Oleh: Andi Ryansyah
PERSATUAN umat Islam sedang diuji. Di ring politik, kita sudah sama-sama tahu, gregetan, dan sedih menyaksikan Parpol-Parpol Islam yang tak kunjung menampakan kesatuan sikapnya. Di area dakwah, kita dibuat geleng-geleng kepala. Seperti beberapa waktu lalu, pengajian di Sidoarjo dibubarkan oleh ormas Islam. Di tempat lain juga terjadi hal sama. Wajar kalau kita sedih. Terlebih belum hilang dari ingatan akan kenangan indah kebersamaan kita dalam Aksi Bela Islam dan Aksi Bela Quran di Jakarta.
Tapi rasanya kita semua tidak perlu sampai memanas-manasi luapan Sidoarjo ini, dan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Sebab itu bisa makin merenggangkan tali persaudaraan kita. Mungkin alangkah baiknya kedua belah pihak bercermin. Lalu berdialog dari hati ke hati. Agar kejadian serupa tak terulang lagi. Biar sejuk.
Kalau kita membaca sejarah, semestinya perseteruan antar kalangan umat Islam karena perbedaan pemahaman, tak perlu terjadi. Karena dulu juga pernah begitu. Dan sudah selesai. Keduanya bisa bersatu.
Adalah pendiri NU, Kiai Hasyim Asy’ari, yang turut prihatin dengan perpecahan umat kala itu, dan berjuang mempersatukannya. Saat api fitnah dan pertentangan berkobar-kobar, ia gagas Al-Mawaa’izh: sebuah renungan dan nasihat yang mendalam akan pentingnya persaudaraan dan persatuan umat Islam. Al-Mawaa’izh ini beliau siarkan di Kongres NU ke XI di Banjarmasin tahun 1935.
Baca: Soal Pembubaran Pengajian, MUI Minta Semua Pihak Saling Introspeksi
Dalam pengantarnya, Tokoh Muhammadiyah Buya Hamka yang menerjemahkan Al-Mawaa’izh di majalah Panji Masyarakat (15/8/1959), mengungkapkan:
“Al-Mawaa’izh adalah satu testamen keagamaan yang amat penting, yang bukan berguna bagi kaum Nahdlatul Ulama saja, tetapi berguna bagi kita seluruh kaum muslimin Indonesia. Bukan saja di zaman Hadratisy Syaikh masih hidup,bahkan menjadi pedoman kita pun setelah beliau wafat.”
Karena itu, sangatlah mendesak kita angkut banyak pikiran Al-Mawaa’izh untuk memperbaiki keadaan sekarang ini.
Pikiran pertama dari Al-Mawaa’izh yakni perseteruan antar kalangan umat Islam lantaran kurang taat pada Al-Qur’an dan hadits. Ayat suci yang berbunyi, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara, maka perbaikilah hubungan di antara dua orang saudaramu” malah diamalkan sebaliknya. Mereka memperlakukan saudaranya bak musuh. Pun dengan hadits yang berpesan, “Janganlah kamu berdengki-dengkian, berbelakang-belakangan, dan berebut-rebutan. Dan hendaklah kamu semuanya menjadi hamba Allah dalam persaudaraan.”
Mereka malah saling serang. Dua pusaka Nabi itu mestinya sungguh-sungguh diamalkan.
Kedua, membuang jauh-jauh rasa fanatik pada satu mazhab atau satu qaul (ucapan) dan perkara furu’ (cabang agama). Sebab Imam Syafii, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Ibnu Hajar, dan Ramli pun tak mencontohkan begitu ketika bersilang pendapat. Masing-masing tidak mengatakan aku benar dan kamu salah. Perbedaan pendapat soal furu’ sudah jadi konsekuensi logis dari terbukanya pintu ijtihad (kesungguhan menggunakan akal untuk meneliti hukum atas sebuah masalah) para ulama.
Kiai Hasyim menyeru umat agar energinya lebih diperas pada hal-hal yang ushul (pokok agama). Ketimbang fanatik mazhab dan furu’, kata beliau, lebih baik membela agama Islam, berijtihad menentang orang-orang yang menghina Al-Qur’an dan sifat-sifat Allah, dan berjuang menolak orang yang mendakwahkan ilmu sesat dan kepercayaan yang merusak.
“Dan berjihadlah menghadapi orang-orang yang demikian adalah wajib!” tegas Kiai Hasyim.
Beliau juga sangat menyayangkan kalangan yang keras membicarakan furu’, tapi abai dengan orang yang meninggalkan shalat dan lembek dengan perbuatan haram macam pelacuran, riba, menenggak minuman keras, dan lain-lain.
“Tidak ada cemburumu melihat yang demikian itu (perbuatan haram –red). Kamu hanya cemburu untuk Syafii dan Ibnu Hajar. Sehingga yang demikian itu menyebabkan pecahnya persatuan kalimatmu dan terputusnya hubungan kasih sayang di antara kamu, sehingga orang bodohlah yang menguasai kamu, sehingga jatuhlah haibah kebesaranmu di hadapan orang awam dan orang yang rendah budi, yang membicarakan cacat-cela kehormatanmu dengan tiada patut,” kritik Kiai Hasyim.
Ketiga, toleransi pada kelompok yang taqlid. Kiai Hasyim mengimbau untuk tidak mencaci kelompok yang beramal berdasarkan taqlid pada qaul imam-imam yang memang boleh di-taqlid-i, sekalipun qaul itu lemah alasannya. Bila tidak setuju, kata beliau, berilah petunjuk yang halus kepada mereka. Jika mereka tak mau ikut juga, jangan musuhi mereka.
“Kalau kamu berbuat demikian (memusuhi –red), samalah kamu dengan orang yang membangun sebuah istana, dengan menghancurkan terlebih dahulu sebuah kota,” tutur Kiai Hasyim.
Keempat, kemenangan Islam bergantung pada persatuan umat. Dan persatuan umat harus dibangun dengan keikhlasan niat, kebersihan hati, dan keinsyafan individu. Selain itu, perlu adanya kesadaran berdasarkan agama yang satu, Islam; negara yang satu, Indonesia; dan tidak mengabaikan mazhab mayoritas di negeri ini, Mazhab Syafii.
Di Kongres NU berikutnya di Malang (20-24 Juni 1937), NU pernah mengundang organisasi Islam yang berada di luar mereka, untuk berdialog ihwal persoalan umat dan Islam. Bunyi undangan itu, “…kemarilah tuan-tuan yang mulia; kemarilah, kunjungilah permusyawaratan kita [=kami], marilah kita bermusyawarah tentang apa-apa yang menjadi baiknya Igama (agama –red) dan Ummat, baik pun urusan Igamanya, maupun dunianya; sebab dunia ini tempat mengusahakan akhirat dan kebajikan tergantung pula atas beresnya peri keduniaan….”(Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, 1982).
Sejarawan Deliar Noer dalam bukunya Gerakan Moderen Islam di Iindonesia 1900-1942, mengungkap, sikap kompromi NU ini melahirkan Majlis Islam A’laa Indonesia (MIAI). MIAI sepakat akan menjadi, “tempat permusyawaratan, suatu badan perwakilan yang terdiri dari wakil-wakil atau utusan-utusan dari beberapa perhimpunan-perhimpunan yang berdasarkan agama Islam di seluruh Indonesia.” (Mizan Sya’roni, Thesis The Majlisul Islami A’la Indonesia (MIAI):Its Socio-religious and Political Activities (1937-1943), 1998).
Atas inisiatif dua tokoh NU, Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Muhammad Dahlan; tokoh Muhammadiyah, Kiai Mas Mansur; dan tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia (PSSI), Wondoamiseno, MIAI berdiri.
Dalam anggaran dasarnya, tujuan MIAI antara lain menggabungkan seluruh organisasi Islam untuk bekerja sama dan mendamaikan manakala terjadi pertikaian di antara golongan umat Islam (H.Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, 2011). Hadirnya MIAI disambut positif oleh berbagai Ormas Islam, termasuk Ormas yang dulu ribut-ribut. NU, Muhammadiyah, PSII, Al-Irsyad, Persis, Al-Khairiyah, Al-Jami’atul Washliyah, Partai Arab Indonesia, dan lain sebagainya, bersatu dalam MIAI.
Demikian sebagian kiprah NU merajut ukhuwah di negeri ini. Sudah sepatutnya warisan luhur NU ini terus kita lestarikan. Agar persatuan umat Islam tak punah!
Penulis adalah pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)