Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | KATA pansos tiba-tiba menyeruak dan memperkaya khazanah perbendaharaan bahasa Indonesia. Utamanya bahasa gaul di kalangan anak muda. Pansos itu singkatan dari panjat sosial.
Pansos lalu jadi julukan bagi orang-orang yang mencuri perhatian publik, terutama di media sosial. Pansos itu kata lain dari pencitraan. Maknanya setali tiga uang.
Pansos bisa menyasar siapa saja yang lakunya mencari popularitas instan. Tidak pada kerja-kerja dalam senyap, yang lalu menghasilkan karya.
Pansos bisa menyasar siapa saja, baik pejabat maupun siapa saja yang memang mencari popularitas instan. Tapi pansos biasanya disematkan pada mereka yang sedang menjabat, atau berharap pada jabatan lebih tinggi lagi.
Lakunya lalu menampakkan sikap berlebihan. Dipertontonkan pada khalayak, berharap disikapi bahwa ia bekerja dengan sungguh-sungguh.
Laku mempertontonkan kerja dengan membawa rombongan juru warta, itu laku pansos. Melakukan kerja yang diharapkan hasil laporannya bisa mengaduk-aduk perasaan masyarakat.
Tiada hari tanpa pemberitaan. Maka lakunya jadi aneh-aneh. Jangan heran jika tiba-tiba pejabat itu menjelma menjadi apa saja. Jadi pemulung sampah, mengatur lalu lintas jalanan yang dilihatnya macet, nyemplung ke bantaran sungai… dan semacamnya.
Tampak heroik. Itu agar dilihat sebagai pekerja yang bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat. Karenanya, mengerjakan apa saja, terutama yang bisa diekspos sebagai kerja nyata.
Kerja pansos ini kerja mengentertain diri. Karenanya yang bersangkutan sampai mesti membentuk tim, guna memoles agar dirinya tampil “memukau”.
Di dalam tim ini berkumpul orang-orang yang bekerja untuk pribadi si pejabat, bukan untuk jabatan yang diembannya. Tugas pokoknya, memenej agar yang dikerjakan tampak luar biasa. Juru warta merangkap influencer bagian dari tim.
Pada masyarakat lebih terdidik, pejabat dengan kerja model pansos ini sudah bisa diamati dengan baik. Tidak ingin tertipu sekian kali dengan pencitraannya. Sudah mudah dibaca lakunya.
Mengulang-ulang pejabat sebelumnya yang bisa terpilih lantaran melakukan kerja pansos, adalah pengakuan akan minimnya kreativitas.
Miskinnya kreativitas, itu justru memunculkan olok-olok. Dianggap sebagai komedi putar yang dipertontonkan berulang-ulang, tidak menarik lagi. Justru geli melihatnya.
Bahkan kerap jadi candaan, terutama di media sosial. Pansos tampak kehilangan konteks dan situasi. Perulangan itu menimbulkan kebosanan, dan karenanya menjadi kurang atau bahkan tidak efektif lagi.
Risma Itu Mensos
Tri Rismaharini nama lengkapnya. Biasa disebut dengan Risma. Mantan Walikota Surabaya dua periode.
Masih menjabat tersisa beberapa bulan lagi selaku wali kota, lalu dapat berkah dipinang Jokowi sebagai Menteri Sosial (Mensos).
Dia menggantikan Mensos sebelumnya Juliari Batubara, yang kesandung korupsi Bantuan Sosial (Bansos). Itu bantuan pada mereka yang ekonominya terdampak Covid 19.
Juliari yang digantikan Risma sama-sama dari PDI Perjuangan. Pak Jokowi mengembalikan jabatan di kementerian sosial itu tetap pada partai yang sama.
Kok yang korupsi menteri dari PDI Perjuangan, lalu penggantinya dari partai yang sama. Spekulasi lalu muncul, bisa jadi itu bagian dari upaya menutup jaringan korupsi yang menyasar pihak-pihak lebih besar (lihat, Tempo 21-27 Desember 2020: Korupsi Bansos Kubu Banteng).
Risma memang dianggap sebagai wali kota sukses menjadikan Surabaya tampak menor dengan taman-taman bunganya yang indah. Menjadikan Surabaya tampak berkelas.
Tapi banyak pihak yang juga menganggap karya Risma tidak sebagaimana yang selama ini dibesar-besarkan media mainstrem dengan berlebihan.
Risma juga penuh polesan. Ia tidak lepas juga menggunakan metode pansos untuk mengerek namanya menasional.
Risma piawai menciptakan tim agar saban waktu namanya terus diberitakan. Dan lalu kita bisa temui Risma yang menjelma sebagai petugas lalu lintas, mencoba menyeberangkan orang.
Juga Risma yang lalu sebagai petugas kebersihan dengan memunguti sampah, saat sedang terjadi demo penolakan Omnibus Law, di Surabaya. Banyak lagi adegan-adegan tidak biasa dipertontonkan.
Blusukan di Kali Ciliwung
Dalam video yang diunggah akun Kumparan, hari pertama selaku Menteri Sosial, Risma memilih blusukan ke kolong jembatan Kali Ciliwung. Mengajak warga yang tinggal di sana bisa mendapatkan hunian yang layak.
“Saya hanya ingin panjenengan bisa tinggal di tempat yang layak,” itulah sepenggal kalimat Risma di bantaran Kali Ciliwung.
Risma memang trengginas dan cerdik, memilih apa yang belum “digarap” Pak Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta. Risma tampak “menggelitik” Anies.
Itu bisa dikesankan, Risma sedang menyampaikan pesan, bahwa dalam pembangunan Jakarta masih ada kawasan kumuh dan gelandangan.
Maka bisa dilihat, langkah Risma itu lebih politis, dan itu upaya kerja untuk “mengikis” elektabilitas Pak Anies pada 2022, bahkan 2024.
Tahun 2022 adalah Pilgub DKI Jakarta, dan 2024 Pilpres. Anies digadang-gadang akan maju lagi dalam Pilgub itu. Jika terpilih maka tidak mustahil jalan lempang buatnya untuk berkontestasi di 2024.
Apa yang dilakukan Risma itu bisa disebut politis, jika yang disasar hanya Kali Ciliwung, Jakarta. Mari sama-sama melihat, apakah Risma juga melakukan blusukan di bantaran yang sama pada sungai-sungai di daerah lain.
Selaku Mensos, Risma tdiharapkan bukan cuma heavy di Jakarta. Risma itu Mensos dari Sabang sampai Merauke. Bukan cuma “memberat” di DKI Jakarta saja.
Sisi yang Tak Tersentuh
Mengulik kekurangan seseorang, itu pertanda siap pula untuk dikulik kekurangan yang bersangkutan. Risma selama menjabat sebagai Wali kota Surabaya selama dua periode (sepuluh tahun) belum terdengar ia melakukan blusukan di kali-kali Surabaya.
Media jatimnow.com (20/11/2020), menampilkan berita: “Sungai Penuh Sampah Ini Disebut Tak Pernah Disentuh Pemkot Surabaya”. Ditulis di sana, bahwa sungai yang membentang di Tambak Pring Barat, Tambak Lumpang hingga Sukomanunggal Baru PJKA Utara, Surabaya, masih terlihat penuh sampah.
Pemandangan yang sama juga terlihat di sungai di Bozem Margomulyo yang juga penuh sampah. Surabaya bukannya tidak ada gelandangan, atau steril gelandangan. Banyak pula warga kotanya yang masih tidak memiliki tempat tinggal selayaknya.
Glamour Risma membangun Surabaya dalam pemberitaan, itu semata pada yang tampak. Tidak dibarengi pemberitaan pada lini-lini yang belum atau tidak tergarap dengan baik.
Setidaknya itu catatan “kekurangan” Risma dalam sepuluh tahun menjabat sebagai wali kota Surabaya. Bahkan banyak jalanan di Surabaya, khususnya Surabaya Utara, tidak tersentuh pembangunan dengan baik.
Itu bisa dilihat pada Jalan Kalimas Timur, yang jalannya puluhan tahun tidak disentuh Pemkot. Jika ingin lomba motor cross jalan itu layak menjadi alternatif, karena sudah bergelombang tanpa aspal.
Juga Surabaya, jika curah hujan tinggi dalam 2-3 jam saja, genangan air tampak di mana-mana, khususnya di Surabaya Barat. Meski Surabaya tidak dialiri banyak sungai, seperti Jakarta yang dialiri sekitar tiga belas sungai.
Tidak Perlu Saling “Menggelitik
Adalah Wagub DKI Jakarta, yang merespons blusukan Risma itu dengan santun. Intinya, tidak mempermasalahkan style yang dipilih Risma.
Keesokan harinya, Selasa (29/12/2020), Anies Baswedan melalui akun Instagramnya, menyampaikan kabar bahagia, “Alhamdulillah, apresiasi kepada seluruh jajaran Pemprov DKI Jakarta atas kinerjanya dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya di era pandemi Covid-19”.
Itu kabar keberhasilan DKI Jakarta meraih penghargaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan predikat “sangat tinggi”, pada tahun 2020, yaitu mencapai 80,77. Melebihi rata-rata nasional, yaitu 71,94. Dan capaian DKI Jakarta itu yang tertinggi di Indonesia.
IPM adalah indikator pengukuran capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup, seperti umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak.
Apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dalam pembangunan pada semua lini, tentu belum tercapai kesemuanya, itu hal wajar. Masih tersisa waktu setidaknya 1,5 tahun Anies di periode pertamanya selaku Gubernur DKI Jakarta mengejar apa yang belum dikerjakan.
Anies Baswedan dan Tri Rismaharini, sebaiknya saling bekerja sama dalam upaya menyejahterakan masyarakat. Tidak perlu saling “menggelitik” apalagi tikung menikung satu dengan lainnya. Itu tidak elok dipandang.
Masyarakat sudah lebih paham dan berpengalaman, tahu siapa yang bekerja dengan penuh amanah, dan siapa yang bekerja hanya pansos dengan mengandalkan lembaga survei bayaran.*
Kolumnis, tinggal di Surabaya