oleh: Ragil Rahayu Wilujeng, SE
BARU dilantik menjadi pejabat, Menteri Kesehatan (Menkes) Dr Nafsiah Mboi sudah membuat isu. Ia telah bikin heboh setelah pernyataanya akan mengkampanyekan “kondomisasi” pada kelompok seks berisiko. Meski akhirnya ia membantah akan membagi-bagikan kondom di kalangan pelajar.
Ia mengakui haya berencana melakukan kampanye penggunaan kondom karena melihat fakta adanya kenaikan praktik aborsi di kalangan remaja, serta peningkatan jumlah penderita penyakit seks menular. Penggunaan kondom dinilai bisa mengurangi ekses buruk dari hubungan seks yang tidak aman. “Kampanye ini menyasar kelompok seks berisiko,” kata Nafsiah dikuti Tempo online.
Hubungan seks bagi pasangan yang belum menikah memang tidak dianjurkan, tapi Nafsiah melihat hal itu masih juga terjadi. Penggunaan kondom, kata dia, adalah cara terakhir yang dianjurkan untuk mengurangi sebaran penyakit seks menular serta mengurangi jumlah kehamilan di luar nikah.
Di media lain, Nafsiah juga mengatakan, yang dimaksud dengan seks berisiko adalah setiap hubungan seks yang berisiko menularkan penyakit dan atau berisiko memicu kehamilan yang tidak direncanakan. Kampanye ini dipandang penting, mengingat masih banyak kasus kehamilan yang tidak direncanakan terjadi pada anak-anak remaja.
Kondomisasi sebenarnya bukan kebijakan baru yang dijalankan oleh Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi. Menteri Kesehatan sebelumnya, Almarhumah Endang Rahayu Sedianingsih telah melakukan kebijakan serupa. Kebijakan kondomisasi merupakan sebuah reaksi atas makin pesatnya jumlah penderita HIV/AIDS. Salah satu solusi yang dipandang efektif mencegah HIV/AIDS adalah dengan mengkampanyekan penggunaan kondom (kondomisasi), utamanya di kalangan remaja karena merekalah pihak yang dianggap termasuk kelompok seks beresiko. Wujud kondomisasi adalah dengan membagikan kondom gratis di komunitas tertentu semisal komunitas gay dan di lokasi tertentu semisal di kafe, tempat hiburan, tempat prostitusi, dan even-even tertentu.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), BKKBN dan DKT Indonesia bahkan pernah menggelar Pekan Kondom Nasional yang diadakan pada tanggal 1-7 Desember 2008. Sejak tahun 2003, Pemerintah juga memasang 42 ATM Kondom, namun saat ini hanya tersisa 4 ATM kondom. Mekanisme ATM kondom adalah cukup dengan memasukkan tiga koin Rp 500, mesin akan mengeluarkan kondom dengan tiga variasi rasa.
Fakta tentang “Kondomisasi”
Kampanye kondomisasi mendapat tentangan keras dari masyarakat. Ulama, anggota DPR, pendidik, pelajar, dan masyarakat umum menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kondomisasi.
Dalam sebuah acara, Prof. Dr. Chuzaimah Tahido Yanggo, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bidang fikih mengatakan, pembagian kondom sama halnya menyuruh orang berzina. Menurutnya, pembagi kondom tersebut sama artinya menfasilitasi orang untuk berzina. “Walaupun pembagi tersebut tidak berzina, namun perbuatannya itu hukumnya tetap haram dan berdosa,” katanya.
Berbagai polemik mengemuka seputar efektifitas kondom dalam pencegahan HIV/AIDS. Menurut Prof. Dr. Dadang Hawari, kampanye kondomisasi di Amerika Serikat yang dilaksanakan sejak tahun 1982 terbukti menjadi bumerang. Hal ini dikutip oleh Hawari, D (2006) dari pernyataan H. Jaffe (1995), dari Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (US:CDC: United State Center of Diseases Control). Evaluasi yang dilakukan pada tahun 1995 amat mengejutkan, karena ternyata kematian akibat penyakit AIDS malah menjadi peringkat no. 1 di AS, bukan lagi penyakit jantung dan kanker. Penelitian Carey (1992) dari Division of Pshysical Sciences, Rockville, Maryland, USA menyebutkan bahwa virus HIV dapat menembus kondom. Laporan dari Konferensi AIDS Asia Pacific di Chiang Mai, Thailand (1995) menyebutkan Penggunaan kondom aman tidaklah benar. Pada kondom (yang terbuat dari bahan latex) terdapat pori-pori dengan diameter 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang; dalam keadaan meregang lebar pori-pori tersebut mencapai 10 kali. Virus HIV sendiri berdiameter 1/250 mikron. Dengan demikian, virus HIV jelas dengan leluasa dapat menembus pori-pori kondom.
Di sisi lain terdapat juga penelitian yang memberikan hasil berbeda. Menurut laporan Consumer Reports di Amerika Serikat tahun 1989, pada kondom lateks yang diregangkan, ketika dilihat dengan mikroskop perbesaran 30 ribu kali, tidak ditemukan adanya pori-pori.
Hasil evaluasi ‘Cohrane Review’ yang dilaporkan pada 25 Mei 2001, menyimpulkan penggunaan kondom secara konsisten mempunyai kemampuan untuk mencegah transmisi HIV dengan efektivitas 80%. Evaluasi dilakukan terhadap 4.709 publikasi ilmiah mengenai efektivitas kondom.
Namun, di India ada satu hipotesis bahwa ukuran dan bentuk penis pria berbeda-beda. Oleh sebab itu mereka melakukan suatu penelitian mengenai ukuran penis ereksi dengan menggunakan kamera digital yang gambarnya secara otomatis akan tersimpan dalam komputer. Dari bermacam-macam ukuran penis tersebut mereka berharap dapat membuat dua sampai tiga macam ukuran dan bentuk kondom. Hal ini dilakukan karena kondom yang dipakai sering rusak karena ukuran dan bentuk kondom tidak sesuai dengan ukuran dan bentuk penis, sehingga yang terjadi kondom yang dipakai terlalu ketat. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan efektifitas kondom dalam pencegahan HIV/AIDS sangat diragukan.
Bukan Solusi
Kondom sebagai alat pencegahan HIV/AIDS bukanlah sebuah solusi. Akar masalah penyebaran HIV/AIDS adalah perilaku seks bebas/zina, baik heteroseksual maupun homoseksual. Sumber awal virus mematikan ini adalah dari pelaku homoseksual, lalu menyebar dan terus meluas melalui seks bebas di lokasi prostitusi dan bahkan akhirnya menjalar pada “orang-orang bersih” yaitu orang yang tertular HIV/AIDS dari pasangan sahnya (suami/istri) yang telah terlebih dahulu tertular virus dari lokasi prostitusi. Selama akar masalah HIV/AIDS berupa seks bebas ini dibiarkan ada dan bahkan mendapat legalitas dengan dibiarkannya lokasi prostitusi berdiri, maka jangan harap HIV/AIDS bisa dihentikan penyebarannya.
Kampanye kondomisasi pada kalangan remaja dengan anggapan mereka adalah kelompok berisiko juga mengada-ada. Jika remaja tidak tercemari dengan gaya hidup yang membolehkan seks bebas, melalui media massa, internet dan aksi-aksi panggung, mereka tidak akan tergoda untuk melakukan hubungan seks hingga berujung pada kehamilan, aborsi dan inveksi HIV/AIDS. Jika para remaja ini memiliki pemikiran yang bersih, mereka akan terhindar dari seks bebas, yang artinya mereka juga akan terbebas dari kehamilan tidak diinginkan, aborsi dan HIV/AIDS.
Remaja membutuhkan pendidikan, bimbingan dan pendampingan tentang sikap hidup memandang seks. Bukan sekedar pemberian informasi cara seks aman agar tidak hamil dan tidak tertular penyakit seksual, sebagaimana yang selama ini terjadi dalam pendidikan kesehatan reproduksi remaja di sekolah-sekolah. Dibutuhkan perangkat hukum yang melindungi remaja dari paparan pornografi dan pornoaksi dengan cara pelarangan tayangan dan aktivitas porno secara ketat, pemblokiran situs-situs porno, serta pelarangan buku, majalah, CD dan game porno beredar di masyarakat. Kampanye kondomisasi pada remaja justru mendorong mereka untuk berperilaku seks bebas, asalkan menggunakan kondom. Tindakan ini merupakan legalisasi seks bebas dan akibatnya adalah makin tumbuhsuburnya berbagai penyakit menular seksual semisal HIV/AIDS.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan selama ini selalu memposisikan penderita HIV/AIDS sebagai korban. Sehingga mereka diberi pelayanan yang baik berupa pengobatan di rumah sakit dan bahkan rehabilitasi untuk membaur dengan masyarakat. Masyarakat juga diminta untuk maklum dengan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan menerima mereka secara wajar di dalam pergaulan. Hal ini didengungkan dengan slogan: “Jauhi Penyakitnya, Bukan Orangnya.” Pemakluman terhadap ODHA merupakan perlindungan terhadap perilaku seks bebas, karena sudah jelas penyebab terbesar HIV/AIDS selain jarum suntik adalah adalah seks bebas. Maka ODHA seharusnya diberi sanksi sesuai dengan perbuatannya, bukan malah dilindungi.
Islam dan HIV/AIDS
Allah swt telah menurunkan Al Qur’an sebagai solusi tuntas seluruh persoalan manusia, termasuk HIV/AIDS. Allah swt melarang umat Islam melakukan seks bebas/zina yang merupakan akar masalah HIV/AIDS. Larangan zina ini termaktub dalam firman Allah swt Surat Al Israa’ ayat 32 yang artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” Penyebab HIV/AIDS selain seks bebas adalah konsumsi narkoba. Larangan terhadap narkoba terdapat dalam hadits Rasulullah saw. Ummu Salamah menuturkan : Rasulullah saw melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Mufattir dalam hadits tersebut adalah setiap zat relaksan atau zat penenang, yaitu yang kita kenal sebagai obat psikotropika. Maka Islam mengharamkan narkoba, baik konsumsi, produksi dan juga peredarannya.
Pengharaman zina dan narkoba tidak berhenti sebatas larangan lisan, namun diaplikasikan secara praktis dalam Daulah Islam (Negara Khilafah Islam) dalam bentuk pemberantasan segala hal yang terkait zina dan narkoba.
Syariat Islam menjelaskan sanksi bagi aktivitas zina dan narkoba dalam bentuk berbeda. Pelaku zina jika sudah menikah maka dihukum rajam (dilempari batu hingga meninggal) dan jika belum menikah maka dihukum jilid/cambuk seratus kali jilid. Sedangkan pengguna, produsen dan pengedar narkoba dihukum sesuai dengan ijtihad khalifah.
Sanksi yang tegas ini, selain menebus dosa pelaku, juga akan menghasilkan efek jera bagi siapapun yang menyaksikannya. Itulah sebabnya, sanksi rajam dan jilid disiarkan secara luas, agar semua warga negara mengetahuinya dan tidak menirunya.
Sedangkan kejahatan narkoba termasuk ta’zir. Bentuk, jenis dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad pemerintahan Islam atau qadhi (hakim). Sanksinya bisa dalam bentuk dipublikasikan, dipenjara, didenda, dijilid/dicambuk, bahkan sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat.
Berdasarkan paparan di atas jelas sudah bahwa kondomisasi tidak menyelesaikan persoalan HIV/AIDS namun bahkan melegalkan seks bebas. Masalahnya, sudah ribuan kasus HIV/AIDS –bahkan jutaan kasus Narkoba— semua pihak tak mengambil pelajaran berharga? Mengapa tidak memakai konsep syariah saja?
Penulis adalah aktivis Islam, tinggal di Sidoarjo Jawa Timur