Oleh Maskur
وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَعَلَى آلِ يَعْقُوبَ كَمَا أَتَمَّهَا عَلَى أَبَوَيْكَ مِنْ قَبْلُ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبَّكَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta’wil mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub…” (Yusuf [12]: 6).
Hidayatullah.com–Kisah Nabi Yusuf AS menjadi cerita yang melegenda hingga akhir zaman. Bukan hanya karena paras gantengnya, lebih dari itu ada samudera hikmah di setiap rangkaian kehidupan putra Nabi Ya’qub bin Ishaq AS tersebut.
Istimewanya, kisah tersebut dituang secara utuh dalam 111 ayat di Surat Yusuf, tanpa campuran kisah yang lain. Allah SWT berfirman, “Kami menceritakan kepadamu (Muhamad) kisah yang paling baik…” (Yusuf [12]: 3).
Demikianlah pujian al-Qur’an terhadap kualitas keimanan Nabi Yusuf AS. Sebuah prestasi hidup yang tentu tidak dihadiahkan begitu saja, namun sarat dengan perjuangan dan pengorbanan.
Sebagian ulama berkata, kisah Yusuf ini menjadi hiburan bagi Nabi Muhammad SAW. Sebab ketika itu Rasulullah masih berkutat dengan tantangan dakwah di kota Makkah, kala turunnya surah tersebut.
Ujian Menuju Sukses
Sejak kecil Nabi Yusuf AS menjadi anak pilihan di antara sebelas orang saudaranya.
Suatu hari ia bermimpi aneh dan tidak biasa. Dalam tidurnya, Yusuf kecil melihat ada sebelas bintang, matahari, dan bulan, semuanya sujud kepadanya. Nabi Ya’qub AS lalu berpesan agar mimpi tersebut tidak diceritakan kepada siapapun. Ayahnya khawatir, saudara-saudara Yusuf akan dengki.
Qaddarallah, sejak anak-anak, Yusuf sudah kerap di-bully oleh saudara-saudara tirinya. Puncaknya, mereka melempar Yusuf ke sumur tua. Mereka kemudian tega berdusta di depan ayahnya dengan mengatakan bahwa Yusuf hilang diterkam serigala.
Di antara pelajaran dari ayat di atas ialah ijtiba. Ada nasihat, “La ijtiba illa bil-ibtila.” Tidak ada orang pilihan kecuali dia kenyang dengan ujian. Tidak ada kesuksesan kecuali harus lulus dari rangkaian seleksi.
Ada tanjakan yang mesti didaki untuk menuju puncak amalan. Semakin tinggi pohon menjulang, kian besar pula angin yang menerpanya. Jatuh bangun, berpayah-payah, tegar dalam sabar adalah sedikit dari kunci bagaimana meraih sukses.
Sayangnya, terkadang manusia hanya ingin sukses saja. Mereka begitu bersemangat dan bergairah mengikuti lomba, tapi sedikit yang punya persiapan memadai.
Dikatakan, rahasia tukang penebang kayu bukanlah pada tebasan terakhirnya. Namun jauh sebelumnya ia sudah mempersiapkan segalanya, termasuk bersungguh-sungguh menebas pohon itu hingga beratus kali.
Prestasi adalah harapan setiap manusia. Punya prestasi bisa berarti berdiri lebih tinggi daripada orang lain.
Berprestasi bisa bermakna siap-siap jadi orang terkenal, dan dipuji banyak orang. Belum lagi jaminan fasilitas yang menyertai. Tak heran, pujian meluncur dari sana sini.
Tak perlu diminta. Ibarat cendawan di musim hujan, pujian dan fasilitas datang melimpah. Bahkan terkadang sanjungan itu datang dari yang sebelumnya tak peduli kepadanya.
Uniknya, satu prestasi sanggup melahirkan sejuta ekspresi. Ada beragam cara yang dilakukan untuk menyambutnya. Bahkan dalam prosesnya pun, manusia sudah berbeda di antara sesamanya.
Ada yang menempuh segala cara demi mewujudkan impian prestasi. Tak peduli menabrak norma agama atau aturan masyarakat. Tapi tidak sedikit yang tetap patuh dengan tuntunan syariat dan aturan yang berlaku.
Hakikat Prestasi
Bagi seorang Muslim, prestasi adalah pemberian dari Allah SWT atas usaha yang telah ditempuh. Manusia hanya mampu berusaha semaksimal mungkin, sedangkan hasil adalah ketetapan dari Sang Pencipta.
Dalam kondisi bagaimanapun, orang beriman akan senantiasa sujud syukur. Sebuah pilihan terindah. Mereka tahu, apalah arti usaha yang dikerjakan jika tidak disertai doa meminta hidayah dari Allah SWT. Prestasi adalah nikmat yang pantas disyukuri, tidak justru membuat lalai.
Dalam musim pemilihan pemimpin serta wakil rakyat yang ramai saat ini, seharusnya kisah Nabi Yusuf AS menjadi pelajaran. Bahwa kepercayaan dari masyarakat itu bukanlah prestasi musiman atau capaian instan, namun akumulasi dari kerja keras yang dilakoni penuh ketulusan dan bersinergi dengan doa-doa yang tak henti dimunajatkan kepada Allah SWT.
Ini penting dipahami, sebab prestasi kebaikan bukanlah pencitraan semata. Ini bukan musiman layaknya durian yang muncul di waktu tertentu saja. Namun keteladanan itu selalu ada dalam keseharian. Itulah hakikat iman yang sebenarnya. Iman yang sanggup melahirkan prestasi amal shalih dan berbagi manfaat seluas-luasnya.
Prestasi Hidayah
Puncak prestasi manusia adalah hidayah Allah SWT. Dengan hidayah (ilmu), hidup manusia jadi bermakna dan amalnya tidak sia-sia. Dengan hidayah, manusia diantar untuk tahu diri dan tidak angkuh di hadapan orang lain.
Tidak sedikit mereka yang dicukupi ilmu justru berpaling dari Allah SWT karena ilmu yang dipunyai nirhidayah. Tak heran, Nabi menjamin, siapa saja yang berjalan untuk mengais hidayah (ilmu), niscaya Allah mudahkan pula jalannya menuju ke surga.
Sebaliknya, bencana terbesar (nakbah) bisa juga disebabkan oleh ilmu. Mengapa? Kala itu akal manusia kehilangan kendali. Tali kekangnya berupa iman dan adab seolah terurai lepas.
Nalarnya dijajah oleh nafsu. Perbuatannya justru kian membuatnya menjauh dari Tuhan. Idenya absurd. Jiwanya angkuh. Hatinya pongah. Sikapnya nyinyir. Ibarat cacing kepanasan, ia akan gelisah jika melihat kebaikan dan prestasi orang lain. Sebaliknya ia bersorak kegirangan andai saudaranya ditimpa keburukan.
Lihatlah perbuatan saudara tiri Nabi Yusuf AS! Mereka tega membuang Yusuf ke sumur tua di padang pasir, juga sampai hati mendustai ayahnya.
Boleh jadi, makar jahat itu dianggap sebagai prestasi. Sebab itu sejalan dengan rencana dan putusan rapat. Tapi ketahuilah, itu adalah bencana besar.
Mirisnya, musibah itu berawal dari ilmu, yang seharusnya adalah nikmat membawa berkah. Bukan justru mengundang petaka.
* Dosen STIS Hidayatullah Balikpapan