Hidayatullah.com– Satu-satunya koran partai oposisi utama Bangladesh berhenti terbit setelah keputusan pemberhentiannya oleh pemerintah dikuatkan oleh pengadilan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan nasib demokrasi Bangladesh di bawah pemerintahan Perdana Menteri Sheikh Hasina yang semakin otoriter.
Dainik Dinkal, koran berbahasa Bengali, telah menjadi saluran suara bagi Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) selama lebih dari tiga dekade. Koran itu mempekerjakan ratusan jurnalis dan pekerja media cetak dan meliput berita-berita yang jarang diliput oleh media arus utama, yang kebanyakan dikuasai oleh pengusaha-pengusaha pro-pemerintah. Laporan yang jarang diliput media arus utama antara lain penangkapan yang sering dilakukan terhadap aktivis-aktivis BNP dan ribuan kasus pidana palsu yang sengaja dibuat untuk menjerat para pendukungnya.
Koran itu mengatakan otoritas distrik Dhaka memerintahkan penutupan pada 26 Desember 2022, tetapi pihaknya terus melanjutkan kerja jurnalistik setelah mengajukan keberatan ke dewas pers yang dipimpin oleh seorang hakim pengadilan tinggi terkemuka.
“Dewan menolak permohonan kami kemarin (hari Ahad 19 Februari), mengukuhkan keputusan pengadilan magistrat yang memerintahkan penghentian penerbitan kami,” kata Rahman Shimul Biswas, redaktur pelaksana surat kabar tersebut, kepada AFP Senin (20/2/2023).
Keputusan pengadilan magistrat itu yang diperoleh AFP salinannya, mengatakan bahwa izin cetak koran tersebut dicabut karena pengelola sudah melanggar undang-undang perihal percetakan dan penerbitan Bangladesh. Dewan juga mengatakan bahwa penerbit koran tersebut, Tarique Rahman – yang merupakan ketua sementara BNP – merupakan seorang terpidana dan tinggal di luar negeri tanpa menyerahkan tugasnya ke orang lain.
Biswas mengatakan bahwa Rahman, yang sekarang tinggal di London, sebenarnya sudah menyerahkan surat pengunduran diri dan menunjuk penerbit baru, tetapi pihak otoritas menolak perubahan tersebut.
“Penutupan ini semua adalah bagian dari tindakan keras pemerintah terhadap suara-suara yang berbeda dengannya dan mengusik kebebasan berbicara,” kata Biswas.
Dua serikat jurnalis yang berbasis di Dhaka mengatakan dalam pernyataan bersama bahwa keputusan itu merupakan “cerminan dari represi terhadap suara-suara oposisi”.
Serikat-serikat pekerja dan jurnalis hari Senin menggelar protes jalanan kecil.
Pihak-pihak peduli demokrasi dan pemerintah-pemerintah negara asing, termasuk Amerika Serikat, sejak lama mengutarakan kekhawatiran mereka perihal upaya-upaya oleh PM Sheikh Hasina untuk membungkam kritik dan sikap pemerintah yang semakin otoriter.
Bulan lalu, PM Hasina memerintahkan penutupan 191 website yang dituduhnya mempublikasikan “berita-berita anti-pemerintah”, dengan alasan berdasarkan laporan intelijen.
Pemerintah Bangladesh sebelumnya sudah beberapa kali memblokir situs web, yang paling kentara pada Desember menjelang pemilu nasional.
Undang-Undang Keamanan Digital Bangladesh sudah memakan banyak korban, di mana ratusan orang telah ditangkap sejak 2018.
Reporters Without Borders dalam laporan 2022 World Press Freedom Index menempatkan Bangladesh pada peringkat 162, lebih buruk dari Russia (155) and Afghanistan (156).*