oleh: Shalih Hasyim
SEBAGAI sebuah paradigma (tashawwur, fikrah, mabda) dan cara hidup (minhajul hayah), Islam dari segi etimologis mengandung empat pesan fundamental dan universal. Keempat nilai-nilai peradaban itulah yang seharusnya menjadi panduan seorang Muslim.
Pertama, salima minal mustaqdzirat (steril dari sesuatu yang mengotori hati). Memeluk Islam sesungguhnya mencari jalan keselamatan. Menambah kebaikan-kebaikan (kehidupan yang berkah).
Karena dengan berislam, sesungguhnya media untuk membersihkan hati. Jika hati manusia bersih, maka seluruh anggota tubuhnya akan bersih pula. Kebersihan hati akan berefek pada kebersihan pikiran dan perilaku.
Orang yang bersih hatinya malu jika kebaikannya diketahui orang. Sebagaimana malunya ketika cacatnya terbongkar. Maka ia selalu merahasiakan amalnya sebagaimana menyembunyikan sisi gelap dirinya. Orang yang ikhlas takut terkenal. Jika terpaksa dikenal, maka ia memperoleh dua pahala. Yakni ajrul ikhlas wa ajrusy syuhrah (pahala keikhlasan dan pahala populer).
Keikhlasan adalah modal utama seorang beriman untuk bertemu dengan Allah SWT.
(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (QS. Asy Syu’ara (26) : 88-89)
Kedua, as-Silm (kedamaian). Di sini keislaman seseorang diukur dari keterampilannya dalam menjalin komunikasi dengan siapapun. Karena, inti keberagamaan seseorang adalah pandai bergaul (ad-Dinu huwal mu’amalah). Kualitas kecintaan keislaman seseorang berbanding lurus dengan kecintaannya kepada Al-Khalik dan al-Makhluk. Muslim berarti terbuka, lapang dada, dan berjiwa besar. Sedangkan kafir adalah sosok yang inklusif (menutup diri). Berjiwa kerdil. Dia tidak ingin berbagi, tetapi mengedepankan tuntutan hak. Ia berpandangan bahwa berbagi itu mendatangkan kerugian material. Karenanya, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang kafir, orang-orang fasiq, orang-orang yang berbuat aniaya. Prinsip seorang Muslim adalah musuh satu dianggap banyak, teman seribu dipandang sedikit. Orang Islam memandang orang lain sebagai anugrah, mitra, mafatihul khair (pembuka kunci kebaikan), bukan rival (pesaing). Sekalipun dipandang pesaing, tetapi dalam kaca mata positif. Berlomba-lomba dalam kebaikan, fastabiqul khairat. Persaingan yang sehat, bukan persaingan yang negatif.
Ketiga, al- Salam (kesejahteraan). Karena berislam sesungguhnya memenuhi aspirasi jiwa. Memberdayakan fitrah manusia. Al-Haq Yang Maha Benar, menciptakan manusia dengan fungsi menegakkan al-Haq (iqamatul haq). Fitrah manusia itu mengingkari sesuati yang bertentangan dengan hati dan setuju dengan sesuati yang dikanali hati. Senang kepada kejujuran dan benci kepada kebohongan. Rasulullah Saw bersabda : Kebenaran itu mendatangkan ketengan jiwa dan kebohongan itu melahirkan skeptis (keragu-raguan).
Kebenaran itu bukan milik bangsa, perorangan, tetapi milik semua insan. Semua manusia sama posisinya di depan kebenaran. Kebenaran itu suci, sama sucinya dengan yang menurunkannya. Sekalipun kebenaran itu diperkosa, akan tetap mulia. Dan suatu saat mempelihatkan wujudnya. Maka, manusia yang menodai kebenaran akan merasakan gugatan batin (al inhizam an nafsiyyah).
Penegak kebenaran dan keadilan itu, eksistensinya tetap legitimid dan dirindukan, dan kepergiannya ditangisi, sekalipun sendiri dan dalam sepi. Sedangkan kebatilan itu akan sirna bersama dengan berlalunya massa, sekalipun didukung dengan kekuatan militer dan modal (finansial) yang cukup.
Pejuang nilai-nilai ketuhanan (al-Haq) itu mendatangkan nilai-nilai ekonomi. Kesejahteraan lahir dan batin. Bahagia di dunia dan selamat di akhirat. Bagi mereka kabar gembira di dunia dan akhirat.
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَياةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus (10) : 64)
Sebaliknya, berpaling dari Islam akan mengantarkan kepada kerumitan hidup di dunia, dan siksa di akhirat lebih menyakitkan dan memberatkan.*/bersambung ke panduan keempat..
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus Jawa Tengah