Hidayatullah.com–Berpolitik terkadang menjadi dilematis. Itulah yang dirasakan Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam cukup besar di negeri ini. Dilematisasi ranah politik akan sangat dirasa dalam praktik dunia empirik. Salah satunya, karena Indonesia menggunakan sistem multipartai.
Terjun dalam ranah politik praktis mustahil. Sebaliknya, meninggalkan politik secara totalitas juga dirasakan berbahaya. Satu-satunya cara yakni, politik adilihung. Itulah yang tepat bagi Muhammadiyah. Keharusan berpolitik, meski tidak harus terjun ke ranah politik praktis.
Hal ini disampaikan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin saat menjadi keynote speaker dalam seminar nasional “Membangun Konstruksi Ideal Relasi Muhammadiyah dengan Politik,” di gedung PWM Jatim Selasa, (16/3) siang.
Diakui Din, Muhammadiyah tidak mungkin allout meninggalkan politik. Sebab, Islam sendiri bersifat universal (syumuliyah), mencakup segala aspek; ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Kendati demikian, ada sejumlah kendala jika politik ditarik ke ranah nyata.
“Bisa karena dinamika politik nasional, dan konstelasi politik yang multipartai,” ujarnya di hadapan peserta seminar. Namun, lanjutnya, sepanjang sejarah berdirinya Muhammadiyah hingga sekarang, tidak lepas dari dunia politik.
Lebih jelas dia mencontohkan, ketika masa kepemimpinan Syafii Ma’arif, Muhammadiyah begitu determinan dalam hiruk pikuk gerakan menurunkan Gus Dur.
Sedang, dalam masa kepemimpinannya, Din mengaku sangat kritis terhadap kepemimpinan Presiden SBY. “Kalau saya masih sedikit melawan SBY, belum banyak,” jelasnya yang disambut tawa peserta.
Hal itu dilakukan jika SBY memang salah. Jika SBY benar, tetap akan didukung.
Karena itu dia mengatakan, sikap politik Muhammadiyah sesuai dengan khittah yang telah ditetapkan di Makassar. Muhammadiyah tidak memiliki hubungan secara organisasi politik, struktural, dan afiliasi dengan partai politik apapun. “Muhammadiyah hanya akan mengambil peran politik non-partai. Dan, bisa netral, baik netral aktif maupun pasif,” ujarnya.
Din juga mengatakan, setelah Tanwir di Makassar tahun 2001, Muhammadiyah concern dalam politik kebangsaan amar ma’ruf nahi mungkar. Karena itu, Muhammadiyah akan selalu mengkritik pemerintah jika salah. Sebaliknya, jika benar, maka Muhammadiyah akan berada di depan mendukungnya. [ans/hidayatullah.com]