Hidayatullah.com | MAZHAB Hanafi, mazhab fikih ini dibangun Imam Abu Hanifah Al-Nu’man, seorang ulama peletak dasar ilmu fikih. Secara berurutan, metodologi yang digunakan tokoh yang terkenal dengan sikap bebasnya yang sangat tinggi dari intervensi penguasa ini berdasarkan sejumlah prinsip.
Pertama, Al-Quran sebagai tonggak utama syariah Islam. Kedua, Sunah atau Hadis Nabi Muhammad ﷺ yang merupakan penjelas dan pemerinci Al-Quran.
Namun, dalam hal ini, beliau hanya memakai hadis-hadis yang benar-benar tidak bertentangan dengan teks Al-Quran, dan diriwayatkan banyak orang (mutawatir atau masyhur).
Ketiga, perkataan sahabat Nabi ﷺ, Keempat, qiyas (disebut qiyas jali), yakni proses pengambilan hukum suatu perkara yang tidak ada landasan tekstualnya secara eksplisit kemudian menganalogikan dengan perkara lain yang sudah ada hukumnya karena ada kesamaan alasan (‘ilat) hukum. Hal itu dengan catatan bahwa qiyas tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran.
Jika tidak, orang mesti beralih pada qiyas khfi (analogi samar yang disebut istihsan. Kelima, ijmak, yakni kesepakatan ulama pada masa tertentu dan tentang persoalan tertentu.
Keenam, urf yakni adat kebiasaan di suatu tempat. Tentang fkihnya, Abu Hanifah Al-Nu’man secara umum menyusunnya di atas empat dasar.
Pertama, memberikan kemudahan dalam ibadah dan muamalah. Kedua, menjaga pihak fakir dan lemah. Ketiga, memberikan kebebasan untuk berbuat sekadar kemampuan. Keempat, menjaga kemerdekaan manusia dan kemanusiaannya. Kelima, menjaga martabat kemuliaan pemimpin dengan cara mematuhinya.
Berkembang dari Irak, mazhab Hanafi telah menjadi mazhab utama pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyyah. Selanjutnya, mazhab ini menyebar ke timur: Khurasan, Transoxiana, dan Afganistan, hingga ke anak benua India, Turki, Asia Tengah, dan Tiongkok.
Saat ini mazhab tersebut menjadi panutan kaum Muslim India, Tiongkok, dan sejumlah negara Timur Tengah, terutama Suriah, Irak, Afganistan, dan negara-negara bekas Uni Soviet, serta banyak negara Eropa Timur, termasuuk sebagian di Mesir.
Abu Hanifah pernah bertemu dengan tujuh sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Sahabat Nabi itu itu di antaranya: Anas bin Malik, Abdullah bin Harist, Abdullah bin Abi Aufah, Watsilah bin al-Aqsa, Ma’qil bin Yasar Abdullah bin Anis, Abu Thufail (‘Amir bin Watsilah).
Guru Abu Hanifah kebanyakan dari kalangan tabi’in (golongan yang hidup pada masa kemudian para sahabat Nabi). Diantara mereka itu ialah Imam Atha bin Abi Raba ah (wafat pada tahun 114 H), Imam Nafi Muala lbnu Umar (wafat pada tahun 117 H), dan lain-lain lagi.
Adapun orang alim ahli fikih yang menjadi guru beliau yang paling masyhur ialah Imam Hamdan bin Abu Sulaiman (wafat pada tahun 120 H), Imam Hanafi berguru kepada beliau sekitar 18 tahun. Di antara orang yang pernah menjadi guru Abu Hanifah ialah Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ady bin Tsabit, Imam Abdur Rahman bin Harmaz, Imam Amr bin Dinar, Imam Manshur bin Mu’tamir, Imam Syu’bah bin Hajjaj, Imam Ashim bin Abin Najwad, Imam Salamah bin Kuhail, Imam Qatadah, Imam Rabi ah bin Abi Abdur Rahman, dan lain-lainnya dari Ulama Tabiin dan Tabiit Tabi’in.* (dari berbagai sumber)