NABI Shalallaahu ‘Alahi Wasallam suka berkeliling mendatangi (menggauli) istri-istrinya yang berjumlah sembilan orang dalam satu malam. Diriwayatkan dari Anas r.a., ia berkata, “Nabi berkeliling ke tempat-tempat istri beliau dalam satu jam di satu malam atau siang, yang ketika itu mereka berjumlah sebelas orang.” Qatadah bertanya kepada Anas, “Apakah Nabi sanggup melakukannya?” Anas menjawab, “Kami sudah katakan bahwa beliau diberi kekuatan tiga puluh orang laki-laki.” (HR Bukhari).
Dalam satu riwayat Bukhari, dari Anas r.a. bahwa Nabi berkeliling ke tempat-tempat istrinya dalam satu malam dan ketika itu beliau memiliki sembilan orang istri. Dalam riwayat lain, beliau bersuci dari semua itu dengan satu kali mandi saja.
Diriwayatkan dari Aisyah r.a., ia berkata,
“Aku memakaikan minyak wangi di tubuh Rasulullah, lalu beliau berkeliling ke istri-istrinya. Di pagi hari beliau sudah berihram dan dalam keadaan wangi.”(HR Bukhari dan Muslim)
Orang yang memiliki kekuatan fisik seperti itu bukan hanya Nabi kita, bahkan seluruh nabi juga demikian. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa para nabi semuanya adalah ahli ilmu dan kekuatan.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi bersabda,
“Sulaiman ibnu Dawud berkata, ‘Malam ini aku akan berkeliling menggauli tujuh puluh orang istriku sehingga setiap istri akan mengandung seorang mujahid yang dapat berjihad di jalan Allah’. Kemudian teman bicaranya berkata, ‘Insya Allah.’ Namun, Sulaiman tidak mengatakannya sehingga akibatnya tidak seorang pun istrinya yang mengandung, kecuali seorang saja dan yang dilahirkannya pun hanya seorang manusia
bertubuh sebelah’. Kemudian, Nabi bersabda, ‘Sekiranya ia mengucapkan kalimat ‘insya Allah’, niscaya semua keturunannya dapat berjihad di jalan Allah.” (HR Bukhari).
Dianjurkan bagi seseorang jika ingin mengulangi senggamanya agar berwudhu terlebih dahulu. Ini sekadar anjuran, bukan kewajiban. Diriwayatkan dari Abu Said’ al-Khudri r.a. bahwa Rasulullah bersabda,
“Jika seorang dari kalian menyetubuhi istrinya dan ingin mengulanginya lagi, hendaknya ia berwudhu.” (HR Muslim).
Dianjurkan pula bagi suami saat berjima’ membaca doa:
“Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkan kami dari setan dan jauhkan setan dari rezeki yang Engkau berikan kepada kami.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a.,
Nabi Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bersabda, “Jika seorang dari kalian saat menggauli istrinya membaca ‘Bismillah allahuma jannibna asy-syaithana wa jannibi asy-syaithana ma razaqtana; lalu ia ditakdirkan memiliki anak dari situ maka anak itu tidak akan pernah dicelakai setan selamanya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Nabi menganjurkan bagi laki-laki yang melihat perempuan asing (selain istrinya) dan tertarik kepadanya agar segera mendatangi istrinya.
Diriwayatkan dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam melihat seorang perempuan maka beliau segera mendatangi istrinya, Zainab, yang saat itu sedang membentangkan kulit untuk disamak. Beliau segera menunaikan hajatnya, lantas kembali kepada para sahabatnya. Beliau lalu bersabda,
“Perempuan itu datang dalam bentuk setan dan pergi dalam bentuk setan. Jika seorang dari kalian melihat seorang perempuan, hendaknya ia segera mendatangi istrinya karena hal itu dapat menepis perasaan yang ada di dirinya.” (HR Muslim).
Penolakan seorang istri saat diajak suaminya berhubungan dianggap sebagai salah satu dosa besar. Nabi mengingatkan para perempuan agar tidak menolak jika diajak suaminya berhubungan.
Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi bersabda,
“Jika seorang laki-laki mengajak istrinya berhubungan dan istrinya menolak untuk itu, maka para malaikat akan melaknat istrinya hingga subuh.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah bersabda,
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang laki-laki yang mengajak istrinya ke ranjangnya, lalu istri menolaknya, kecuali seluruh penghuni langit akan murka kepadanya sampai suami merelakannya.” (HR Muslim).*/Dr. Mustafa Al-Adawi, dari bukunya Fikih Suami Istri.