Oleh: Imam Nawawi
BELAKANGAN mencuat wacana bela negara. Wacana ini muncul pertama oleh Menteri Pertahanan. Dimana Program Bela Negara harus diikuti oleh semua Warga Negara Indonesia (WNI) di bawah 50 tahun.
Tidak tanggung-tanggung, Menteri Pertahanan Ryamizad Ryacudu menargetkan 100 juta warga dalam 10 tahun ke depan mengikuti program tersebut.
Hal ini didasarkan pada beberapa fakta, di antaranya adalah pudarnya nasionalisme di dalam dada para generasi penerus bangsa yang satu indikatornya ialah sudah tidak sedikit anak-anak negeri ini yang tidak hafal Pancasila.
Beragam pendapat pun muncul sebagai respon atas wacana yang memang masih dini dan dinilai absurd.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah misalnya berpendapat bahwa dirinya setuju dengan program tersebut, tetapi dananya dari mana? Kemudian, pihak lain bertanya, bagaimana cara mengkader penduduk 100 juta penduduk NKRI?
Sementara itu juga muncul pendapat yang mengatakan bahwa sekalipun bela negara ini bukan wajib militer, tetapi cara paling tepat untuk menanamkan rasa cinta penduduk negeri ini adalah keteladanan dari pemerintah itu sendiri yang secara konkret benar-benar menjaga kestabilan negara dengan menjamin hak hidup layak seluruh penduduknya.
Terkait dengan pendapat terakhir di atas, menarik apa yang ditulis oleh Mohamad Sobary. Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas itu menulis, “Pasar global, pemerintah, dan kebijakan pemerintahlah yang mengancam nasionalisme kita, apa pun artikata itu” (Opini Koran Sindo, 13/10).
Dari tiga hal yang dinilai Sobary menggebah nasionalisme penduduk NKRI, kebijakan pemerintah menjadi faktor paling dominan.
Contoh sederhana, apakah rakyat Riau yang sekarang dalam derita (meski tanpa luka) bisa ‘menghormati’ pemerintah? Kemudian, dari segmen anak-anak, salah siapa ketika anak-anak sekarang lebih kenal Power Rangers daripada para pahlawan bangsa?
Jawabannya beragam, dan mungkin yang hampir pasti menjadi jawaban pertama adalah karena pengaruh teknologi, global dan budaya modern. Tetapi, bukankah itu bisa dihindari jika pemerintah mau menerap kebijakan yang berpihak pada bagaimana anak-anak Indonesia mesti mengenal pahlawan bangsa?
Sungguh, pendapat Sobary mesti menjadi bahan utama pemerintah untuk merenung dan mengevaluasi diri (muhasabah) sebelum meluncurkan program-program yang bombastis, yang dimana terlaksana dan suksesnya program itu sendiri menuntut syarat berupa keteladanan dari pemerintah itu sendiri.
Andaikata pemerintah selama ini memang benar-benar memperjuangkan hak-hak rakyatnya secara maksimal, sehingga seluruh pesan moral dalam Pancasila itu terwujud dalam kehidupan nyata seluruh rakyat NKRI, maka Menteri Pertahanan dan Menkopolhukam tidak perlu wacana yang seperti ini.
Tetapi, karena memang belum mewujud, maka syarat utama rakyat memiliki nasionalisme tinggi mesti dipenuhi terlebih dahulu.
Sementara, di lain sisi, adalah fakta bahwa para pejabat negara lebih banyak bertindak sebaliknya. Taruhlah apa yang dipaparkan oleh Ikrar Nusa Bhakti hari ini.
Profesor Riset LIPI itu menulis, “Setahun DPRI hasil Pemilu Legislatif 2014 banyak diwarnai intrik-intrik politik internal ketimbang menghasilkan suatu karya yang monumental membangun masa depan politik yang lebih baik bagi bangsa dan negara Indonesia” (Opini Kompas, 13/10).
Lebih lanjut, Ikrar menulis, “Fungsi legislatif yang dimiliki DPR bukan digunakan untuk memperbaiki sistem politik Indonesia ke depan ke arah yang lebih baik, malah digunakan oleh kelompok mayoritas di parelemen untuk membuat undang-undang demi kepentingan politik mereka.”
Dan, kini juga melalui DPR yang nota bene merupakan wakil rakyat, yang dipundaknya ruh nasionalisme bangsa ini dititipkan justru asyik merevisi UU KPK, yang juga mendapat perlawanan sengit dari banyak pihak. Paling naif, kretek pun dimasukkan sebagai draf UU atas nama budaya bangsa.
Terhadap ulah sebagian anggota DPR yang bersinggungan dengan Pasal Kretek pada RUU Kebudayaan, Badrul Munir menulis, “Motivasi “menyelundupkan” pasal ini (kretek) dilakukan oleh sebagian anggota DPR, mungkin didasari keberhasilan menghilangkan dua “ayat tembakau” dalam UU Kesehatan. Dengan permainan sangat “cantik, tetapi licik”, ayat tentang tembakau di Pasal 113 RUU Kesehatan tiba-tiba hilang saat disahkan sebagai UU Kesehatan pada 2009” (Opini Kompas, 13/10).
Jika, kaum terpelajar negeri ini, merasa apa yang dipertontonkan pemangku kebijakan negara (eksekutif-legislatif) masih jauh dari adab, moral dan nasionalisme bangsa, maka bangaimana mungkin mereka bisa dicintai dan dibanggakan oleh rakyat Indonesia.
Dengan sedikit fakta ini saja, rasanya sangat sulit jika pemerintah tiba-tiba ingin memanivestasikan nasionalisme sebagai bagian dari tanggung jawab pemerintah untuk membawa NKRI berdaya dan maju dengan menggunakan otoritasnya ‘memaksa’ penduduk NKRI langsung tunduk pada metode yang dinilai pemerintah sebagai yang paling efektif.
Atas dasar itulah, dan sebagai wujud rasa cinta terhadap NKRI yang mendalam, saya berharap semua pemangku kebijakan di negeri ini untuk melakukan muhasabah, baik secara individu maupun kolektif.
Dan, inilah yang dilakukan oleh pemimpin Muslim yang luar biasa setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq, yakni Umar bin Khaththab Radiyallahu Anhu, yang siang malam seluruh daya dan waktunya digunakan sepenuhnya untuk melayani rakyatnya.
Beliau berkata, “Hisablah dirimu sebelum dihisab dan timbanglah amalmu sebelum ditimbang di hari kiamat.”
Jadi, sebelum mengajak rakyat ini dan itu, ada baiknya pemerintah, legislatif dan yudikatif menginsyafi diri, sehingga tidak lagi tertarik beretorika tanpa fakta, membuat sensasi tanpa bukti, atau dalam bahasa Ikrar Nusa Bhakti, gemar berintrik tapi nir karya.
Melalui momentum Muharrom 1437 H, mengapa tidak jika seluruh elemen bangsa bermuhasabah untuk bergandengan tangan membangun negara dengan berlomba-lomba memberikan keteladanan.
Sebab, bagaimana negeri ini akan utuh, jika mereka yang mengemban amanah dan mandat rakyat justru bercerai-berai dengan memandang kepentingan diri dan golongannya sebagai yang maha penting dari keutuhan NKRI sendiri. Wallahu a’lam.*
Mantan Sekretaris Jenderal Syabab Hidayatullah 2009-2013