Hidayatullah.com—Lebih dari 470 juta orang di dunia saat ini pengangguran atau setengah pengangguran, ungkap Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam laporan terbaru yang dikompilasikan International Labor Organization (ILO).
Tingkat pengangguran relatif stabil selama tahun 2010-an, menurut laporan tersebut. Namun, pengangguran global diperkirakan naik 2,5 juta di tahun 2020, dari 188 juta menjadi 190,5 juta orang.
“Bagi jutaan orang yang bekerja, saya kira akan semakin sulit untuk mewujudkan hidup yang lebih baik melalui pekerjaan,” kata pimpinan ILO Guy Ryder kepada para reporter di Jenewa seperti dilansir DW Selasa (21/1/2020).
Laporan tahunan World Employment and Social Outlook menekankan tidak hanya soal pengangguran tetapi juga setengah pengangguran. Sekitar 285 juta orang di seluruh dunia dianggap setengah pengangguran, artinya mereka bekerja lebih sedikit dari yang mereka inginkan, menyerah dalam upaya mendapatkan pekerjaan atau kurang mendapatkan akses ke pasar kerja.
Angka 470 juta itu merepresentasikan sekitar 13% dari angkatan kerja global, tulis laporan itu.
Kaitan antara kerusuhan sosial dan pengangguran dan setengah pengangguran merupakan bagian kunci dari laporan baru tersebut.
“Kondisi pasar tenaga kerja berkontribusi terhadap erosi kohesi sosial ini di banyak masyarakat kita,” kata Ryder, merujuk demonstrasi besar di sejumlah negara seperti Libanon dan Chile.
Menurut “indeks kerusuhan sosial” yang dibuat ILO, yang mengukur frekuensi hal-hal seperti demonstrasi dan aksi mogok (massal), terjadi kenaikan baik ditingkat global maupun di 7 dari 11 kawasan antara tahun 2009 dan 2019. Angka 267 juta orang muda berusia antara 15 dan 24 tahun tidak memiliki pekerjaan (menganggur), tidak sekolah atau tidak memiliki ketrampilan mungkin yang menjadi faktor kunci dari kondisi tersebut. Kalaupun orang muda itu memiliki pekerjaan, kondisi pekerjaan mereka di bawah layak.
Laporan tersebut juga menyinggung kembali tentang ketimpangan antara pekerja yang mendapatkan pendapatan tertinggi dan yang terendah di dunia. Wanita yang masuk dalam angkatan kerja hanya sebanyak 47% atau 27% di bawah pria.
“Kita tidak bergerak ke arah seperti yang kita inginkan,” kata Ryder. “Situasinya justru lebih buruk dibandingkan yang kita perkirakan sebelumnya.”*