Hidayatullah.com—Jika umat bisa kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya, niscaya Allah akan berikan kemenangan, Seperti yang terjadi pada masa Shalahuddin Al Ayyubi (1137-1193).
Sebab masa kejayaan Islam bisa kembali direngkuh ketika umat Islam kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah. Sama halnya ketika masa Shalahuddin. Pria asal Tikrit, Iraq itu muncul sebagai Emir terkuat di wilayah Mesir, Suriah, dan Mesopotamia.
Ia bahkan menyatukan sebagian besar wilayah itu dalam satu pemerintahan dan menjadi pemimpin pertama sebuah dinasti baru, yaitu Dinasti Ayyubiyah. Ia kemudian menggunakan kekuasaannya ini untuk menghadapi tentara Salib dan membebaskan al-Quds.
Shalahuddin dan juga Nuruddin Zanki- Raja Suriah yang ikut menyatukan berbagai wilayah Muslimin-, pada saat yang sama juga ikut dibentuk oleh arus kebangkitan Ahlu Sunnah yang telah berjalan setengah abad sebelumnya.
Padahal, kala itu, umat sempat terpecah-pecah dalam aliran-aliran dan mahzab, termasuk pecah akibat perbedaan fikih.
“Kaum Muslimin dan para ulamanya pada zaman itu juga pernah mengalami disorientasi ilmu dan pemahaman penerapan Islam. Perbedaan madzhab fikih membuat mereka terpecah belah dan bermusuhan,” demikian disampaikan sejarahwan dan penulis buku populer Alwi Alatas saat acara bedah buku “Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III: Perjuangan Shalahuddin Al Ayyubi dan Relevansinya Saat ini”, Sabtu (20/09/2014) lalu di di AQL Islamic Center, Jakarta.
Pria yang juga kolumnis rubrik sejarah di hidayatullah.com ini juga mengatakan, selain kembali ke ajaran Islam yang benar, pengaruh bantuan Allah kala itu adalah besarnya peranan madrasah bagi kebangkitan Islam pada masa itu.
Di bawah ajaran para ulama Salaf yang memiliki dedikasi tinggi seperti Imam Ghazali, Abdul Qadir Al Jailani, serta Nizam Al Mulk, pengkajian ilmu begitu intesif. Madrasah tumbuh subur di berbagai tempat.
Gerakan ini dalam rentang waktu yang panjang mampu memberikan perubahan signifikan di dunia Islam.
Terjadi Disorientasi Ulama
Sementara itu, orientasi keduniaan yang begitu kuat pernah melemahkan umat Islam. Itulah mengapa, jelas Alwi, pada Perang Salib I, kaum Muslimin kalah.
“Kaum muslimin kalah bukan karena peradabannya yang tidak maju. Juga bukan karena pasukan Barat lebih maju teknologinya. Tapi karena ada masalah internal. Ulamanya terjadi disorientasi, mungkin menuntut ilmu tidak ikhlas,” tukas mahasiswa S3 Sejarah Islam, International Islamic University Malaysia (IIUM) itu melanjutkan, sembari menyebutkan penyebab perpecahan di kalangan internal umat.
Menurut Alwi, kondisi yang tidak jauh berbeda pada masa itu, terjadi pada masa sekarang. Umat Islam Indonesia merasa inferior terhadap ilmu yang sudah diajarkan Rasulullah melalui Al-Quran maupun Al Hadits. Tidak hanya berkiblat pada Barat untuk urusan teknologi tapi juga pemikiran.
“Sudah peradabannya kalah, ilmu pengetahuan umumnya ketinggalan, militer mereka lebih hebat. Sudah ketinggalan hal itu, kita masih ribut tidak memilih partai Islam,”pungkasnya.*