Hidayatullah.com– Seorang pria Jepang penyintas bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat di kota Hiroshima dan Nagasaki menyerukan supaya senjata nuklir dimusnahkan dan dilarang.
“Bom atom adalah ‘senjata iblis’ yang merenggut para korban dari masa depannya dan menyiksa keluarga mereka,” kata Jiro Hamasumi, perwakilan Nihon Hidankyo – kelompok para penyintas bom atom Hiroshima dan Nagasaki yang mendapatkan anugerah Nobel Perdamaian 2024.
Hal tersebut disampaikan Hamasumi dalam konferensi markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membahas Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons pada hari Senin (3/3/2025).
Hamasumi, asisten sekretaris jenderal Japan Federation of A- and H-Bomb Sufferers Organizations (Nihon Hidankyo), terpapar radiasi dari bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat di Hiroshima saat berada di dalam kandungan ibunya.
Pria berusia 79 itu mengatakan perang baginya belum berakhir, karena 12.120 senjata nuklir saat ini masih ada di dunia, dengan 4.000 di antaranya sudah dilengkapi dengan hulu ledak yang siap ditembakkan.
“Hibakusha (penyintas bom atom Hiroshima-Nagasaki) tidak akan merasa tenang kecuali jumlah senjata nuklir dikurangi hingga nihil,” kata Hamasumi, seperti dilansir Asahi Shimbun.
Ibunya sedang mengandung tiga bulan ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945. Ayahnya, yang meninggalkan rumah pagi hari itu menuju tempatnya bekerja di dekat lokasi jatuhnya bom, tidak pernah kembali.
“Setiap hari yang saya lewati, saya selalu berpikir tentang ayah saya,” ujarnya.
Hamasumi menekankan bahwa dunia tidak boleh membiarkan ada orang lain yang mengalami “neraka” yang dirasakan hibakusha.
Pidato Hamasumi itu mendapatkan sambutan meriah dari hadirin.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebanyak 94 negara dan kawasan menandatangani traktat tersebut, yang melarang kepemilikan, penggunaan dan pengembangan senjata nuklir, dan 73 negara lainnya sudah meratifikasi traktat tersebut.
Namun, negara-negara yang memiliki kemampuan teknologi nuklir, seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis dan China, menentang traktat itu dan tidak menghadiri konferensi tersebut.
Jepang sendiri, yang berada di bawah naungan nuklir Amerika Serikat, tidak menandatangani atau meratifikasi traktat itu.
“Sangat disayangkan bahwa Jepang memutuskan untuk tidak ambil bagian dalam pertemuan ini, bahkan hanya sekedar sebagai pengamat,” kata Melissa Parke, direktur eksekutif International Campaign to Abolish Nuclear Weapons, kelompok penerima Nobel Perdamaian 2017.
Jepang tidak pernah berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan yang membahas traktat itu, yang berlaku efektif pada 2021.
Parke juga mengatakan bahwa “sangat disesali” pemerintah Jepang tidak pernah mendengarkan seruan hibakusha supaya negara itu ambil bagian dalam pertemuan yang membahas tentang senjata nuklir, setidaknya sebagian pengamat.*