidentikkan dengan aksi radikalisme dan terorisme?
Baca: Prof Din: Arahan Jokowi ke Menag Atasi Radikalisme Sangat Tendensius
Dialog
Demi tercapainya progresifitas pembangunan manusia, bangsa, dan negara, maka sudah saatnya pemerintah, perwakilan pemuka agama, militer dan kepolisian duduk bersama untuk menentukan arti “radikalisme” yang sesungguhnya. Karena sebuah istilah yang tidak jelas definisinya cenderung akan menjadi alat pihak yang lebih kuat untuk memukul pihak yang lebih lemah atau yang dianggap perlu untuk dilemahkan.
Seperti kata Wittgenstein sebagaimana dikutip Syamsuddin Arif dalam bukunya Islam dan Diabolisme Intelektual, makna suatu kata sangat ditentukan oleh penggunaan. (“Let the use of a word teach you its meaning”), bukan oleh kamus.
Syamsuddin Arif menambahkan, “Orangtua yang menakut-nakuti anaknya tidak disebut ‘terrorist.’ Begitu pula sekelompok remaja yang mengancam teman sekolahnya dengan senjata tajam tidak disebut teroris. Lalu, bagaimana dengan aparat bersenjata yang mengancam warga sipil tak berdaya, atau pejabat yang menekan wartawan dengan ancaman bunuh, misalnya, apakah mereka teroris?”
Ketika mantan Menko Polhukan Wiranto ditikam dengan pisau, pelaku langsung disebut teroris. Ketika pembantaian terhadap sesama warga negara terjadi di Wamena, Papua, bahkan dengan cara-cara biadab, kata teroris seakan dipaksa menjauh dari para pelaku. Semua fakta yang begitu terbuka tersebut sudah memadai bagi publik untuk bertanya siapa yang disebut teroris, siapa yang berhak memberikan definisi dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, guna menghindari simpang siur makna dan penerapan kata radikalisme termasuk terorisme, perlu dialog bersama antar pemuka agama, menteri terkait, militer, dan kepolisian, termasuk para ahli di bidang hukum dan agama, jika arti di dalam kamus dinilai tidak memadai.
Semua ini penting dilakukan semata-mata demi memastikan langkah ke depan bangsa ini adalah pada tercapainya kemajuan. Jika tidak, selamanya istilah radikal ini akan merugikan satu pihak dan pada akhirnya menghambat laju progreisivitas pembangunan bangsa dan negara.
Mengapa radikalisme terus mencuat, didiskusikan, dan terus diperdebatkan di beragam ruang publik Tanah Air, satu di antaranya karena memang masing-masing memiliki definis tersendiri. Akibatnya adu argumen tidak terhindarkan, masalah radikalisme tidak teratasi, sementara waktu terus bergulir dan sebagian bangsa Indonesia masih saja berbusa-busa merasa definisinya tentang radikalisme dan terorisme sebagai yang paling benar dan lain sebagainya.
Baca: Pengamat: Partai Sekuleristik Tunisia Rontok karena Andalkan Narasi Radikalisme
Fokus Amanah Konstitusi
Tatkala kita coba memperhatikan kesimpulan sebagian pihak mengenai mengapa radikalisme muncul berupa adanya ketidakadilan, kemiskinan, dan kebodohan, maka langkah yang tepat dilakukan oleh pemerintah dan seluruh elemen bangsa adalah bagaimana hadir gerakan fokus pada amanah konstitusi.
Fokus amanah konstitusi yang sangat kuat relevansinya dengan kehidupan rakyat adalah layanan pendidikan, kebebasan menjalankan ajaran agama, kesehatan, kemakmuran, dan keamanan. Jika benar, Kabinet Indonesia Maju ingin mewujudkan kemajuan bagi rakyat Indonesia maka sesungguhnya isu yang seharusnya di blow up ke ruang-ruang publik adalah bagaimana inovasi layanan yang akan diberikan pemerintah kepada rakyat dengan sangat mudah.
Apabila hal ini dilakukan dengan konsisten dan berkesinambungan nampaknya tidak akan lagi ada radikalisme dan terorisme di Indonesia, sebab rakyat merasa aman, terlayani, dan diperhatikan secara maksimal dan optimal oleh segenap penyelenggara negara. Pada akhirnya, rakyat akan semakin kreatif dan produktif, meningkat pendapatan dan daya belinya, sehingga bisa menumbuhkan perekonomian bangsa dan negara.
Tetapi kalau tidak, maka kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan akan terus terjadi. Negara akan menanggung beban yang amat berat, tidak saja hari ini akan tetapi juga masa depan. Beragam kekacauan pun tidak dapat dihindarkan, yang puncaknya Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan akan kehilangan kekuatan utamanya, yakni persatuan seluruh rakyat Indonesia. Hanya karena satu kata “radikalisme” yang tak jelas definisi dan penggunaanya.*
Imam Nawawi | Sekjen Syabab Hidayatullah