Oleh: Ilham Kadir
BARU-BARU ini masyarakat digemparkan dengan pernyataan seorang dai selebriti dalam sebuah acara keagamaan pada salah satu stasiun televisi swasta.
Sang dai menyampaikan ‘fatwa’ pada jamaahnya bahwa memilih pemimpin tidak mesti beragama Islam. Alasannya, seorang pemimpin itu sama posisinya dengan pilot atau tukang kemudi pesawat, sebab seorang calon penumpang tidak harus bertanya kepada sang pilot, Apakah Anda Muslim atau kafir!
Sontak pernyataan ini memicu reaksi dariberbagai pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara insitusi menyatakan bahwa syarat utama sebagai pemimpin untuk daerah berpenduduk mayoritas muslim harus beragama Islam.
Pada akhirnya, sang dai melakukan audiensi dengan segenap pengurus MUI Pusat, dan akhirnya minta maaf walau setengah hati. Lalu bagaimana pandangan ulama muktabar tentang kedudukan seorang pemimpin kafir? Kita liat.
Seorang ulama tabi’in, Muhammad bin Sirin mengatakan;
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
”Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian.” (HR. Muslim no. 26; ad-Darimi no. 427).
Karena itulah para ulama masa silam memahami bahwa mengambil guru, termasuk tindakan yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah. Kita dapat tau dari pernyataan Imam Syafi’i, ketika beliau memuji gurunya Imam Malik rahimahumallah, katanya, Radhitu bimalik hujjah baeni wa baenallah. Aku ridha Malik sebagai hujjah antara aku dengan Allah. (at-Tahdzib, 8/10).
Untuk itu, saatnya kita lebih hati-hati dalam memilih sumber ilmu. Terlebih di zaman manusia jauh dari ilmu, sementara media mainstream cenderung liberal memiliki kuasa mengendalikan pola pikir pemirsanya. Sehingga dai yang dipilih juga harus memenuhi kriteria media tersebut, bukan dinilai dari kedalaman ilmu dan ketinggian ibadah.
Ini persis seperti yang pernah disabdakan Nabi,
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
ستأتي على الناس سنون خداعة يصدق فيها الكاذب ويكذب فيها الصادق
ويؤتمن فيها الخائن ويخون فيها الأمين وينطق فيها الرويبضة
قيل: وما الرويبضة
قال: السفيه يتكلم في أمر العامة.(مسند أحمد)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah berkata, “Akan datang kepada manusia masa-masa penuh kedustaan. Pendusta dianggap jujur dan orang jujur dianggap pendusta, pengkhianat dianggap amanat, dan orang amanat dianggap pengkhianat.” (HR. Ibnu Majah no. 4036, dalam Shahih al-Jami’).
Ada banyak pengendara di sekitar kita, mulai dari tukang becak, ojek, sopir angkot, sopir bis, masinis, sampai sopir pesawat yang disebut pilot. Semua ini hanya alat transportasi. Kepentingan kita hanya menumpang, sesuai tujuan yang kita inginkan. Sehingga status semua tukang kemudi tersebut bukanlah pemimpin. Dalam istilah fikih muamalah disebut ‘ajiir’, orang yang kita pekerjakan dengan upah tertentu. Dan penumpang sebagai konsumennya.
Memang mereka yang mengendalikan kendaraan. Tapi kita bisa memarahi mereka, ketika mereka teledor dalam mengemudi. Rakyat bisa marah kepada presiden ketika Bapak Presiden salah, tapi rakyat tidak bisa ‘memarahi’ presiden. Antara marah dengan memarahi tidak dapat disamakan, dua hal yang berbeda.
Karena itu, sangat aneh jika seorang dai televisi menyamakan pemimpin dengan pilot. Dalam ushul fikih disebut qiyas ma’al fariq atawa analogi yang tidak nyambung.
Sekali lagi, pilot hanyalah seorang ajiir atau manusia upahan, atau orang yang diupah. Sementara pemimpin negara atau gubernur, walikota, bupati, hingga lurah, mereka bisa menetapkan kebijakan yang mengendalikan rakyatnya.
***
Terdapat banyak dalil yang melarang memilih orang non-Muslim sebagai pemimpin bagi umat Islam, terlebih jika masyarakatnya mayoritas beragama Islam.
Di antaranya:
وَنَمْنَعْكُم مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ فَاللّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai kaum mukminin.” (QS. an-Nisa: 141).
Al-Qadhi Ibnul Arabi mengatakan, “Innallah subhanahu wa ta’ala laa yaj’al lilkafirina ‘alal-mu’minina sabilan bis-syar’I, fa’in wujia fakhilafus-syar’i.”
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menjadikan orang kafir untuk menguasai kaum mukminin secara aturan syariat. Jika itu terjadi, berarti menyimpang dari aturan syariat. (Ahkam al-Quran, 1/641).
Firman Allahu lainnya;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisa: 59).
Kalimat ‘min-kum’ yang artinya di antara kalian, maknanya adalah diantara kaum Muslimin. Sehingga, mereka tidak boleh memilih pemimpin non-Muslim.
Ketika menafsirkan surat Ali Imran ayat 118, Al-Qurthubi mengatakan, ”Allah melarang orang beriman berdasarkan ayat ini untuk memilih orang kafir, orang yahudi, dan pengikut aliran sesat untuk dijadikan sebagai orang dekat, orang kepercayaan. Menyerahkan segala saran dan pemikiran kepada mereka dan menyerahkan urusan kepada mereka. (Tafsir al-Qurthubi, 4/179).
Dari sinilah bertolak bahwa ulama sepakat, memilih pemimpin kafir hukumnya terlarang. Al-Qadhi Iyadh mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada oranng kafir. Termasuk ketika ada pemimpin muslim yang melakukan kekufuran, maka dia harus dilengserkan. (Syarah Sahih Muslim, an-Nawawi, 6/315).
Senada dengan Ibnul Mundzir mengatakan bahwa, “Para ulama yang dikenal telah sepakat bahwa orang kafir tidak ada peluang untuk menjadi pemimpin bagi kaum muslimin apapun keadaannya. (Ahkam Ahlu Dzimmah, 2/787).
Al-Hafidz Ibnu Hajar bahkan memberikan keterangan lebih tegas, katanya, “Sesungguhnya pemimpin dilengserkan karena kekufuran yang meraka lakukan, dengan kesepakatan para ulama, wajib kaum muslimin untuk melengserkannya. Siapa yang mampu melakukan itu, maka dia mendapat pahala. Dan siapa yang basa-basi dengan mereka, maka dia mendapat dosa. Dan siapa yang tidak mampu, wajib baginya untuk hijrah dari daerah itu. (Fathul Bari, 13/123)
Fatwa-fatwa yang disampaikan para ulama di atas, berdasarkan hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘ anhu, “Kami berbaiat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu mendengar dan taat kepada pemimpin, baik dalam suka maupun benci, sulitan maupun mudah, dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.” (Muttafaq ‘alaih).
Hanya saja, perlu diperhatikan, untuk masalah melengserkan pemimpin non-muslim, para ulama memberi catatan, bahwa upaya itu tidak boleh dilakukan jika menggulingkan pemerintah bisa menimbulkan madharat yang besar, menimbulkan kekacauan bahkan banyak korban, ini jelas tidak diperkenankan. Namun, setidaknya kalimat ini, menjadi peringatan, kita tidak boleh memilih pemimpin yang non-muslim, siapa pun itu.
Akhir tahun 2015 ini, masyarakat Indonesia akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak. Dan, tidak sedikit calon pemimpin adalah berasal dari kalangan non-Muslim yang berusaha merebut pemilih dari umat Islam. Demikian pula, khusus DKI Jakarta yang sedang dipimpin non-Islam, gubernurnya dipastikan akan kembali mencalonkan diri dalam Pilgub 2017.
Karenanya, masyarakat harus cerdas memilih dengan pertimbangan teologis-rasional, bukan rasional-sekuler, atau rasional-meterial yang tunduk dan terkapar oleh ‘bom uang’. Namun sebaik-baik pertimbangan adalah melalui petunjuk Al-Quran
Umat terlalu mudah diperalat karena mayoritas berada pada kondisi miskin harta atau fakir akidah, atau dua-duanya, lalu disempurnakan dengan maraknya dai selebriti yang berani berfatwa tanpa ilmu, atau ulama jahat yang enggan menegakkan kebenaran. Wallahu A’lam!
Peserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) BAZNAS-DDII; Peneliti MIUMI