Ulama memiliki kisah-kisah jenaka dan humor cerdas menunjukkan memiliki pemahaman agama yang dalam menghadapi pertanyaan umat, termasuk masalah puasa Ramadhan, onani/masturbari bulan puasa, dll
Hidayatullah.com | DALAM sejarah Islam, para ulama tidak hanya dikenal karena keluasan ilmu dan kebijaksanaan mereka, tetapi juga karena kecerdasan dan selera humor yang tinggi.
Salah satu ulama yang terkenal dengan kecerdasannya dalam berdebat dan menjawab pertanyaan adalah Asy-Sya’bi (19-103 H/640-721 M).
Asy-Sya’bi adalah seorang ahli hadits dari kalangan tabi’in yang dikenal dengan ingatannya yang luar biasa. Ia lahir di Kufah, dan dikatakan bahwa ia tidak pernah mencatat apapun, melainkan mengingat semua yang didengarnya.
Asy-Sya’bi dikenal sebagai seorang ahli fikih, penyair, dan juga pernah diangkat sebagai hakim oleh Umar bin Abdul Aziz. Ia memiliki hubungan dekat dengan Abdul Malik bin Marwan, dan pernah menjadi utusannya ke Raja Romawi. (Az-Zirikli, al-A’lam, III/251).
Kisah-kisahnya yang jenaka tidak hanya menghibur, tetapi juga sarat dengan hikmah dan sindiran tajam terhadap kebodohan. Dua kisah berikut ini menggambarkan bagaimana Asy-Sya’bi menghadapi pertanyaan-pertanyaan absurd yang diajukan kepadanya.
Pertama, Ketika Ditanya tentang Masturbasi di Bulan Ramadhan. Dalam kitab “Uyūn al-Akhbār” (II/64) karya Ibnu Qutaibah Ad-Dinawari, disebutkan bahwa suatu hari ada seorang seorang lelaki bertanya kepada Asy-Sya’bi:
رَجُلٌ اِسْتَمْنَىٰ فِي يَوْمٍ مِّنْ شَهْرِ رَمَضَانَ، هَلْ يُؤْجَرُ؟
“Seorang lelaki melakukan istimna’ (masturbasi/onani) di siang hari bulan Ramadhan, apakah dia mendapat pahala?”
Jawaban yang diberikan pun sangat tajam dan penuh sindiran: “Apakah dia tidak puas jika bisa lolos (dari hukuman) kepala dibalas dengan kepala?”
Kelucuan dalam kisah ini terletak pada beberapa hal: Pertama, Pertanyaannya yang absurd, di mana seseorang justru berharap pahala dari sesuatu yang jelas-jelas dilarang dalam syariat.
Kedua, sindiran dalam jawaban, yang mengingatkan bahwa dosa itu seharusnya cukup untuk ditakuti, bukan malah diharapkan pahala darinya.
Ketiga, ironi pemahaman agama, di mana si penanya seolah memiliki pemikiran bahwa segala sesuatu yang dilakukan di bulan Ramadhan bisa mendatangkan pahala, tanpa membedakan antara yang benar dan yang salah.
Keempat, jawaban itu mengandung pelajaran besar: bahwa seseorang seharusnya bersyukur jika masih diberi kesempatan bertobat daripada berharap pahala dari perbuatan dosa. Ini adalah contoh klasik bagaimana seorang ulama menggunakan humor sebagai sarana pendidikan.
***
Dalam Mazhab Hanafi yang mu’tamad (kuat), tindakan istimna’ (masturbasi) dianggap membatalkan puasa dan mengharuskan qadha’ (penggantian puasa).
Pandangan ini juga dipegang oleh Mazhab Maliki, Madzab Syafi’i, dan Mandzab Hanbali, tanpa ada perbedaan pendapat di antara mereka.
Ibnu Qudamah dan An-Nawawi menyatakan bahwa jika seseorang melakukan istimna‘, maka puasanya batal tanpa adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.
Beberapa ulama Hanafi seperti Ibnu Abidin dan Ibnu Najim juga menegaskan bahwa jika seseorang melakukan istimna hingga keluar mani, maka ia harus mengganti puasanya. Meskipun ada beberapa pendapat yang berbeda, namun pandangan yang dipegang mayoritas ulama dan dijadikan rujukan adalah bahwa istimna membatalkan puasa.
Kedua, Ketika Ditanya tentang Caci Maki di Awal Ramadhan. Dalam kisah lain, seorang pria dari kaum نوكى (naukā’), yang dikenal sebagai orang-orang kurang cerdas, masuk ke rumah Asy-Sya’bi saat beliau sedang duduk bersama istrinya.
Pria itu dengan polos bertanya: “Siapa di antara kalian yang (namanya) Asy-Sya’bi?” Asy-Sya’bi, yang terkenal dengan kecerdikannya, segera menjawab sambil menunjuk istrinya: “Ini dia!”
Kelucuan pertama muncul dari keanehan pertanyaan pria tersebut. Dengan hanya ada dua orang di dalam rumah—seorang laki-laki dan seorang perempuan—seharusnya mudah bagi siapa pun untuk mengenali Asy-Sya’bi.
Jawaban Asy-Sya’bi adalah sindiran halus bahwa si penanya terlalu bingung untuk memahami situasi yang sederhana.
Setelah itu, pria yang sama melanjutkan dengan pertanyaan lain yang tidak kalah aneh: “Apa hukumnya seseorang yang mencaci maki saya pada hari pertama bulan Ramadhan? Apakah dia mendapat pahala?”
Asy-Sya’bi menjawab dengan santai: “Jika dia mengatakan kepadamu, ‘Wahai orang bodoh,’ maka aku berharap dia mendapat pahala.” (Ibnu Abd Rabbih, al-‘Aqdu al-Fariid, 1404: VII/167).
Kelucuan lain dalam kisah ini terletak pada beberapa hal: Pertama, Ketidaktahuan si penanya, yang tampaknya salah memahami konsep pahala dan dosa. Jawaban cerdas Asy-Sya’bi, yang secara halus mengisyaratkan bahwa caci maki itu mungkin memang pantas diterima oleh si penanya.
Kedua, Ironi dalam hukum syariat, di mana orang yang seharusnya menghindari kebodohan justru membuat pertanyaan yang semakin menunjukkan kebodohannya.
Ketiga, Jawaban ini sekaligus memberikan pelajaran bahwa sebelum mempertanyakan sesuatu dalam agama, seseorang harus memiliki pemahaman yang cukup agar tidak mempermalukan dirinya sendiri.
Sebagai tambahan, terkait menghadapi celaan orang di bulan Ramadhan, ada arahan bijak dari Nabi Muhammad ﷺ. Beliau pernah bersabda; “Puasa itu benteng, maka (orang yang melaksanakannya) janganlah berbuat kotor (rafats) dan jangan pula berbuat bodoh. Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah: ‘aku sedang puasa’ beliau mengulang ucapannya dua kali.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Muslim disebutkanl; “Apabila salah seorang dari kalian berpuasa di suatu hari, maka janganlah ia berkata-kata kotor dan berbuat kesia-siaan. Bila ia caci seseorang atau menyerangnya, maka hendaklah ia mengatakan, “Sesungguhnya saya sedang berpusa.”
Dengan tidak meladeni orang yang mencaci maki, mencela bahkan mengajak bertengkar, maka dia akan mendapat pahala. Seorang yang berpuasa seharusnya bisa mengendalikan amarahnya.
Dari dua kisah ini, kita dapat melihat bahwa humor dalam Islam bukan sekadar bahan tertawaan, tetapi juga memiliki nilai pendidikan.
Berikut beberapa pelajaran yang dapat diambil:
Pertama, pentingnya memahami agama dengan benar. Banyak orang yang bertanya tanpa dasar ilmu yang cukup, sehingga bukannya mendapatkan jawaban yang bermanfaat, mereka justru menjadi bahan tertawaan.
Kedua, kecerdasan dalam menjawab lebih efektif daripada marah. Asy-Sya’bi tidak pernah membalas kebodohan dengan kemarahan, tetapi dengan sindiran cerdas yang membuat orang berpikir. Ketiga, Gunakan humor sebagai alat edukasi. Dalam berdakwah, sering kali sindiran yang halus lebih efektif daripada teguran langsung.
Keempat, di era digital seperti saat ini, kisah-kisah seperti ini masih relevan. Banyak orang yang mencari jawaban atas hal-hal sepele atau tidak masuk akal, dan sering kali mereka berharap agama akan menyesuaikan diri dengan keinginan mereka, bukan sebaliknya.
Maka, humor cerdas seperti yang ditunjukkan oleh Asy-Sya’bi adalah cara yang baik untuk mengajarkan hikmah tanpa membuat orang tersinggung.
Kisah-kisah jenaka dalam Islam seperti ini menunjukkan bahwa para ulama tidak hanya memiliki pemahaman agama yang dalam, tetapi juga kecerdasan emosional yang tinggi dalam menghadapi orang-orang yang datang dengan berbagai pertanyaan unik.*/Mahmud Budi Setiawan