Hidayatullah.com–Bukan hal yang mudah untuk menjelaskan hakikat sebenar liberalisme mengingat ideologi ini terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Karena itu, penting umat Islam memahami hakikat liberalisme yang sebenarnya, sebelum melakukan kritik terhadapnya. Tanpa itu, itu sama saja dengan, “Memanah dengan mata tertutup,” demikian disampaikan Dr. Khalif Muammar A. Harris, Profesor Madya di Centre for Advanced Studies on Islam, Science and Civilisation (CASIS) Universiti Teknologi Malaysia Kuala Lumpur, dalam kajian pemikiran PIMPIN Bandung “Islam dan Filsafat Liberalisme”pada Ahad, 13 Desember 2015. Kegiatan yang bertempat di bertempat ruang GSS A Masjid Salman, ITB.
Mengutip Edmund Fawcett dalam Liberalism: The life of an Idea, pakar peradaban Islam ini menyebutkan ada empat ide pokok pemikiran liberalisme.
Pertama, respect people on their own right, artinya hak individu harus dihormati, seperti haknya untuk menentukan tujuan dan pandangan hidup, dan tidak boleh ada paksaan dari pihak lain terhadap tujuan pandangan itu, termasuk dari agama sekalipun.
Kedua, conflict is inescapeable, artinya konflik antar manusia itu tidak terelakkan dan wujudnya keharmonisan merupakan hal yang tidak mungkin dan juga merupakan hal yang tidak baik. Sebab konflik diperlukan untuk memacu kreatifitas dan kompetisi.
Ketiga, resistance to power, artinya kekuasaan manusia mesti dilawan, sebab kekuasaan itu cenderung kepada kekejaman dan kesewenang-wenangan. Kekuasaan yang adil menurut paham liberal adalah hal yang tidak mungkin terwujud.
Keempat, change is inevitable and good, artinya, perubahan merupakan hal yang pasti dan juga baik, karena tabiat manusia dan masyarakat memang dinamik. Karena itu pemerintah atau otoritas apapun tidak boleh terlalu membatasi masyarakat dalam melaksanakan kepercayaan dan aktifitas hidupnya.
Dari sisi politik, gerakan liberalisme muncul pada abad ke-19. Namun, sebagai pandangan hidup atau kepercayaan liberalisme telah dicetuskan oleh pemikir-pemikir Eropa sejak abad ke-16. Di antaranya adalah Rene Descartes, John Locke, Voltaire, David Hume, Immanuel Kant, dan John Stuart Mills.
Menurutnya, tokoh-tokoh itu notabene pemikir Barat semuanya. Ini menunjukkan bahwa liberalisme sejatinya merupakan hasil pergulatan sejarah masyarakat Barat dalam melawan absolutisme dari para raja, orang-orang kaya (majikan), dan juga agama (gereja).
Masalahnya, paham ini coba ditanamkan dalam tubuh umat Islam bahkan dicari pembenarannya dalam Islam, sampai-sampai dimunculkan istilah Islam liberal seakan-akan liberalisme sejalan dengan Islam. Padahal prinsip-prinsip liberal bertentangan dengan prinsip Islam.
Contoh, paham liberal jelas menentang otoritas agama mengatur hidup manusia.
“Liberalisme membebaskan manusia melakukan apapun, meskipun hal itu mencelakai dirinya, “ ujar Dr. Khalif.
Ia juga memberi contoh dalam pandangan liberal, perzinahan dan minum arak tidak boleh dilarang, meskipun hal itu jelas-jelas merusak tatanan hidup manusia.
Tujuan diturunkannya agama Islam adalah untuk menjaga manusia dari kerusakan.
“Dalam Islam keburukan harus dicegah. Perzinahan itu merusak, minum arak merusak, karena itu mesti dicegah,” tegas pembina Pimpin ini. [Baca juga: Dr. Khalif Muammar: “Toleran Saja Tak Cukup, Mesti Menerima Kebenaran”]
Karena itu Dr. Khalif menyimpulkan, “Tidak ada titik temu Islam dengan paham liberal.”/kiriman Wendi Zarman