Oleh: Tohir Bawazir
PEMILU Legislatif untuk memilih anggota DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD, baru saja usai dilaksanakan. Insya Allah di bulan Juli 2014 kita akan melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) lagi, yaitu Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Pemilu itu pun masih memungkinkan berjalan dua putaran, apabila di putaran pertama tidak diperoleh pemenang mutlak yang mendapat suara 50% plus 1 suara. Kalau ditambah lagi dengan berbagai pilkada di berbagai daerah untuk memilih Gubernur maupun Bupati/Wali Kota, sesungguhnya negara Indonesia termasuk negara yang kelewat sibuk untuk melakukan Pemilu.
Tidak hanya kelewat sibuk, namun Pemilu juga sangat menguras dana dan kas negara, menguras energi dan pikiran seluruh bangsa, termasuk pula menguras kantong para calegnya. Itulah ongkos demokrasi yang sudah dipilih oleh bangsa Indonesia dengan pola pemilihan langsung semacam ini. Mudah-mudahan ke depannya Pemilu dapat berlangsung semakin mudah, simple dan murah. Namun betapapun boros dan berlebihannya Pemilu, setidaknya hal ini melegakan sebagian besar pihak, karena rakyat memiliki hak penuh untuk menggunakan hak politiknya.
Setelah era Orde Baru yang dikenal repressif dalam bidang politik, dimana kekuasaan hanya dimonopoli oleh Soeharto dan kroni-kroninya, di era reformasi ini rakyat dapat menikmati kebebasan politiknya sehingga tumbuh berbagai macam partai politik baru. Ada partai yang tumbuh sejenak kemudian layu sebelum berkembang, ada yang tumbuh namun gagal ikut Pemilu karena masalah administrasi yang tidak bisa dipenuhinya, ada yang tumbuh dan dapat ikut Pemilu namun akhirnya harus minggir dari percaturan politik karena kurangnya dukungan masyarakat.
Hingga saat ini diperkirakan hanya sekitar 10 partai politik yang dapat bertahan dan bisa duduk di parlemen mewakili konstituennya. Mudah-mudahan ke depannya, jumlah partai politik tidak akan semakin bertambah. Karena semakin banyak partai politik, otomatis akan semakin banyak biaya politik yang harus dikeluarkan.
Dari berbagai partai peserta Pemilu yang ada, ada yang terang-terangan berasaskan Islam, ada yang berkonstituen Muslim namun bukan berasas Islam, ada pula yang tidak mau dikait-kaitkan dengan Islam, walaupun kalau musim Pemilu sama-sama juga memperebutkan suara ummat Islam, karena realitas politik mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Pro dan Kontra
Pelajaran dari Pemilu yang baru lalu masih menyisahkan hal penting dari umat Islam, di mana masalah perbedaan pandangan terkait sikap terhadap Pemilu dan demokrasi. Ada yang setuju ada pula yang menolak. Ada yang sejatinya menolak namun terpaksa menerima karena tidak ada pilihan lain, alias darurat menerima.
Yang menolak selalu bersandar bahwa sistem demokrasi tidak dikenal dalam Islam. Sistem demokrasi memberikan hak kepada masyarakat untuk membuat hukum dan undang-undang, hal yang seharusnya menjadi wewenang mutlak Allah Subhanahu Wata’ala. Demokrasi dinilai bid’ah (mengada-ada), sesat bahkan ada juga yang sudah bertaraf menilai sistem kufur.
Para penolak masih dibagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama, mereka yang menolak sistemnya dan semua hasil-hasilnya. Ada pula golongan kedua, yang menolak sistem dan aturan mainnya, namun mereka menerima hasilnya. Mereka terima dan hormati penguasa dan produk-produk hukum dari sistem demokrasi yang ditolaknya. Ada yang ketiga, pura-pura menolak semua, namun seringkali mereka terpaksa menerima hasilnya, bahkan seringkali menitipkan aspirasi politiknya kepada partai-partai yang sebelumnya ditolaknya itu.
Mengapa ummat Islam berbeda dalam menyikapi fenomena Pemilu dan demokrasi, padahal mereka masih sama-sama bersandar kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta sama-sama mencita-citakan masyarakat yang ideal seperti di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam dan masa Khulafaur Rasyidin (kepemimpinan Islam yang adil dan ideal)?
Kalau dilihat sejujurnya, ada dua kutub pandangan yang sulit ditemukan.
Pertama, yang menerima demokrasi dan melihat demokrasi sebagai suatu kenyataan riil yang ada dan layak dipakai dan bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan saat ini. Kedua, memandang sebaliknya. Yaitu apa yang seharusnya ada.
Satu berangkat dari realitas yang ada, yang kedua, apa yang dianggap harus ada. Mayoritas ummat Islam, berangkat dari menerima apa yang ada. Yang ada adalah fakta bahwa demokrasi dijadikan sistem bagi bangsa Indonesia untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya, mengatur negara, membuat Undang-undang dsb.
Walaupun demikian demokrasi tetaplah produk manusia yang pasti ada kelemahan dan kekurangannya bahkan masih mudah pula untuk dicurangi oleh manusia.
Bagi pihak penolak demokrasi karena berangkatnya dari apa yang seharusnya ada. Demokrasi sudah pasti tidak akan pernah dapat memuaskan semua keinginannya. Maka pasti dia tolak. Mereka berkeinginan ideal, masyarakat harus sepenuhnya taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala, menjalankan semua perintah Allah, tidak ada hak masyarakat untuk membuat hukum dan Undang-undang yang bertentangan dengan syariat Allah, tidak ada hak masyarakat untuk melakukan pemungutan suara untuk hal-hal yang sudah disyariatkan, masyarakat tinggal menjalankan saja. Orang beriman tidak mau suaranya disamakan dengan orang fasik, musyrik, kafir dsb.
Sayangnya, kita lupa satu hal. Kita hidup di alam riil dan ada fakta, sekitar 15% penduduk Indonesia bukan beragama Islam. Dan yang 85% itupun tidak semua setuju hidup diatur syariat. Itulah faktanya.*/bersambung tulisan berikutnya