Oleh: Musthafa Luthfi *
“Perdamaian” adalah istilah yang didengungkan faksi-faksi Palestina berhaluan nasionalis seperti Fatah, dan “gencatan senjata tak terbatas“ merupakan istilah yang dicuatkan oleh faksi-faksi berhaluan Islam seperti Hammas dan Jihad Islam menyangkut pengakuan Israel terhadap negara Palestina merdeka.
Istilah “Perdamaian” dengan Israel mengacu pada realita bahwa sebuah negara yang didirikan oleh negara-negara besar pemenang perang dunia II diatas tanah milik bangsa Arab Palestina yang dicaplok pada masa penjajahan Inggris mau tak mau akhirnya harus diakui.
Sedangkan istilah “gencatan senjata tak terbatas“ adalah mengacu pada perinsip akidah Islam yang melarang pengakuan atas negeri penjajah yang mencaplok tanah kaum Muslimin apalagi di dalamnya terdapat tanah suci umat Islam yakni Al-Quds Al-Sharif dengan Masjid Al-Aqsa sebagai tempat Mi`raj Nabi Muhammad SAW dan kiblat pertama umat Islam.
Bila negeri pencaplok menyandarkan hak mereka atas tanah Palestina pada akidah kitab “Talmud“ yang sejatinya telah diselewengkan sesuai kehendak gerakan zionisme internasional karena tidak semua pemuka Yahudi sependapat dengan zionisme, maka hak bangsa Palestina pula untuk menyandarkan perjuangan mereka di atas akidah Islam yang berdasarkan bukti bukti historis dan logika adalah pemilik sah tanah warisan para Nabi itu.
Kenyataan sekarang ini bahwa dunia Barat dan sangat disayangkan juga, sebagian besar negara Islam lebih mengedepankan faksi-faksi nasionalis Palestina sebagai wakil sah bangsa Palestina dalam perundingan “damai“ dengan negeri Yahudi itu. Faksi-faksi yang mengatasnamakan Islam dianggap organisasi terorisme.
Terlepas dari sikap pilih kasih terhadap faksi-faksi Palestina, yang jelas bangsa yang satu-satunya masih hidup di alam penjajahan itu menghadapi kenyataan baru pasca Pemilu Israel yang berlangsung 10 Februari lalu setelah aksi holocaust yang dilakukan pasukan zionis itu di Gaza yang menyebabkan lebih dari 1.300 warga sipil Palestina gugur sebagai syuhada dan 5 ribu lebih luka-luka disamping kehancuran terbesar sejak negeri zionis itu berdiri tahun 1948.
Seperti telah diduga, menyusul kegagalan Israel mencapai tujuannya lewat serangan di Gaza terutama terkait pernyataan sesumbar para pemimpin negeri itu untuk menghabiskan riwayat gerakan Hammas, pemilu tersebut dimenangkan oleh parpol-parpol ekstrimis ultra kanan terutama Likud dibawah pimpinan Benjamin Netanyahu dan Israel Baituna pimpinan Avigdor Lieberman.
Dengan raihan kursi 65 buah di Kneset (parlemen) dari total 120 kursi, parpol-parpol ultra kanan lebih berpeluang besar membentuk pemerintahan baru. Meskipun partai Menlu Tzipi Livni, ketua partai Kadima meraih suara teratas (28), beda satu kursi dari Likud (27), namun tidak cukup kuat untuk membentuk pemerintahan baru disebabkan koalisinya seperti partai Buruh mengalami penurunan drastis (13) dari sebelumnya 19 kursi sehingga berada di urutan keempat setelah Israel Baituna.
Setelah Livni gagal membentuk pemerintahan baru, maka Presiden Simon Perez mengalihkan tugas ke Netanyahu yang hampir dipastikan dapat membentuk pemerintahan beranggotakan parpol-parpol garis keras ultra kanan setelah Kadima dan Buruh memilih menjadi oposisi.
Dengan posisi partainya di urutan ketiga, Lieberman akhirnya menjadi penentu. Sebenarnya baik yang bersangkutan bersedia berkoalisi dengan Livni maupun Netanyahu, dia diproyeksikan untuk menjadi Menteri Pertahanan atau paling tidak menteri penentu kebijakan luar negeri Israel terutama terkait hubungan dengan Palestina dan dunia Arab pada umumnya.
Lieberman sebagaimana diketahui adalah pemimpin radikal Israel yang mengancam untuk menenggelamkan Gaza, mengusir seluruh warga Arab dari Israel dan menuduh Presiden Mesir melakukan konspirasi dalam pembuatan terowongan di Rafah untuk menyelundupan senjata ke para pejuang Palestina.
Banyak pihak yang sangat khawatir bahwa bergabungnya Lieberman dalam pemerintahan Israel kali ini akan menyulut eskalasi baru di kawasan karena pemerintahan ultra kanan ingin balas dendam atas kekalahan Israel oleh Hizbullah di Libanon dan melanjutkan perang di Gaza yang belum mencapai sasaran yaitu melenyapkan Hammas.
Kekhawatiran tersebut didasari pendapat bahwa pemimpin negeri zionis itu terdiri dari dua kubu yakni sayap kiri dan tengah yang diwakili oleh Kadima dan Buruh dianggap sebagai pro perdamaian sehingga disebut sayap “merpati“ dan kubu kanan dan ultra kanan disebut anti perdamaian sehingga disebut sayap “elang“.
Ilusi
Kenyataan sebenarnya Livni atau Ehud Barak (ketua Partai Buruh) bukan “merpati“ dan Netanyahu atau Lieberman bukan “elang“. Masyarakat internasional terutama dunia Arab dan Islam seharusnya sadar bahwa pembagian itu tak lebih sekedar ilusi belaka yang sengaja diciptakan Barat untuk mengelabui Arab.
Serangan di Gaza terakhir seharusnya makin membuka mata bahwa pemerintah negeri zionis itu tidak mengenal kelompok merpati atau elang. Semuanya adalah kelompok “drakula“ yang haus darah Palestina dan bangsa Arab sehingga tidak ada lagi taruhan kepada partai tertentu di Israel atau taruhan kepada AS.
Selain serangan Gaza terakhir sejarah juga membuktikan bahwa pembagian para pemimpin negeri Yahudi itu menjadi dua kelompok tersebut ilusi semata. Sejak pencaplokan Palestina hingga beberapa kali perang besar yang terjadi dilakukan oleh para pemimpin yang disebut “merpati“. Ben Gorioun misalnya yang melancarkan serangan tahun 1956 atas Mesir dan perang kilat melawan Arab tahun 1967 adalah dari partai Buruh.
Pembataian di Libanon tahun 1996 juga dilakukan Simon Perez (Buruh), kemudian tahun 2006 dilakukan Ehud Olmert (Kadima) terakhir di Gaza Ehud Barak, Livni dan Olmert (Buruh-Kadima) yang dianggap sayap “merpati“. Sebaliknya bila Arab bertekad melawan kekuatan dengan kekuatan maka sayap yang disebut “elang“ pun tidak bisa berkelit dari perdamaian sebagaimana yang terjadi dengan Mesir pada tahun 1978.
Menachem Begin (Likud) akhirnya bersedia mengembalikan wilayah Mesir pada persetujuan Camp David pada 1978 setelah Mesir bersama Suriah berhasil mematahkan mitos pasukan Israel tak terkalahkan pada perang Ramadhan tahun 1973.
Intinya pemerintah Israel mendatang merupakan “modefikasi lebih baik“ bagi rakyat Israel karena lebih radikal dari sebelumnya dengan perubahan wajah tanpa perubahan kebijakan dan perinsip. Sekaligus membuktikan bahwa rakyat negeri itu makin haus akan darah Arab karena terbukti mayoritas mendukung serangan ke Gaza tanpa ada penyesalan atas kematian anak-anak dan kaum wanita secara mengenaskan.
“Hasil pemilu terakhir juga membuktikan bahwa rakyat Israel benar-benar dalam ketakutan yang luar biasa sehingga memilih para pemimpin yang selalu siap perang, sementara mereka tidak memahami bahwa perang-perang yang dilancarkan Israel akhir-akhir ini gagal mencapai target,“ komentar sejumlah analis Arab.
Bila mengacu pada perang besar dalam rentang waktu dua dekade belakangan ini, apa yang disebutkan sejumlah analis Arab itu memang sebuah kenyataan. Perang 1982 saat agresi ke Libanon akhirnya gagal meredamkan perjuangan bersenjata Arab sehingga Israel mundur secara sepihak dari Libanon pada Mei 2000.
Agresi ke Libanon tahun 1996 dengan pembantaian di kamp PBB di daerah Qana, Libanon Selatan juga gagal memandulkan perjuangan bersenjata Hizbullah bahkan Hizbullah makin kokoh termasuk mendapat dukungan kuat seluruh dunia Arab.
Pada agresi musim panas tahun 2006 pada saat dukungan Arab terpecah terhadap Hizbullah, Israel juga gagal melucuti senjata Hizbullah bahkan negeri itu kehilangan banyak tentara dan warga sipil akibat serangan balasan para pejuang Hizbullah. Bahkan kini, gerakan perlawanan di Libanon itu makin kuat dengan memiliki pertahanan udara yang tangguh yang siap berhadapan dengan Israel .
Sekjen Hizbullah, Syeikh Hassan Nasrullah pada haul (peringatan tahunan) kematian Emad Al-Mugnia, pengatur strategi Hizbullah, pertengahan Februari lalu menegaskan bahwa Israel bukan lagi negeri yang unggul di udara. “Kami berhak menggunakan senjata canggih yang kami miliki untuk menghadapi musuh Israel yang tidak lagi merupakan kekuatan yang menakutkan kami,“ antara lain pesan Nasrullah.
Pada perang Gaza terakhir yang merupakan pembantaian paling besar dan sadis terhadap target sipil dan PBB yang dilakukan negeri Yahudi itu, juga gagal mencapai sasaran utama seperti penghentian serangan roket dan menghancurkan Hammas.
Sebenarnya siapapun pemimpin negeri Yahudi itu yang muncul tidak ada bedanya dan tidak perlu pula ditakuti. Seharusnya dunia Arab mulai mencuatkan semboyan “ tiada kekhawatiran terhadap Lieberman atau Netanyahu“ sebab penentu masa depan Palestina bukan dari Israel tapi bangsa Palestina sendiri dan bangsa Arab bersama dunia Islam.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kelemahan direkayasa
Justeru yang dikhawatirkan pasca Pemilu Israel tersebut adalah perpecahan berkelanjutan di dalam tubuh Palestina dan kelemahan yang direkayasa oleh dunia Arab. Maksud kelemahan direkayasa disini adalah bangsa Arab memiliki potensi ekonomi, sumber daya manusia dan kekuatan militer yang sebenarnya sangat mengerikan musuh, namun tidak diberdayakan dengan berbagai alasan terurama “phobia“ terhadap Barat dan mitos keunggulan Israel .
Bila dunia Arab dan Islam memberdayakan potensi yang dimilikinya meskipun dalam batas minimal saja, maka dunia lain akan memperhitungkannya dengan serius. Sebagai contoh, Arab dan dunia Islam mengancam untuk menghentikan kerjasama di bidang pemberantasan terorisme, niscaya Barat akan “kelabakan“.
Kemudian negara-negara Arab pengekspor minyak cukup mengurangi sepertiga apalagi separo produksi minyaknya niscaya harga akan melonjak tinggi yang berdampak bagi perekonomian dunia terutama negara-negara industri. Aljazair misalnya mengurangi separo pasokan gas ke Eropa Barat, akan membuat kawasan itu yang masih tergantung gas Aljazair akan “kelimpungan“ karena untuk beralih ke Rusia tidak mudah karena Rusia juga dalam posisi renggang dengan Eropa akibat dukungan atas Georgia dan Ukania yang ingin menjadi anggota NATO.
Sebenarnya masih banyak kartu lain yang bisa dimainkan meskipun dalam tahap batas minimal yang sejatinya dapat mengangkat harga diri umat Islam dalam memperjuangkan hak-hak bangsa Palestina. Kartu lainnya yang tak kalah penting adalah “Islamisasi isu Palestina“ menyusul makin kuatnya peranan Turki dalam penyelesaian konflik Arab-Isarael mendatang.
Apa yang dikemukanan diatas hanya contoh kecil dari banyak potensi yang bisa dimainkan dunia Arab dan Islam dalam membantu kembalinya Al-Quds Al-Sharif dalam kerangka “perdamaian“ atau dengan istilah “gencatan senjata tak terbatas“.
Bila kelemahan direkayasa tersebut masih saja dipertahankan oleh dunia Arab maka mimpi-mimpi “perdamaian“ atau “gencatan senjata tak terbatas“ pasca Pemilu Israel terakhir akan tetap sebagai mimpi panjang, dan pasti berdampak terhadap bangsa Palestina tak berdaya yakni makin banjirnya darah syuhada Palestina di bumi para Nabi itu.
Apakah harus menunggu Gaza tenggelam dulu baru memberdayakan potensi tersebut? Para pemimpin Arab dan dunia Islam yang paling pantas menjawabnya sebab bangsa-bangsa Muslim tidak akan tahan lagi melihat pemandangan Gaza baru yang lebih dahsyat. [Sana`a, 29 Safar 1430 H/hidayatullah.com]
* Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com bermukim di Yaman