Hidayatullah.com | BERADA di Kota Suci pada Bulan Suci ternyata bisa membuat “goncang” juga.
Jangan kaget dulu. Ini hanya “guyonan” tapi kenyataan yang dirasakan salah seorang warga negara Indonesia (WNI) saat menjalani bulan puasa di Kota Nabi.
Cerita unik itu hanya satu dari sekian banyak keseruan, kemeriahan, dan kenikmatan menjalani Ramadhan di luar negeri. Sebagian kecil di antaranya tersaji pada kesempatan kali ini.
Mengisi kegiatan bulan Ramadhan 1441H/2020M di tengah wabah virus Covid-19, Pendidikan Ulama Pemimpin, program unggulan Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan menggelar kegiatan Talk Show Internasional.
Temanya menarik, “Menikmati Ramadhan di Luar Negeri”. Acara yang digelar di Aula Perpustakaan STIS ini menghadirkan para dosen STIS yang berlatar belakang pernah menempuh pendidikan di luar negeri.
Kali ini kita diajak “menikmati” Ramadhan di luar negeri cuma dalam sehari. Menariknya, para pemateri berpakaian menyesuaikan kisah negara yang disampaikan.
Muzhirul Haq, menjadi pembicara pertama yang berkisah tentang suasana Ramadhan di Turki.
Menurut mahasiswa Pascasarjana Akademi Bena Ulama Istanbul tersebut, ada beberapa perbedaan puasa yang dijalani masyarakat yang berbatasan antara Benua Eropa dan Asia tersebut. Di antaranya waktu puasa yang lebih lama dari biasanya di Indonesia.
“Maghrib di sana sekitar jam delapan malam. Selesai shalat Isya dan tarawih jam sebelas malam. Jadi kebanyakan masyarakat memilih tidak tidur hingga Shubuh jam setengah empat nanti,” ucap pria yang hafal hadits dan hobi futsal ini.
Sedang persamaannya, lanjut lulusan Universitas Islam Al-Iman Yaman tersebut, terlihat pada kebahagiaan masyarakat dalam menyambut Ramadhan. Setidaknya itu terlihat dari spanduk atau baliho-baliho besar yang terpampang di beberapa masjid besar di Istanbul.
Diceritakan, sejumlah lampu warna-warni hingga lampu sorot juga dipasang sebagai hiasan masjid selama Ramadhan.
“Biasanya ada baliho besar di Masjid al-Fatih Istanbul, tertulis Selamat Datang Ramadhan . Ada juga tulisan Mari Meraih Rahmat dan Ampunan Allah di Masjid Biru Istanbul,” terang Muzhirul sambil menirukan bunyi tulisan dengan bahasa Turki.
Berbeda di kota Madinah al-Munawwarah, khususnya di Masjid Nabawi.
Baharun Musaddad pemateri berikutnya bercerita, Ramadhan di Kota Nabi selalu menimbulkan kerinduan bagi siapapun yang pernah mengunjunginya. Mulai dari kedermawan orang-orang Madinah dalam berbagi buka puasa hingga shalat tarawih di masjid tersebut.
“Tapi kadang kalau ingat zaman santri, jadi goncang juga. Karena di Madinah tidak ada cemilan tahu isi, bakwan, atau gorengan lainnya yang ramai dijual di sore hari, jelang buka puasa,” ungkap Baharun tersenyum.
Lain ladang lain belalang. Rupanya beda lagi dengan suasana di Sudan, Afrika. Itu disampaikan oleh Lukman Hakim, yang pernah menetap selama enam tahun berturut di Ibukota Khourtum.
“Sebut Afrika biasanya yang pertama kali teringat adalah cuaca panas dan kemiskinan,” ucap Lukman mengawali kisahnya.
Meski demikian, lulusan Universitas Internasional Afrika tersebut menceritakan, saat Bulan Ramadhan tiba, umat Islam di sana tetap saja suka berbagi kepada orang lain, khususnya makanan buka puasa.
“Biasanya jalan-jalan di sore hari itu sudah ramai dengan masyarakat yang menawarkan buka puasa,” cerita Lukman yang juga seorang dai.
“Kalau seperti itu, baiknya jangan ditolak. Mereka bisa tersinggung nanti,” lanjutnya lagi.
Intinya, menurut Lukman, Ramadhan adalah hadiah istimewa dari Allah. Karunia yang begitu membahagiakan dan disambut dengan suka cita oleh segenap kaum Muslimin di seluruh dunia.
“Bagaimanapun keadaannya, semua kita harus merasakan kebahagiaan dengan datangnya Ramadhan tersebut,” pungkasnya.*