Hidayatullah.com– Sejumlah warga penganut ajaran Buddha dan Kristen di negara bagian Chin mengatakan mereka meninggalkan kehidupan sebagai warga sipil dan memilih untuk mengangkat senjata untuk membantu melepaskan negara Myanmar dari cengkraman junta militer.
Sekelompok pemuda yang bergabung dengan Chinland Defense Forces berkumpul dan duduk di lantai berdinding terpal di pangkalan mereka di daerah pegunungan pada Sabtu malam, menyanyikan teks-teks Buddha bercahayakan lilin dan ponsel.
Tempat itu merupakan markas besar Chinland Defense Force – Kalay, Kabaw, Gangaw (CDF-KKG) Batalyon 4. Bagi kelompok perlawanan bersenjata Buddhis ini setiap hari Sabtu adalah waktunya berdoa.
Pangkalan Batalyon 4 di bagian timur laut Negara Bagian Chin berada di daerah pegunungan menghadap ke kota-kota perbatasan di Sagaing. Negara bagian Chin berbatasan dengan wilayah India di kawasan pegunungan Himalaya.
Pasukan junta menyerbu pangkalan mereka sebelumnya yang berada di lembah. Pepohonan lebat dan tinggi di dekat puncak gunung memberikan perlindungan dari serangan jet tempur dan drone junta.
Kelompok-kelompok yang tergabung dalam Chinland Defense Force beroperasi di wilayah negara bagian Chin, kebanyakan anggotanya dari kalangan Kristen Chin.
Keanggotaan CDF-KKG lebih beragam dan juga mencakup orang penganut Buddha dari etnis Bamar – kelompok etnis dan agama terbesar di Myanmar. Para petempur dari berbagai latar belakang mengusung gagasan yang sama yaitu kesetaraan bagi negara mereka.
Sin Bout, 23, berasal dari sebuah keluarga Budfha di kota Kale di daerah Sangaing. Dia hengkang dari bangku kuliah setelah terjadi kudeta militer pada 2021, lalu bergabung dengan CDF-KKG pada Maret 2022.
Dia menceritakan kepada DW bahwa di sekolah-sekolah negeri diajarkan kepada murid bahwa kelompok etnis bersenjata yang memerangi militer Myanmar adalah teroris. Kelompok itu termasuk Chin National Army.
“Setelah kudeta, saya tahu mereka bukan teroris. Mereka berjuang demi kebebasan mereka,” katanya, menjelaskan alasan dia bergabung dalam perjuangan tersebut, seperti dikutip DW Rabu (13/12/2023).
Setiap hari Sabtu, digelar kebaktian Kristen, di mana para petempur memainkan gitar dan menyanyikan lagu-lagu gospel.
Sang Nu, seorang etnis Chin beragama Kristen, meninggalkan sekolah kedokteran untuk bergabung dengan CDF-KKG. Perempuan berusia 23 tahun itu mengatakan kepada DW bahwa pengetahuannya di bidang kedokteran kemungkinan berguna, terutama bagi kaum wanita yang bergabung dengan kelompok bersenjata itu.
Sang Nu mengatakan dirinya mengalami berbagai diskriminasi agama ketika beranjak dewasa. Dia menceritakan bahwa pendirian gereja baru untuk umat Kristen tidak mendapatkan izin, sementara kuil Buddha bermunculan di mana-mana. Tidak hanya itu, Etnis minoritas Chin seringkali disingkirkan dari seleksi penerimaan pegawai negeri.
Itulah beberapa alsan mengapa dirinya memilih untuk bergabung dengan kelompok perlawanan. Dia ingin etnisnya mendapatkan perlakuan yang sama seperti kelompok mayoritas Buddha Bamar.
Sejak kudeta, junta militer berusaha mengeksploitasi perbedaan suku dan agama untuk mendapatkan legitimasi.
Laporan United States Institute of Peace menyebutkan bahwa pemimpin junta Min Aung Hlaing berusaha menempati dirinya sebagai pelindung agama Buddha, sengaja menunjukkan dirinya sesering mungkin tampil di publik bersama tokoh dan pemuka Buddha.
Patung Buddha sedang duduk besila setinggi 25 meter – patung sejenis yang tertinggi di dunia – dikebut pembuatannya sehingga rampung pada bulan Juli di ibu kota Myanmar, Naypyidaw.
Sang Nu mengatakan tidak ada ketegangan di antara anggota Batalyon 4 yang berbeda agama dan etnis. “Kami merasa seperti satu keluarga. Musuh kami hanya militer,” ujarnya.
Beberapa kesulitan yang mereka alami antar lain keterbatasan obat-obatan dan senjata. Menurut Sang Nu, jumlah perempuan juga perlu ditambah, setidaknya sepuluh persen dari total petempur, karena perempuan bisa berkontribusi lebih dari sekedar memberikan perawatan medis di garis belakang.
Di lembah di bawah markas CDF-KKG yang berada di gunung, dekat kota Kale yang dikuasai junta, sebuah sekolah berdinding kayu tidak lagi menerima siswa. Sekolah berasrama itu sekarang kedatangan orang-orang yang ingin bergabung menjadi petempur.
Austin Mon, 51, dulu adalah kepala sekolah tersebut. Dia melewati masa dua perlawanan rakyat melawan junta militer, pada tahun 1988 dan 1996. Kala itu dia mendukung gerakan demokrasi, tetapi tidak ikut aktif dan terjun secara langsung, karena orangtuanya menilai terlalu berbahaya.
Sekarang, dia melihat kesempatan untuk memperjuangkan demokrasi. Setelah menutup sekolahnya, dia menjadi wakil presiden CDF-KKG.
Austin Mon mengatakan sekitar seperlima bekas muridnya bergabung dengan Kelompok-kelompok perlawanan, mereka berasal dari kelompok etnis, agama dan ekonomi yang berbeda.
“Ketika saya melihat bekas-bekas murid saya bergabung dengan CDF, saya merasa bangga. Namun, ketika mereka berangkat ke garis depan saya menjadi khawatir. Mereka selalu berada di pikiran saya. Saya tidak bisa makan atau tidur,” katanya.
Meskipun begitu, dia mengaku bertekad akan bertempur sampai mati. Revolusi ini tidak dapat dilewatkan, ujarnya.*