Hidayatullah.com—Inggris dituding melakukan kejahatan kemanusiaan karena menolak memperbolehkan orang kembali ke bekas rumah mereka di Chagos Islands, meskipun telah ada keputusan dari pengadilan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa awal tahun ini.
Menggambarkan perilaku Inggris sebagai keras kepala dan memalukan, Perdana Menteri Mauritius Pravind Jugnauth mengatakan kepada BBC bahwa dia sedang menggali kemungkinan mengajukan gugatan kejahatan kemanusiaan terhadap individu pejabat-pejabat Inggris ke International Court of Justice (ICJ).
“Itu merupakan pelanggaran prinsip dasar HAM. Saya tidak paham mengapa Inggris, pemerintahan ini, begitu keras kepala,” kata Jugnauth seperti dikutip BBC Ahad (29/12/2019).
Orang-orang tua Chagos, yang tinggal di Mauritius, menyuarakan kecaman mereka dan menuding Inggris dengan senggaja mengulur-ulur penyelesaian masalah itu dengan harapan komunitas orang Chagos pada akhirnya mati.
Awal tahun ini, Mauritius menang telak dalam gugatannya terhadap Inggris ketika ICJ di Den Haag memutuskan Chagos Islands harus diserahkan ke Mauritius guna menuntaskan “dekolonisasi”.
Majelis Umum PBB kemudian memutuskan, lewat pemungutan suara, untuk memberikan waktu enam bulan kepada Inggris untuk memulai proses penyerahan kepulauan itu. Akan tetapi, Inggris sampai saat ini menolak untuk mematuhi keputusan tersebut.
Sudah setengah abad sejak Inggris mengambil alih kontrol atas Chagos Islands dari bekas koloninya kala itu, Mauritius, dan mengusir seluruh penduduknya yang berjumlah lebih dari 1.000 orang guna membuka jalan bagi pendirian pangkalan militer Amerika Serikat. Kesepakatan Inggris dan AS tentang pendirian pangkalan militer itu dilakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Mauritius, yang waktu itu berusaha mengukuhkan kemerdekaannya dari Inggris.
Inggris bersikukuh menyatakan bahwa keputusan ICJ salah. Namun, Inggris telah meminta maaf atas tindakannya di masa lampau memindahkan orang-orang Chagos ke luar pulau kelahiran mereka, dan berjanji akan mengembalikan kepulauan tersebut ke Mauritius apabila sudah tidak lagi diperlukan untuk tujuan keamanan.
Dalam sebuah penyataan Foreign & Commonwealth Office (FCO) mengatakan kepada BBC, “Fasilitas-fasilitas pertahanan yang ada di British Indian Ocean Territory membantu melindungi orang-orang di Inggris dan seluruh dunia dari ancaman teroris dan pembajakan. Kami memegang komitmen untuk menyerahkan kedaulatan teritori itu kepada Mauritius ketika wilayah tersebut sudah tidak lagi diperlukan untuk maksud-maksud pertahanan.”
FCO mengatkaan Inggris menjanjikan lebih dari 40 juta pound dana untuk memperbaiki kualitas hidup orang-orang Chagos yang tinggal di Mauritius, Seychelles dan Inggris.
Inggris juga mengadakan tur bagi orang Chagos untuk mengunjungi kembali kepulauan kecil itu “dalam paket wisata sejarah”.
Namun, orang-orang Chagos melihat dana dan tur yang diadakan Inggris adalah upaya untuk membungkam mulut mereka.
“Kami seperti burung yang terbang di atas samudera, dan kami tidak memiliki tempat untuk mendarat. Kami harus terus terbang sampai mati,” kata Samynaden Rosemond, orang Chagos berusia 81 tahun.
Di sebuah kompleks pemakaman di ibukota Mauritius, Port Louis, kuburan orang-orang Chagos ditandai dengan batu nisan yang bertuliskan kesedihan mereka karena tidak dapat kembali ke pulau tempat kelahirannya.*