Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | LAGI ketidakadilan dipertontonkan bukan di Jakarta, tapi nun jauh di sana, tepatnya di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Sebuah pesta perkawinan spektakuler dengan kartu undangan disebar sebanyak 20.000. Setiap kartu undangan itu untuk dua orang. Berarti 40.000 orang menghadiri acara itu.
Pukul rata yang hadir hanya separuhnya saja dari undangan yang disebar. Berarti 20.000 orang yang menghadirinya. Itu pun jumlah yang sulit ditandingi, meski oleh pejabat lainnya, atau artis ternama sekalipun. Mungkin jika pesta perkawinan Atta Halilintar dan Aurel Anang Hermansyah, jadi diadakan di Gelora Bung Karno (GBK), bertajuk pesta rakyat mendapat izin, mungkin rekor Sumenep itu terpecahkan.
Tidak masalah sih pesta mau mengundang banyak orang dan meriah sekalipun, itu juga pakai uangnya sendiri kok. Tapi menjadi soal karena ini dilakukan di masa pandemi Covid-19 yang mestinya itu terlarang, melanggar protokol kesehatan. Dan yang lebih memprihatinkan, pesta perkawinan itu digelar oleh Wakil Rakyat, anggota DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan.
Adalah Said Abdullah, pengundangnya, yang saat ini menjadi Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI. Mengawinkan anak lelakinya Lillahi Mas Bergas Darmacil dengan gadis pilihannya Nadhya Ramadhanty Alqadri.
Aparat Kepolisian dan TNI, juga Satpol PP bukannya membubarkan acara itu, tapi malah sebaliknya, dikerahkan untuk mengatur lalu lintas, dimana sebagian akses jalan Kota Sumenep ditutup.
Baca: Jangan Zalimi Habib Rizieq
Konon pesta itu menghabiskan biaya Rp 20 milyar. Bahkan bisa jadi lebih dari itu nominalnya, jika yang diundang sebanyak itu. Pesta perkawinan yang mengundang dari pejabat tinggi sampai kepala desa.
Acara dilangsungkan 14 Maret, di kediaman Pak Said Abdullah, di jalan A. Yani, Pajagalan Kota, Sumenep. Undangan dibagi sampai tiga tahap. Meski demikian, jumlah undangan sebanyak itu mustahil bisa dijaga protokol kesehatan bagi tamu yang hadir.
Hukum Itu Cuma di Petamburan
Lalu bayangkan itu dengan saat Habib Rizieq Shihab menikahkan putrinya pada akhir tahun 2020 lalu. Acara sederhana yang coba memakai protokol kesehatan ketat, maka itu jadi persoalan besar.
Tidak cukup HRS disanksi oleh Pemprov DKI, Rp 50 juta, ini sanksi terbesar pada perorangan yang pernah dikenakan di Jakarta.
Tapi bahkan peristiwa-peristiwa lanjutannya yang tragis yang dialami HRS, itu bermula dari acara di Jalan Petamburan III.
Lanjutan dari itu adalah terbunuhnya 6 laskar FPI, ditahannya HRS tanpa upaya penyelidikan dan penyidikan. Lalu Pembubaran Ormas FPI, dan menahan beberapa orang panitia acara pernikahan.
Bahkan bisa disebut ditahannya Ustad Maher Ath-Thuwailibi serentetan dengan itu, meski tidak langsung. Sampai ia harus meninggal di tahanan Bareskrim Polri.
Begitu dahsyatnya hukum dicambukkan pada HRS dan FPI, hanya karena melanggar protokol kesehatan. Berbanding terbalik dengan peristiwa-peristiwa pelanggaran prokes lainnya yang aman-aman saja, tidak ada sanksi hukum.
Baca: Keadilan Memaknai “Kerumunan”, Seperti Menangkap Angin dengan Jaring Berlubang
Pesta Perkawinan Akbar 2021 di Sumenep, Madura, itu terlindungi dari jerat hukum. Tentu itu disebabkan penyelenggaranya bukan orang sembarangan. Beda jauh dengan pernikahan sederhana di Petamburan, yang lalu dikuyo-kuyo di luar batas kemanusiaan.
Hukum memang tampak tebang pilih. Setidaknya dalam kasus di atas, maka hukum bisa “tebang” pada kasus Petamburan, Jakarta, dengan begitu kerasnya. Tapi hukum bisa “pilih” kasih siapa yang aman terlindungi, itu pada kasus Sumenep, Madura. Tidak salah jika lalu muncul ungkapan sinis, bahwa hukum itu cuma ada dan berkaku di Petamburan. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya