Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM
TULISAN ini merupakan kerisauan penulis, semakin hari semakin banyak ditemui adanya tantangan dan ancaman yang demikian sistemik. Kita selalu dihadapkan pada kenyataan pilihan politik yang cenderung menggeser kepentingan yang jauh lebih penting. Ketika masa kampanye banyak sekali orang yang kelihatan baik berupaya menjadi orang penting. Menjadi orang penting adalah baik, namun jauh lebih penting menjadi orang baik.
Sebagaimana diketahui, tanggal 24 Mei yang lalu telah tercapai kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Iran. Kedua Negara telah melakukan penandatanganan Nota Kesepakatan di berbagai bidang mulai dari industri, investasi, perdagangan, bea barang, hingga perbankan. Iran dan Indonesia juga sudah mencapai kesepakatan final untuk membangun 48 pembangkit listrik di Tanah Air. Iran juga akan membangun proyek kilang di Indonesia. Berdasarkan rencana awal, kilang diproyeksikan akan memiliki kapasitas kilang 300.000 barel per hari. Direncanakan akan dibangun di Jawa Barat atau Jawa Timur dengan investasi sebesar U$ 4 miliar.
Perlu diketahui bahwa produksi minyak Iran mencapai titik terendah karena sanksi embargo dan ekonomi, ekspor minyaknya merosot tajam hingga 50 persen sejak awal 2012 menjadi 1,0 juta barel perhari. Oleh karena itu, Iran menjual minyaknya di pasar gelap yang diperkirakan mencapai 80 persen dari total penjualannya. Untuk kepentingan meningkatkan pendapatannya dari sektor minyak, maka Iran menempuh investasi pengilangan minyak di Indonesia untuk mengolah 300.000 barel per hari minyak mentah dari Iran. Pembangunan kilang minyak ini membutuhkan biaya investasi sekitar US$ 3 miliar. Sebanyak 70 persen dibiayai oleh Indonesia dan sisanya oleh Iran. Investasi model Iran ini, tidak tepat disebut “investasi” tapi lebih tepat dikatakan “numpang olah”. Seharusnya, pembiayaan investasi lebih banyak oleh Iran bukan sebaliknya.
Beberapa hal yang menjadi perhatian bagi kita semua, yakni arus investasi dan perdagangan Iran bukan hanya ditujukan untuk meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) baik secara nasional maupun perkapita, namun juga terkait dengan penguatan arus Syiahisasi. Akan timbul opini di masyarakat luas, bahwa Syiah bukanlah ancaman baik bagi akidah maupun bagi Negara. Bahkan Menko Perekonomian menyerukan persatuan Sunni dan Syiah ketika berkunjung ke Iran dalam rangka kerjasama investasi dan perdagangan atas perintah Presiden Joko Widodo. Sejalan dengan itu, akan tercipta “Syiah Relasional”, yakni pebisnis Sunni yang karena terikat hubungan kerjasama dengan Iran akan mendukung dakwah Syiah di Indonesia.
‘Syiah relasional’ juga akan banyak terjadi di kalangan elite pemerintahan sebagai pihak yang terlibat dalam kerjasama investasi dan perdagangan. Dengan penguatan arus investasi dan perdagangan Iran di Indonesia, pasti akan memberikan kemudahan bagi juru dakwah Syiah dalam melakukan Syiahisasi. Di sisi lain pemerintah pasti tidak akan menganggap Syiahisasi sebagai suatu hal yang berbahaya. Inilah bentuk kelicikan Syiah Iran dan ketidakcerdasan elite pemerintah serta kaum pebisnis. Jika kaum pebisnis dan pemeritah menganggap peningkatan ekonomi melalui kerjasama dengan Iran adalah hal yang perlu diprioritaskan, maka persoalan antara Sunni dengan Syiah dianggap telah selesai. Tidak akan dibenarkan adanya aktivitas penolakan terhadap dakwah Syiah, dan tidak menutup kemungkinan akan dikriminalisasikan. Iran melalui kekuatan bargaining positionnya dipastikan akan mengembangkan program Syiahisasi dengan meningkatkan aktivitas dakwah di Indonesia dan tentu dengan dukungan pemerintah dan para tokoh Agama ternama.
Kondisi demikian perlu dicermati dan dikritisi oleh umat. Terkait dengan hal ini, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) sedang menggodok draft Rancangan Undang-Undang Perlindungan Agama (RUU PUB). Untuk kepentingan penggodokan draft RUU PUB memang terkesan agak tertutup, hal ini adalah lumrah mengingat draft RUU PUB cukup sensitif. Sehingga Kemenag sangat berhati-hati, untuk itulah beberapa kali FGD digelar guna mengakomodir berbagai pendapat, saran dan masukan yang membangun dalam rangka finalisasi RUU PUB. Dalam FGD ketiga kami (MIUMI) dimintakan pendapat, saran dan masukannya, pada hari Selasa yang lalu. Kami mengapresiasi langkah Kemenag ini, dengan catatan Kemenag harus terbebas dari pengaruh (inflitrasi) berbagai kelompok yang selama ini cenderung berseberangan dengan Islam, seperti kaum sekular, pluralis, liberal dan aliran sesat.
Dalam kesempatan ini, saya menyampaikan beberapa hal yang dibahas dalam FGD kemarin di Kemenag Lapangan Banteng. Dimaksudkan agar umat mengetahui substansi draft RUU PUB, tentunya substansi yang mesti dikritisi. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka mengawal RUU PUB agar sesuai dengan arah dan tujuannya dan tidak merugikan umat dan Agama Islam.* (bersambung)
Penulis adalah Anggota Komisi Kumdang MUI Pusat & Litbang MIUMI