Oleh Ainuddin Chalik*
SIAPA pun yang sadar tak memungkiri bahwa media hari ini dikuasai kalangan kecil. Di Amerika, misalnya, Yahudi bergitu kuat “mencekeram” media.
Aksi propaganda dan hegemomi media, secara kasat mata, bisa dilihat bagaimana film-film produksi Hollywood, yang memang lebih banyak mengumbar hegemoni dan teknologi Amerika untuk unjuk gigi keadikuasaannya. Film serial James Bond, Tomorrow Never Dies adalah salah satu contoh besarnya peran senjata yang bernama media.
Di film ini diceritakan, si agen M16 ini menghadapi kelompok teroris yang dipimpin Elliot Carver. Carver melancarkan teror kepada dunia bukan dengan senjata api yang bisa meluluhlantakkan bangunan bangunan. Tapi dengan senjata mandraguna; Informasi!
Diceritakan dalam film ini, sang “teroris” adalah penguasa media yang punya jaringan koran besar berskala internasional bernama Carver Media Group Network. Koran itu sering memuat berita-berita panas soal politik yang menyulut perang antar negara. Padahal, semua kejadian politik itu adalah desain Carver yang menggunakan media massa sebagai alat propaganda untuk menjatuhkan suatu pemerintahan negara tertentu
“Media adalah senjata dan berita adalah mesiu,” kata Carver pada Bond.
Stanley Adi Prasetyo, Wartawan senior, pendiri sekaligus anggota Majelis Etik, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dalam artikelnya berjudul “Media Sebagai Alat Propaganda”, menyimpulkan bahwa di tangan yang salah, media bisa menjadi alat propaganda.
Media Adalah Senjata
Peran media sebagai propaganda sangat terasa ketika peristiwa serangan Israel ke Palestina tahun 2008. Bagaimana sikap internasional yang lebih mendukung Zionis-Isreal.
Sikap ini juga menyangkut ambigu yang ditunjukkan para pemimpin Arab menyikapi tragedi di Gaza Palestina kala itu. Mesir yang notabene adalah negara paling dekat dan berbatasan dengan Gaza tidak mau membuka perbatasannya di Raffah. Begitu juga dengan Jordan, mereka secara geografis termasuk yang dekat dengan Gaza, hanya karena terikat perjanjian dengan Israel, mereka tega membiarkan umat Islam di Gaza terbantai oleh para agresor tersebut.
Tenju bukan suatu yang mengejutkan, sebab Zionis-Israel sudah memperkirakan semua opini media massa terhadap aksinya, juga karena yang terpenting, Israel sudah jauh-jauh hari (selama enam bulan lebih) membuat kerja sama dengan negara-negara Arab.
Nir Rosen, Wartawan AS keturunan Iran, Pengarang buku “The Triumph of the Martyrs: A Reporter’s Journey into Occupied Iraq” dalam laporannya di Aljazeera, menulis, ‘Sementara militer Israel khusyuk membombardir 1.5 juta penduduk Gaza, media menyaksikan sebuah dilema simalakama—karena di satu sisi mereka terluka mengabarkan semua itu, namun di sisi lainnya, mereka juga berusaha mencari-cari pembenaran atas ulah sang agresor barbar itu. (http://english.aljazeera.net/focus/2008/12/20081230122143645275.html)
Dominasi Yahudi
Sekedar catatan, umumnya media raksasa di AS, banyak dikuasai oleh Yahudi. Beberapa perusahaan media raksasa seperti: Time Warner, merupakan konglomerasi media terbesar di dunia dipegang orang Yahudi. AOL membentuk AOL-Warner. Termasu dalam hal ini Time Inc, HBO, Cinemax juga CNN yang dibeli dari Yahudi bernama Ted Turner.
Raja konglomerasi media lainnya adalah Rupert Murdoch. Pemilik News Corporation yang meliputi Fox Television Network, Fox News, the FX Channel, 20th Century Fox Films, Fox 2000, dan penerbit Harper Collins. News Corp juga Yahudi.
Kantor-kantor berita raksasa lain yang dikuasai Yahudi adalah; Reuter (didirikan di Jerman oleh Julius Paul Reuter, seorang Yahudi kelahiran Jerman bernama asal Israel Beer Josaphat, lalu pindah ke Paris dan pindah lagi ke London), Associated Press (AP) yang berpusat di Amerika Serikat, dan United Press International (UPI) juga di AS.
Di Amerika, koran-koran juga dikuasai oleh Yahudi antara lain Wall Street Journal, Daily News, New York Times, The Washington Post, The Times Herald, dan lain-lain. Dua majalah kaliber dunia, Time dan Newsweek juga dikuasai orang-orang Yahudi.
Tidak hanya itu, orang-orang Yahudi juga mendominasi perfilman internasional dan jaringan TV internasional (ABC, CBS, NBS). Perusahaan-perusahaan film yang didominasi mereka antara lain Fox Company, Golden Campany, Metro Company, Warner & Broos Company, dan Paramaount Company. (http://www.inminds.com/boycott-aol.html, http://www.inminds.com/boycott-news-corporation.html)
Dan, masih banyak lagi. Berangkat dari fakta ini terlihat jelas terang benderang bahwa dunia informasi bukan hanya di Amerika, tetapi di seluruh dunia telah dikuasai oleh Yahudi. Akhir dari agenda mereka adalah membentuk Tata Dunia Baru (The New World Order) di mana mereka menjadi majikan bagi semua Ghoyim (non-zionis) yang ada di muka bumi. Tujuan akhir dari gerakan ini dipahat dalam lambang negara AS dengan kalimat “Novus Ordo Seclorum”.
Wajah Islam
Asep Syamsul M. Romli, S.IP dalam bukunya Demonologi Islam, Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam (GIP, 2000), menjelaskan bahwa “demonologi Islam” adalah penggambaran atau pencitraan Islam sebagai demon (setan, iblis, atau hantu) yang jahat (evil) dan kejam (cruel). Ia juga bisa berarti perekayasaan sistematis untuk menempatkan Islam dan umatnya agar dipandang sebagai ancaman yang sangat menakutkan.
Romli menjelaskan bahwa istilah demonologi memang jarang sekali digunakan, bahkan hanya kamus-kamus bahasa Inggris tertentu yang memuat istilah tersebut. Kamus terkenal, Kamus Inggris-Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily (1976) misalnya, hanya memasukkan kata demon yang berarti (1) setan, iblis, jin, dan (2) orang yang keranjingan tentang sesuatu.
Istilah demonology dapat ditemukan dalam The Concise Standard English Dictionary karya Collins Concise terbitan Glasgow & London. Dalam kamus tersebut, demonology diartikan sebagai study of demons (studi tentang setan, iblis, atau hantu). Kata demon-nya sendiri diartikan sebagai a devil; a person of preternatural cruelty or evil character (setan; seseorang yang kekejamannya di luar batas kewajaran atau sifat-sifat jahat).
Lebih lanjut menurut Romli, arti lebih lengkap tentang demonology dapat ditemukan pada Merriam Webster’s Collegiate Dictionary (1993). Disebutkan, demonology berarti (1) the study of demons or evil spirits (studi tentang setan atau semangat kejahatan), (2) belief in demons: a doctrine of evil spirits (kepercayaan kepada setan: doktrin tentang semangat kejahatan), dan (3) a catalog of enemies (daftar musuh).
“Demonologi” Islam dilakukan oleh pihak Barat (terutama kaum Zionis) yang memandang Islam sebagai ancaman bagi kepentingan mereka. “Demonologi” Islam menjadi bagian dari strategi Barat untuk meredam kekuatan Islam, yang mereka sebut sebagai The Green Menace (Bahaya Hijau).
Proses demonologi berlangsung melalui pencitraan negatif tentang Islam dan para pejuangnya, melalui penjulukan-penjulukan terorisme, fundamentalisme yang dipopulerkan media massa.
Dengan cara itu, Barat berupaya menenggelamkan citra Islam sebagai rahmatan lil ‘alamien dan sistem hidup (way of life) terbaik untuk umat manusia, membuat masyarakat dunia memusuhi dan memerangi Islam, dan menumbuhkembangkan Islamophobia atau ketakutan terhadap Islam, sekaligus mencegah dan menindas kebangkitan Islam.
Penguasaan dan penjajahan media massa oleh Zionis inilah yang memudahkan mereka melakukan demonologi Islam, atau “penyetanan wajah Islam”, untuk membentuk pendapat umum tentang Islam sebagai umat yang berbahaya, ekstrimis, fundamentalis, dan teroris.
Islam Liberal
A. Fatih Syuhud, Sarjana Ilmu Politik dari Agra University, India, dalam tulisannya ”Amerika dan Islam Liberal” yang dimuat Harian Pelita Jakarta, 11 Juli 2005, menguak beberapa fakta dari sebuah dokumen setebal 525 halaman yang dirilis oleh think tank neo-konservatif AS yang sangat berpengaruh dan banyak mendukung kebijakan gedung putih, RAND Corporation, yang disiapkan khusus untuk angkatan udara (AU) AS.
Dokumen yang berjudul: Muslim World After 9/11, itu menggarisbawahi strategi AS yang akan mengurangi kondisi yang dapat menciptakan ekstremisme politik dan agama dan sikap anti-AS di kalangan komunitas Muslim dunia. Di dalam dokumen ini menganjurkan AS agar menciptakan dan mendukung jaringan Islam liberal yang terdiri dari Muslim internasional yang nantinya dapat menantang legitimasi klaim kalangan Islamis pro syariat untuk berbicara atas nama Islam, dan menawarkan sebuah pemahaman agama yang lebih liberal.
Dokumen ini, lanjut Syuhud, mengingatkan bahwa kelompok Islam liberal mungkin kekurangan sumber dana yang diperlukan untuk membentuk jaringan besar dan karena itu meminta AS untuk mendanai berbagai aktivitas kalangan ini.
Tentu saja kalangan Islam liberal yang hendak dibantu tersebut diharapkan untuk memfokuskan kritik mereka pada kalangan Islamis radikal, dan mungkin, diminta untuk tetap diam manis dalam berbagai kesalahan kebijakan luar negeri AS, atau kehilangan bantuan dana sebagai taruhannya.
Oleh karena itu, apa yang harus dilakukan AS adalah mencari jalan untuk menetralisir kalangan yang mereka sebut “ekstremis” dengan bantuan Muslim moderat, tanpa perlu membuat perubahan struktrual apapun dalam segi kebijakan ekonomi, politik dan strategi.
Dengan menganggap problema ekstremisme sebagai murni diciptakan oleh Islamis jahat, maka dokumen ini hanya terfokus pada isu ekstremisme atas nama Islam sementara tak satupun menyebut ekstremisme lain yang tidak kecil yang dilakukan oleh fundamentalis Yahudi dan Kristen. Laporan ini juga tidak menyebut sama sekali dukungan Amerika atas Islamis radikal pada masa lalu (seperti di Afghanistan untuk melawan Soviet) atau atas kelompok Muslim konservatif dalam upaya mengalahkan pengaruh kalangan kiri, nasionalis dan anti-imperialis.
Memang analisis seperti ini ada benarnya. Ulil Abshar Abdalla (Kordinator JIL) di posting milis Islam Liberal pernah mengatakan;
”Yang mengganggu saya adalah umat Islam saat ini protes dengan begitu gigihnya terhadap pencaplokan Israel atas tanah Palestina, tetapi tidak pernah sedikitpun terganggu dengan masa lampau mereka yang penuh dengan agresi dan aksi pencaplokan pula. Apa yang diambil Israel saat ini dari tanah Palestina tak ada apa-apanya dibanding dengan luasnya wilayah yang ditaklukkan oleh umat Islam di masa lampau”.
Entah kenapa, seorang Ulil merasa terganggu dengan sikap ummat Islam yang melancarkan protes terhadap Israel yang jelas jelas adalah penjajah yang tidak mau mendengar siapa pun.
Masih segar dalam ingatan ketika Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan, hadir di Davos, Swiss, Kamis (29/01/2009) sebagai pembicara dalam panel diskusi pada hari kedua Forum Ekonomi Dunia (WEF). Saat itu, David Ignatius, kolumnis harian The Washington Post, keturunan Yahudi yang terlahir pada 26 Mei 1950, hanya memberinya waktu semenit untuk menginterupsi pernyataan monolog yang panjang lebar dari Presiden Israel Shimon Peres mengenai alasan serangan militer tiga pekan Israel ke Gaza.
Agresi itu, dalihnya, untuk membela diri atas delapan tahun hujan roket yang dilancarkan Hamas ke wilayah negara zionis itu. Erdogan jelas sangat kesal diperlakukan tidak adil seperti itu.
”Kalian Israel memang tak pernah mau mendengarkan,” kata Erdogan.
Ini kondisi yang menyedihkan sebetulnya. Di saat ummat Islam sedang di bombardir habis habisan dari luar dengan penggambaran atau pencitraan Islam yang konservatif, radikal, teroris, ekstrim, sadis, masuk pula serangan dari dalam ummat Islam sendiri dengan berusaha menanamkan pola fikir liberalisme, pluralisme, relativisme, nihilisme, feminisme-gender, humanisme dan non apologetik.
Secara keseluruhan tulisan Ulil yang panjang tampak sekali menyeru ummat Islam untuk bisa lebih “toleran” menyikapi krisis Palestina. Statemen Ulil itu menunjukkan, seolah-olah, selama ini umat Islam tak punya sikap toleran.
Masalahnya, penggunaan istilah toleran itupun masih perlu berhati-hati. Sebab ini juga menyangkut masalah pandangan hidup (worldview). Islam punya wordview sendiri yang holistic, yang tidak perlu mengadopsi peradaban Barat sebagai ”jalan kebenaran” yang maenstreamnya lebih kepada nilai liberatif yang sangat absurd itu.
Membangun Kekuatan Media
Sejak perkembangan Islam, komunikasi media memang sudah menjadi tradisi. Rasulullah SAW sendiri yang memulainya dan langsung memberi contoh. Saat itu, berdakwah hanya bil lisan, dirasa sudah tidak cukup. Melalui media dakwah bil qolam-lah, yang saat itu berupa perantara surat dan tulisan, sebagian besar raja raja dan kepala suku di sekitar jazirah Arab menjadi penganut Islam.
Tradisi ini pun tetap bertahan hingga kekhalifahan pelanjutnya. Namun pada perjalanan selanjutnya, tradisi ini mulai mengalami pergeseran dan pelan pelan meredup.
Dari perjalanan sejarah itu, seorang muslim hendaknya sadar bahwa sesungguhnya ummat Islamlah yang menguasai media. Namun, itu tidak untuk hari ini. Kini justru Islam adalah korban media. Terus ditimpuki dan gebuki. Akhir-akhir ini Islam kerap distigmtisasi dan dilebali julukan yang nista dan tak terpuji.
Agar kita tak terus tercekoki berbagai macam informasi sampah, yang terpenting kita lakukan saat ini adalah selalu melakukan proses tabayyun (check and recheck) terhadap berbagai berita yang berseliweran di tengah-tengah kita. Sudah selayaknya kita lebih cermat dan teliti dalam memilih berita dari sumber-sumber yang menurut dugaan kita bisa dipercaya dan bertanggungjawab.
Untuk itu kehadiran media media Islam yang berpengaruh menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Dan, patut disadari, kaum muda Islam dan muslimin adalah pemain inti yang harus terlibat dalam tarung dahsyat di mana media sebagai senjatanya!.
*Penulis adalah peminat masalah sosial kemasyarakatan dan agama