Kunci dari kemajuan adalah bersikap adil, sebagaimana diperintahkan dalam banyak ayat al-Quran. Tempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang betul, sesuai dengan harkat dan martabatnya
Oleh: Dr. Adian Husaini
Hidayatullah.com | SEMUA orang Muslim pasti menginginkan kemajuan bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Banyak kajian dan pemikiran telah dipublikasikan terkait dengan kemunduran dan kemajuan umat Islam, baik di Indonesia maupun di berbagai tempat lain.
Ada yang menyebutkan bahwa umat Islam akan maju jika mengikuti peradaban Barat yang rasional dan meninggalkan pemikiran Islam yang dianggap irasional. Bahkan, sejumlah guru besar di kampus Islam menulis, bahwa umat Islam mundur karena tidak mengikuti pemikiran Ibn Rausyd.
Sebaliknya, Barat maju karena ikut Ibn Rusyd. Ada juga guru besar yang berpendapat, bahwa umat Islam akan maju jika mengikuti pemikiran Mu’tazilah.
Sebuah buku berjudul Epistemologi Islam Skolastik (2007), menyebutkan: ”Kalau kita mau menelusuri sebab mengapa umat Islam begitu jauh tertinggal dari bangsa Barat, kita akan menyadari karena pola pikir Ibnu Rusyd yang kritis dan rasional itu kalah gaungnya dengan gema konservativitas dan ortodoksi yang dilancarkan Imam al-Ghazali yang berkembang merata ke dunia Islam bahkan menjadi pola pikir yang mendarah daging pada kalangan umat Islam.” (hal. 99).
”Apa yang ditampilkan Ibn Rusyd dan kawan-kawannya disikapi dengan cermat oleh orang-orang Barat, sehingga muncullah aliran Aviroisme sebagai cikal bakal tumbuh berkembangnya Skolastik Latin. Dia menghantarkan budaya ilmiah Barat ke pintu gerbang kemajuan, kreativitas dan langkah-langkah inovatif yang selalu beriringan muncul terus tanpa henti. Akibatnya dunia Barat sebagai penemu kreasi-kreasi baru, tiada hari tanpa penemuan-penemuan baru. Berbeda halnya dengan kondisi di dunia Timur (dalam hal ini khususnya dunia Islam), tidur panjang (tanpa nglilir) yang mereka lakukan, setelah mereka (barangkali) merasa puas dengan temuan-temuan para tokohnya di masa lampau…” (hal. 164-165).
Kesimpulan bahwa Barat maju karena ikut Ibn Rusyd dan Islam mundur karena ikut al-Ghazali merupakan pemikiran yang kurang cermat. Lebih keliru lagi jika dikembangkan lebih lanjut, bahwa umat Islam akan maju jika mengikuti paham sekularisme dengan meninggalkan pemikiran Islam.
Ibn Rusyd dan Al-Ghazali adalah ilmuwan besar. Kaum Muslim harus meletakkan kedua ilmuwan itu secara adil dan beradab. Ibn Rusyd seorang ilmuwan yang tahu adab.
Meskipun kepakarannya dalam bidang fikih dan ushul fikih sangat luar biasa, tetapi ia meletakkan dirinya sebagai pengikut mazhab Maliki. Kehebatan Al-Ghazali dalam bidang ushul fikih, juga tidak membawanya ke sikap jumawa, tidak tahu diri. Ia meletakkan dirinya sebagai pengikut Mazhab Syafii.
Jadi, kunci dari kemajuan adalah bersikap adil, sebagaimana diperintahkan dalam banyak ayat al-Quran. Tempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang betul, sesuai dengan harkat dan martabatnya. Kita harus mengakui kemajuan yang telah dicapai oleh peradaban Barat, dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam bidang sains, teknologi, juga budaya ilmu, dan berbagai karakter yang baik, seperti semangat kerja keras, menghargai waktu, dan sebagainya.
Tetapi, kita juga harus mencermati berbagai aspek kegagalan peradaban Barat dalam mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan umat manusia. Penulis buku sejarah peradaban Barat, Marvin Perry, menulis dalam bukunya, bahwa peradaban Barat adalah peradaban besar tetapi juga drama yang tragis. Dia katakan: “Western civilization is a grand but tragic drama.”
Prof. Caroll Quigley dalam bukunya, Tragedy and Hope, juga menulis, juga mengakui kegagalan peradaban Barat dalam bidang pendidikan, khususnya bagaimana mendidik anak-anak mereka untuk menjadi orang tua yang baik. “Some things we clearly do not yet know, including the most important of all, which is how to bring up children to form them into mature, responsible adults…” kata Prof. Quigley, yang juga merupakan ‘mentor’ Presiden Bill Clinton.
Pada umumnya, banyak pesantren di Indonesia selama ini pun telah bersikap adil terhadap Ibn Rusyd dan Imam al-Ghazali. Mereka mengajarkan kitab-kitab karya kedua ilmuwan besar itu, pada tempatnya yang adil, seperti kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali dan Bidayatul Mujtahid, karya Ibn Rusyd.
Kitab Ihya’ karya Imam al-Ghazali menjelaskan hampir seluruh aspek kehidupan manusia dalam perspektif Islam. Ia menulis begitu banyak topik, seperti masalah ilmu, ibadah, etika sosial, hal-hal yang merusak (al-muhlikat), dan juga yang menyelamatkan (al-munjiyat).
Kitab ini menjadi kajian penting para murid Imam al-Ghazali yang kemudian memiliki pengaruh panting dalam kebangkitan umat Islam dalam perjuangan merebut kembali Jerusalem. Kitab Ihya’ seperti disiapkan Imam al-Ghazali untuk melakukan reformasi intelektual dan moral kaum Muslim, sebagai asas kebangkitan umat Islam.
Disertasi Doktor Muhammad Isa Anshary tentang pendidikan aqidah Wali Songo juga membuktikan, bahwa pemikiran Imam al-Ghazali memiliki pengaruh besar dalam penyebaran dakwah di Tanah Jawa dan Nusantara pada umumnya.
Karena itu, Allah SWT memerintahkan, agar kita menjadi manusia-manusia yang adil. Sebab, bersikap adil itu lebih dekat kepada taqwa. Bahkan, kita dilarang berlaku tidak adil, meskipun kepada orang yang tidak kita sukai.
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebutkan, bahwa hakikat pendidikan adalah penanaman nilai-nilai keadilan dalam diri seseorang (inculcation of justice in man as man and individual self), secara berangsur-angsur, sehingga ia menjadi seorang yang adil. Jadi, sekali lagi, kunci kebangkitan umat Islam adalah pendidikan yang benar!
Pendidikan yang adil adalah yang memahami tujuan dan potensi setiap manusia secara tepat. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan potensi yang berbeda-beda. Tetapi, secara umum, manusia adalah sama. Bahwa mereka harus dididik menjadi hamba Allah dan sekaligus sebagai khalifatullah di muka bumi.
Mendidik seorang manusia menjadi insan yang baik bukanlah perkara sepele sehingga bisa dikerjakan secara sambilan. Penanaman nilai-nilai iman dan akhlak mulia memerlukan kerja keras, kesabaran, dan keikhlasan dari orang tua dan guru. Jangan sampai anak punya pemahaman bahwa ilmu kedokteran hewan lebih penting dan lebih berharga daripada ilmu tentang aqidah Islam, tajwid, dan akhlak mulia. Wallahu A’lam bish-shawab.*/Depok, 21 Januari 2022.
Penulis buku “Wajah Peradaban Barat: dari hegemoni Kristen ke dominasi sekular-liberal” (2005)