Hidayatullah.com—Pemerintah Australia secara resmi mencabut visa seorang influencer media sosial asal ‘Israel’ yang dikenal luas karena unggahan pro-’Israel’ dan komentar tajam terkait konflik Timur Tengah.
Keputusan ini diumumkan oleh Departemen Dalam Negeri Australia dan didasari pada penilaian bahwa yang bersangkutan “menjadi ancaman terhadap keamanan masyarakat” serta berpotensi memicu ketegangan sosial.
Meski nama lengkap influencer tersebut belum diungkap secara resmi oleh pemerintah, sejumlah media ‘Israel’ seperti Haaretz dan The Times of ‘Israel’ mengidentifikasinya sebagai figur yang cukup populer di kalangan pendukung ‘Israel’ garis keras, dengan jutaan pengikut di Instagram, TikTok, dan Twitter (kini X).
Ia dilaporkan sebelumnya tinggal di Australia dengan visa sementara, namun kini diperintahkan untuk meninggalkan negara tersebut.
Retorika Online Dianggap Provokatif
Menurut pernyataan resmi Departemen Dalam Negeri, keputusan pembatalan visa diambil setelah tinjauan dari badan intelijen dan imigrasi, yang menilai bahwa aktivitas daring influencer tersebut mengandung unsur “retorika provokatif dan hasutan kekerasan”.
Unggahan-unggahan yang dipermasalahkan mencakup pujian terhadap aksi kekerasan oleh pemukim ‘Israel’ di wilayah pendudukan Tepi Barat serta kecaman terhadap unjuk rasa pro-Palestina di Australia.
“Perilaku online individu ini tidak sejalan dengan nilai-nilai Australia dan berisiko menimbulkan gesekan di dalam komunitas multikultural kami,” tulis pernyataan Departemen Dalam Negeri.
Komunitas Terbelah
Keputusan ini memicu respons yang kontras dari kelompok-kelompok masyarakat di Australia. Dewan Eksekutif Yahudi Australia (ECAJ) menyuarakan kekhawatiran bahwa langkah ini dapat mencerminkan “bias politis” dan menyerukan transparansi dalam proses hukum.
Sebaliknya, Jaringan Advokasi Palestina Australia (APAN) menyambut baik keputusan tersebut sebagai bentuk tindakan tegas terhadap ujaran kebencian.
“Ini adalah preseden penting yang menunjukkan bahwa Australia serius melindungi komunitas rentan dari provokasi berbasis kebencian,” ujar juru bicara APAN seperti dikutip dari ABC News.
Sikap Tegas Pemerintah
Menteri Dalam Negeri Clare O’Neil membela keputusan tersebut, menegaskan bahwa Australia memiliki kebijakan nol toleransi terhadap ujaran yang berpotensi menimbulkan kekerasan, tanpa memandang asal negara atau orientasi politik.
“Siapa pun yang menyebarkan kebencian dan kekerasan tidak akan diberi ruang di negara ini,” ujar O’Neil dalam konferensi pers, dikutip oleh The Guardian Australia.
Menurut hukum Australia, visa dapat dicabut atas dasar karakter jika seseorang dianggap tidak pantas secara moral atau menjadi ancaman terhadap ketertiban umum.
Kasus ini mencerminkan tren ketat dalam kebijakan imigrasi Australia, di mana beberapa tokoh asing—termasuk aktivis sayap kanan dan ekstremis agama—pernah ditolak masuk atau dideportasi dalam beberapa tahun terakhir.
Implikasi Lebih Luas
Kasus ini menyoroti sejumlah isu krusial beberapa hal. Pertama, regulasi media sosial: Pemerintah Australia semakin aktif menindak ujaran online yang dinilai membahayakan. Undang-undang baru terkait ujaran kebencian digital tengah dipertimbangkan.
Kedua, pengaruh asing: Canberra telah memperketat aturan campur tangan asing, khususnya dalam isu-isu sensitif seperti konflik ‘Israel’-Palestina, demi menjaga stabilitas domestik.
Ketiga, sensitivitas diplomatik: Meski hubungan Australia dan ‘Israel’ tetap kuat secara diplomatik, keputusan ini bisa memunculkan perdebatan tentang keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan keamanan nasional.*