Peran ilmu ushul fikih disamping menelaah metodologi mujtahid dalam mengambil intisari hukum pada teks agama, juga memberikan panduan dalam berinteraksi pada teks
Oleh: Bana Fatahillah
Hidayatullah.com | DUA bulan lalu, tepatnya Rabu, 14 Juni 2023, saya mengkhatamkan pelajaran ushul fikih bersama santri Pesantren At-Taqwa Depok. Di akhir majlis saya berpesan bahwa ilmu ini sangat penting.
Hal ini karena dapat memberi pemahaman bahwa teks keagamaan memiliki sakralitas. Karenanya ia tak bisa diotak-atik semaunya.
Peran Ushul Fikih
Sedikit permisalan. Suatu hari, di dalam Masjid, Anda mendapati tulisan, “Jangan tidur di shaf pertama sampai keempat”.
Pertanyaannya, apa yang Anda tangkap dari teks itu? Sudah jelas, tentu larangan tidur di shaf pertama sampai keempat.
Andai teman di samping Anda mengatakan, “Ah, maksud tidur itu jika tengkurep, kalau duduk ya boleh” atau “shaf pertama sampai keempat itu kan hanya kiasan, maksudnya adalah shaf depan yang ditempati imam”?
Pertanyaannya, mungkinkah asumsi berikut Anda benarkan? Jawabannya mungkin saja. Tapi bukankah makna yang diberikan teks sudah jelas.
Selain itu, tidak ada indikator yang menggiring teks pada makna lainnya. Karenanya, asumsi tersebut tertolak.
Inilah sedikit gambaran pentingnya ushul fikih. Ia memberi panduan bagaimana berinteraksi dengan teks.
Sebab setiap teks memiliki dalalah-nya (sesuatu yang ditunjukan oleh teks). Ketika dalalah itu sampai kepada pembaca, ia tidak bisa seenaknya menggiring ‘makna’ tersebut kepada selain makna yang sudah ditetapkan.
Al-Quran memiliki dalalah yang beragam. Ada lafadz yang mengindikasikan keumuman (‘Am), kekhususan (khas), masih menuai penafsiran lain (zahir), tidak menuai penafsiran (nash) dan sebagainya. Inilah yang ditelaah dalam ushul fikih.
Setiap dari dalalah ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Ada yang tidak bisa diganggu gugat (qath’iy), ada juga yang dhanniy, yakni masih menuai penafsiran.
Sebagai contoh, ketika Allah memerintahkan memberi makan 10 orang miskin dalam kafarat, puasa 10 hari dalam dam haji, 80 cambukan bagi pezina, maka lafadz 10 dan 80 tersebut tidak bisa ditafsirkan apapun selain makna bilangan itu.
Sebab bilangan merupakan lafadz khusus yang bersifat qath’iy. Begitupun lafadz “berilah makan” sebagai bentuk perintah. Maknanya sudah maklum. (lihat Manasyi’ Al-Dalaalah, hal. 10).
Mengaburkan ‘Dalalah’
Inilah yang ditabrak para liberalis modernis atau postmodernis saat membaca teks agama. Mereka melakukan satu pendekatan baru bernama pembacaan kontemporer (contemporary method).
Jika ditelaah, teori ini hendak mengaburkan dalalah yang ditujukan teks Al-Quran dengan alasan: (i) tidak ada yang tahu maksud pasti penulisnya, (ii) kandungan makna teks dapat ditafsirkan secara dinamis sebagaimana yang disuarakan Syahrur, pemikir liberal asal Suria, atau (iii) bahasa akan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman sehingga tidak ada makna yang pasti dalam sebuah teks.
Lahirlah pendapat untuk menggugat ayat tentang hukum waris dengan menyamakan hak perempuan dan laki-laki. Di Mesir, pemikiran ini sudah mendapat kritikan tajam dari sejumlah ulama.
Di Indonesia, sebuah karya berjudul “Qiraah Mubadalah” turut menyuarakannya kembali: “…
Ketika kenyataan sosial berubah, di mana perempuan juga ikut terlibat dalam menanggung nafkah, apalagi dengan kewajiban sosial yang relatif sama, maka penyesuaian bagian waris bisa dipertimbangkan” (hal. 272)
Padahal ayat waris dalam Al-Quran adalah lafadz khusus (khas). Karenanya ia bersifat qath’iy alias tidak bisa diganggu gugat. Inilah mengapa Syeikh Ali Jum’ah, ulama terkemuka Al-Azhar Mesir dengan tegas menolak adanya revisi akan hukum waris yang sudah tertera dalam Al-Quran. (Lihat https://www.almasryalyoum.com/news/details/1346008)
Begitupun pendapat bahwa perintah kerudung bagi wanita tidak wajib dengan alasan hari ini perempuan muslimah sudah terjamin aman. Tidak sebagaimana di Madinah dahulu.
Atau bolehnya muslimah menikahi lelaki non-muslim dengan alasan larangan yang berlaku dulu disebabkan keadaan berperang, dan kini sudah tak ada lagi perang. (Lihat Nahwa Ushul Jadidah, hal. 372 dan Muslimah Reformis, hal. 88).
Bahkan seorang yang dielu-elukan sebagai pembaharu pernah menggugat syariat bukan lagi pada tataran gagasan, tapi sudah amalan. Setelah pulang dari panggilan haji ke Tanah Suci, yang katanya terpaksa itu, ia mencatat perjalanannya yang di antara poinnya:
(i) Ia berhaji tanpa ihram. (ii) Kebanyakan praktik haji adalah ‘lahiriah’ saja (iii) Ka’bah memberikan ilustrasi akan penyembah berhala masa jahiliyyah, begitu pun dinding untuk melempar jumroh layaknya patung pada masa jahiliyyah (iv) tidak lain adalah sisa-sisa dari penyembahan berhala dulu setelah dijernihkan. (Dikutip oleh Muhammad Imarah dalam tulisan Hasan Hanafi di Koran Akhbaar Al-Adab, Kairo, 2006).
Penafsiran yang asal-asalan seperti ini, terjadi akibat berani membongkar teks. Ujungnya adalah relativisasi nilai agama, karena mengedepankan realitas untuk berkuasa atas pemaknaan teks.
Akhirnya tidak ada lagi yang ‘tetap’. Inilah gambaran dari mereka yang berani menerobos pemaknaan teks tanpa panduan yang pasti.
Sekali lagi di sinilah peran ilmu ushul fikih. Di samping menelaah metodologi mujtahid dalam mengambil intisari hukum pada teks agama, ushul fikih juga turut memberikan pakem (panduan) dalam berinteraksi pada teks.
Sehingga teks tidak bisa dibawa semaunya, atau yang dalam istilah Prof. Muhammad Abu Ashi layaknya adonan yang dibentuk semaunya.
Imam Syafi’i Dicaci
Spirit pembacaan kontemporer adalah kontekstualisasi. Slogan mereka adalah, tidak ada makna yang pasti, atau makna akan selalu berkembang mengikuti zamannya.
Itu artinya, siapa yang memberi pakem akan cara memaknai teks dengan baik, akan dituduh sebagai biang keladi dalam “kejumudan” umat.
Inilah yang terjadi pada Imam Syafi’i, satu di antara empat imam mazhab. Sang Imam dicaci habis-habisan oleh sebagian kalangan.
Alasannya beragam, salah satunya karena ia telah ‘mengunci’ cara berinteraksi dengan teks dengan membuat satu panduan khusus bernama ilmu ushul fikih.
Menurut mereka Imam Syafi’i telah melakukan penyeragaman pemikiran keagamaan. Lewat Kitab Ar-Risalah, nalar agama diresmikan.
Ketika kita berbicara tentang Islam dan bagaimana cara untuk menyelesaikan persoalan yang muncul di muka bumi, maka semua jawabannya ada di dalam Al-Quran. Katanya, itu sebuah ortodoksi keagamaan yang dipaksakan. (Intelektual Islam, hal. 279-280).
Seorang mahasiswa ushuluddin pernah menulis bahwa Imam Syafi’i dengan ushul fiqihnya hendak memperkuat otoritas dialek Quraisy yang sudah dilakukan Utsman bin Affan sebelumnya. Tujuannya adalah menjadikan al-Quran sebagai otoritas mutlak.
Bahkan dengan lantangnya ia menulis:
“Patut disayangkan memang, generasi pasca Syafi’i tidak kreatif dan hanya mem-beo pemikiran Syafi’i. Tidak sanggup mengimbangi pemikiran Syafi’I, apalagi melakukan kritik… Teori ushul fiqih ala Syafi’i yang ke-Arab-an inilah yang harus kita “amandemen”. Itulah tanggung jawab kita sebagi generasi masa kini untuk menyusun teori Ushul Fiqih baru dengan lebih mengedepankan demokrasi, rasionalitas dan pro tradisi lokal.” (Studi Kritik Al-Quran, Jurnal Justisia, Edisi 23, 2003, hal. 23).
Pertanyaan yang sama kita lontarkan. Apa yang sudah Anda lakukan untuk mengimbangi ushul fikih sang Imam?
Jika dikatakan membeo, bukankah Anda juga membeo pada Nasr Hamid Abu Zayd terkait kritik Imam Syafi’i dalam bukunya “Imam Al-Syafi’I wa Ta’sisi Al-Idiyulujiyyah Al-Wasathiyyah”?
Pelajarilah Ushul Fikih
Dari ulasan di atas, semakin terang dan jelas peran mempelajari ilmu ushul fikih. Syeikh Usamah Al-Azhari, ulama muda Al-Azhar mengatakan bahwa ushul fikih adalah metodologi yang sudah diterapkan Nabi sejak dulu dalam menelaah teks keagamaan.
Syeikh Ali Jum’ah dengan tegas mengatakan ushul fikih adalah satu kekhususan (keistimewaan) umat Islam yang tidak dimiliki umat lainnya, disamping ilmu musthalah hadis dan mantiq. Ia menjaga sakralitas teks keagamaan agar tidak dibawa semaunya. Wallahu a’lam bi Al-Shawab.*Penulis adalah guru di PP Attaqwa- Depok, Jawa Barat, alumni Al-Azhar, Mesir