Oleh: Tohir Bawazir
Hidayatullah.com | MIRIS rasanya melihat ada demo makar, tetapi malah dikawal dan dilindungi oleh aparat negara. Kejadian demo untuk memproklamirkan kemerdekaan Papua , tidak hanya sekali, namun sering terjadi, bahkan hampir tiap tahun terjadi. Jelas hal ini sangat mengganggu kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah diperjuangkan dan dijaga selama ini dengan sepenuh jiwa raga.
Aksi provokasi yang menuntut kemerdekaan Papua dari Indonesia, jelas sangat mencoreng muka bangsa ini, baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Seolah-olah pemerintah RI, telah melakukan penjajahan dan eksploitasi terhadap bumi dan rakyat Papua. Padahal sama sekali tidak.
Di Papua, baik Papua Barat yang beribukota di Manokwari maupun Papua timur dan tengah yang beribukota di Jayapura, tidak ada upaya penjajahan dan eksploitasi terhadap rakyat pribumi Papua. Bahkan semenjak tahun 2001, wilayah Papua termasuk wilayah yang diperlakukan sebagai wilayah Otonomi khusus.
Pejabat-pejabat dan birokrasi di Papua, hampir semuanya adalah putra asli daerah, yang dipilih melalui mekanisme demokrasi langsung. Baik Gubernur maupun Bupati didominasi oleh warga asli.
Pembangunan baik berupa prasarana fisik maupun prasarana pendidikan terus diperhatikan, bahkan untuk wilayah-wilayah yang pelosok sekalipun, yang barang tentu, mengalami banyak kendala, baik akibat faktor alam maupun keamanan. Kalau masalahnya Papua masih dirasa ketinggalan kemajuannya dengan wilayah lainnya, itu karena bergabungnya dengan RI pun tidak bersamaan.
Namun “perlawanan” terhadap pemerintah RI masih terus digelorakan oleh sebagian warga Papua, tokoh maupun pimpinan masyarakat adat Papua. Sebagian menginginkan referendum untuk menentukan masa depan Papua, sebagian lagi malah melakukan tindakan kekerasan bersenjata, yang berakibat harus dihadapi dengan hal serupa oleh aparat negara.
Potensi konflik horizontal semacam ini, semakin menimbulkan sikap fanatisme primordial atas status ke-papua-an. Warga yang bukan etnis asli Papua, seolah tidak memiliki hak apapun terhadap Papua, meskipun mereka lahir dan besar di tanah Papua, bahkan secara aktif turut memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan Papua.
Bahkan lebih miris lagi, dibangun imej bahwa etnis Papua disatulinikan dengan agama Kristen. Padahal di Papua Barat, jumlah umat Islam berjumlah 40% dari seluruh agama yang ada. Sebuah prosentase yang sangat besar dan tidak layak dikesampingkan.
Belum lama ini, Benny Wenda, warga asal Papua yang sudah jadi warga Negara Inggris, memproklamirkan kemerdekaan Papua Barat. Padahal yang bersangkutan, sudah lebih dari dua puluh tahun, tidak pernah menginjakkan kakinya di Papua.
Tapi isu Papua, masih bisa menjadi ‘dagangan internasional’. Perkara deklarasi hanya dihadiri segelintir orang, itu soal lain, tapi isu ini bisa terus berkembang menjadi bola salju yang akan semakin sulit dikendalikan, sekiranya kita tidak bijak menyikapinya. Belum lagi dunia Barat, akan terus menikmati isu ini, yang akan memojokkan kewibawaan pemerintah RI di mata internasional.
Tidak hanya Benny Wenda, gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM), setiap saat juga menunggu momentum untuk memproklamirkan kemerdekaan Papua. Bahkan mereka tidak segan-segan melakukan tindakan kekerasan, baik terhadap aparat maupun penduduk pendatang.
Biasanya, kalau aparat sekedar untuk membela diri pun, untuk melawan keganasan OPM, langsung tudingan dan kecaman selalu diarahkan ke aparat negara, entah alasan, “jangan melakukan kekerasan”, “jangan melanggar HAM”, “perlu pendekatan persuasive”, dan sebagainya. Prinsipnya, gerakan OPM jangan dikasari.
Berbeda jika misalnya, yang melakukan kekasaran adalah kelompok Islam, maka andaikata mau diserbu, diberondong dan sebagainya, seolah-olah tidak masalah. Sebab dunia internasional akan diam saja.
Mengapa bumi Papua seolah belum betul-betul menyatu dengan RI dan berpotensi untuk memisahkan diri? Mudah-mudahan penjelasan di bawah ini, sedikit banyak memberikan gambaran tentang kondisi sosial politik masyarakat Papua.
Papua dan Islam
Papua, dahulu bernama West New Guinea, ketika dalam pengaruh penjajahan Hindia Belanda, setelah kekalahan kesultanan Islam di Ternate dan Tidore. Ketika Indonesia sudah memerdekan diri dari penjajahan Belanda di tahun 1945, wilayah Papua masih menjadi milik penguasa Hindia Belanda.
Di tahun 1962, Presiden Soekarno melancarkan apa yang disebut Trikora/Tiga Komando Rakyat untuk membebaskan Papua agar dikembalikan ke pangkuan Republik Indonesia. Atas pengawasan PBB, di tahun 1969, dilakukan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) alias referendum untuk menentukan masa depan Papua, dan rakyat Papua setuju untuk bergabung dengan Indonesia. Sejak tahun 1969, Papua baik secara de facto dan de jure telah resmi menjadi bagian integral Indonesia.
Nama Papua terus berubah menjadi Irian Barat , kemudian berubah lagi menjadi Irian Jaya. Bahkan Gubernur pertama adalah seorang Muslim asal Kesultanan Tidore yang bernama Zainal Abidin Syah.
Di zaman Presiden Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), nama Irian Jaya berubah lagi menjadi Papua. Padahal bagi penduduk Muslim Papua, mereka lebih suka menyebutnya “Nuu Waar” (Cahaya dari Timur).
Nuu Waar, nama yang bercorak keislaman, dibanding nama Papua yang berasal dari istilah Papo Ua, artinya tidak bersatu. Sebuah makna bahwa mereka dahulunya bukan bagian dari Kesultanan Tidore. Bahkan selama masih menggunakan nama Papua, dikhawatirkan semangat tidak bersatu akan terus tumbuh.

Etnis Papua memiliki ras Melanesia, dan berkulit hitam serta berambut keriting, berbeda dengan ras Indonesia pada umumnya yang berasal dari ras melayu dan berkulit coklat sawo matang. Dalam buku Muslim Papua, yang ditulis oleh Dhurorudin Mashad, (Pustaka Al-Kautsar, 2020), dahulunya rakyat Papua adalah dalam pengaruh kekuasaan Kesultanan Tidore dan Ternate yang beragama Islam.
Jadi keberadaan Islam sudah masuk di bumi Papua sejak abad 12 M, bahkan di Papua banyak berdiri kerajaan-kerajaan Islam kecil, banyak pula mubaligh-mubaligh dari Maluku bahkan dari Hadramaut Yaman, yang berdakwah sambil berniaga di bumi Papua, terutama di wilayah Raja Ampat dan Fakfak.
Keberadaan agama Kristen mulai masuk di Papua, justru muncul tiga abad kemudian, tepatnya di tanggal 5 Pebruari 1855. Kala itu dua orang Missionaris Kristen asal Jerman menginjakkan kakinya di Manokwari, yaitu CW. Ottow dan GJ Geissler, itupun atas izin dan restu Kesultanan Tidore, bahkan diantar langsung oleh utusan Sultan, yang bernama Muhammad Arfan, penduduk asli Raja Ampat ke lokasi tempat akan diadakannya Missionaris Kristen pertama di bumi Papua.
Bahkan seorang antropolog Papua, Dr. J.R. Mansoben (1977), mengakui bahwa agama yang pertama masuk ke wilayah Papua adalah agama Islam. Jadi baik Islam maupun Kristen memiliki hak yang sama untuk menyiarkan agamanya di bumi Papua, dimana rakyat Papua umumnya belum memiliki agama, kecuali tradisi dan kepercayaan lokal, karena mereka jarang bersentuhan dengan budaya dan etnis lainnya, terlebih lagi yang mendiami wilayah pegunungan yang sulit dijangkau..
Yang penting dijaga, adalah sikap saling menghormati dan menghargai antar umat beragama, serta membiarkan warga asli Papua menentukan pilihan agamanya. Tidak boleh terjadi klaim sepihak bahwa Papua harus diidentikkan dengan agama tertentu.
Sangat berbahaya, sekiranya tanah Papua hanya diklaim sebagai milik Kristen dan etnis lokal saja. Sehingga keberadaan agama dan etnis lain akan dianggap sebagai warga kelas dua, yang tidak memiliki hak untuk memiliki jabatan politik birokrasi. Bahkan kota Manokwari sempat digelorakan sebagai Kota Injil.
Andaikata kata istilah “Kota Injil” dimaknai bahwa warga Kristen harus semakin taat ke gereja, itu tidak masalah, bahkan andaikata syariat Kristen mau diterapkan ke warga Kristen disana pun mungkin tidak masalah. Namun kalau dimaknai kota itu hanya dimiliki warga Kristen saja, agama lain adalah kelas dua, pendirian masjid dihalang-halangi, jilbab dilarang dan sebagainya, itu akan menimbulkan masalah serius. Padahal semangat primordial semacam ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan keguncangan harmoni sosial, sebagaimana pernah terjadi dalam Tragedi Tolikara di tahun 2015 lalu.
Berdasar hasil sensus penduduk tahun 2010, dari total penduduk Papua Barat yang hanya berjumlah 937.458 yang tersebar di berbagai kabupaten, jumlah pengikut Kristen Protestan mencapai 54,17%, Islam 36,74%, Katolik 8,71%, Budha 0,19% dan Hindu 0,19%. Bahkan di Kabupaten Fakfak dan kabupaten Sorong, Islam merupakan agama mayoritas. Data itupun masih harus dikritisi, sebab tidak dicantumkannya agama lokal penduduk asli, yang masih banyak belum memiliki agama resmi, dalam sensus penduduk akan ditulis dan diaku sebagai Kristen.
Ditambah lagi, sudah sepuluh tahun terakhir ini agama Islam terus berkembang, mengingat banyaknya pesantren dan lembaga pendidikan baik milik Muhammadiyah maupun NU yang turut menyemarakkan dakwah Islam disana. Termasuk lembaga dakwah semacam Hidayatullah, dan ormas Islam lainnya juga turut aktif membina warga pedalaman Papua agar mengenal agama Islam. Bahkan Muhammadiyah sudah memiliki perguruan tinggi di kota Sorong, yang mahasiswa justru mayoritas bukan Muslim.
Sudah barang tentu, kewajiban negara adalah melindungi segenap penduduk agar dapat hidup rukun, meningkatkan harkat pendidikan dan ekonominya, agar bisa mengejar ketertinggalannya dengan wilayah lainnya. Namun bagaimana itu dapat terwujud, ketika terus bermunculan upaya-upaya perongrongan kedaulatan RI, upaya-upaya yang merusak hasil pembangunan, membunuh, merusak bangunan yang dikeluarkan dengan biaya tidak sedikit? Gerakan-gerakan separatis semacam Benny Wenda, maupun OPM lainnya, merupakan bahaya laten yang harus segera dihentikan.
Wacana soal Papua Merdeka harus disetop. Sebab wacana semacam ini akan selalu menyisir ke umat Islam Papua, terlebih-lebih yang bukan etnis asli Papua. Ini sangat berbahaya. Sebab ada semangat “anti pendatang” dan “anti Islam”, yang akan muncul dalam setiap wacana kemerdekaan Papua.
Padahal selama masih di bumi Nusantara, siapapun berhak mencari kehidupan ekonominya dan memilih agama untuk dipeluknya. Kita tidak boleh memandang remeh, seruan-seruan OPM semacam itu, walaupun kelihatan hanya dapat sedikit dukungan, tetapi jangan lupa, ada kelompok besar yang statusnya “wait and see”.
Kelompok “wait and see”, akan mudah menyebrang ke gabungan kelompok pro-Merdeka, kalau momentumnya dirasa pas. Yang jadi masalah, kenapa pemerintah RI, seolah selalu “salah tingkah”, kalau menghadapi gerombolan pengacau di Papua? Namun terhadap gerakan kecil apapun yang pelakunya umat, negara seolah “selalu hadir” untuk membasminya.
Negara begitu tegas dan berwibawa kalau untuk menghadapi kelompok yang dituduh ‘pengacau’ dari umat Islam, namun begitu menghadapi OPM, jadi berubah 180 derajat.
Sebagai contoh, Menko Polkam Mahfudz MD, mengatakan, proklamasi kemerdekaan Papua Barat oleh Benny Wenda, tidak sah. Sebab untuk disebut sebagai sebuah negara, harus memiliki empat syarat, ada teritori wilayahnya, ada rakyat, ada kedaulatan politik dan ada pengakuan internasional. Keempat syarat ini tidak dimiliki satu pun oleh Benny Wenda yang ada di London. Jadi jangan dibesar-besarkan, katanya.
Jangan lupa, isu Papua, bagi dunia Barat dan wilayah-wilayah negara di sekitaran Samudra Pacifik, yang satu rumpun etnis Melanisia, bisa menjadi “isu seksi”, yang akan dijadikan isu internasional, dan itu akan semakin merepotkan posisi pemerintah RI, terutama di PBB.
Jadi sebelum bola salju ini terus menggelinding, kita perlu opsi yang cukup efektif untuk menangkalnya, agar bangsa Indonesia bisa lebih tenang untuk menghadapi isu separatis, yang dapat saja menular ke wilayah propinsi lainnya. Penduduk pendatang yang mayoritas beragama Islam maupun agama lainnya, juga dapat hidup tenang untuk menjalani kehidupan ekonominya.
Mengingat aparat negara, tampak kuwalahan untuk menghadapi gerakan separatis di Papua dan Papua Barat, bukan karena kekurangan personal maupun persenjataan, namun karena ada tekanan asing yang selalu memanas-manasi situasi politik disana. Belum lagi di Papua, banyak berdiri LSM asing baik dari Amerika maupun Australia, yang siap “menjual” isu Papua ke dunia Internasional, sekiranya aparat negara bertindak tegas dan keras terhadap gerakan separatis.
Akhirnya gerombolan OPM menjadi “semakin kurang ajar” terhadap pemerintah RI. Jika dibiarkan, akan semakin ngelunjak , namun jika dikerasi juga akan menimbulkan permasalahan baru. Untuk itu dibutuhkan figur yang dirasa tepat untuk membantu pemerintah RI mengatasi bahaya laten semacam ini. Figur itu orangnya adalah Habib Rizieq Shihab (HRS) dengan Front Pembela Islam (FPI)-nya.
Mau suka tidak suka, faktanya, Habib Rizieq Shihab (HRS) –dengan FPI nya– adalah tokoh yang sangat fenomenal. Ia dipuja-puja oleh sebagian umat Islam, namun menjadi tokoh yang paling dibenci penguasa saat ini. Hal ini sangat dirasakan masyarakat.
Masyarakat umum pasti tahu, HRS tidak pernah merugikan negara, tidak pernah korupsi, tidak pernah memusuhi agama lainnya, tidak pernah melawan NKRI. Musuh HRS dan FPI adalah maraknya kemaksiatan, budaya korupsi, dan musuh segala bentuk ketidakadilan.
Dalam beberapa kasus, FPI sudah teruji merupakan organasisi terdepan, sekiranya ada bencana nasional yang melanda di wilayah tanah air. Laskar FPI berjibaku menolong korban bencana, tanpa memandang suku dan agama.
Namun karena HRS dan FPI, tidak pernah sejalan dengan penguasa saat ini, keberadaan HRS seolah menjadi musuh nomer wahid penguasa. Padahal loyalitas HRS terhadap NKRI tidak perlu diragukan, bahkan beliau sudah secara terbuka siap membela NKRI, jika Papua memisahkan diri dari RI.
Mungkin perlu juga dicoba HRS dengan FPI-nya diberi wewenang untuk membantu mengamankan wilayah Papua dan Papua Barat, akan membuat gerakan-gerakan makar semacam OPM, akan “kecut nyalinya” melihat pejuang-pejuang FPI ada disitu. Seperti keberadaan “Raja Rimba” dengan aumannya, sudah cukup membuat seisi hutan akan tunduk dan patuh terhadap kehadiran rajanya.
Tentu saja, keberadaan FPI bukan untuk dibenturkan face to face dengan OPM, sebab kita tidak menginginkan adanya konflik fisik dan bentrok yang berdarah-darah.Namun setidaknya, OPM akan berpikir seribu kali, sekiranya ada mujahid pecinta NKRI tiba di sana.
Toh FPI, juga tidak hanya sibuk menghadapi OPM, keberadaannya juga dapat membantu masyarakat Papua yang cinta damai, untuk sama-sama bergotong royong membantu kehidupan sosial, agama, pendidikan dan lain sebagainya. Negara akan banyak diuntungkan dengan keberadaan FPI di sana, karena tugas-tugas keamanan negara, sedikit banyak diperingan oleh kehadiran laskar swasta ini.
Bahkan keberadaan umat Islam di sana, akan lebih terangkat martabatnya. Kalau keadaan sudah seimbang, insya Allah justru dapat tercipta keharmonisan sosial, tidak perlu ada yang merasa lebih utama dibanding lainnya.
Namun pertanyaan besarnya, apakah HRS dengan FPInya bersedia membantu penguasa saat ini? Itu masalah utamanya. Sebab HRS sudah dijadikan sebagai musuh utama penguasa.
Tetapi kehidupan akan berputar, rahasia esok hari tiada yang tahu. Siapa tahu Allah memiliki skenario lain dengan fenomena hiruk pikuk ini. Yang jelas masih ada harapan kedamaian di Bumi Cendrawasih dalam pangkuan NKRI.*
Direktur Utama Penerbit Pustaka al-Kautsar