Hidayatullah.com— Sebagian besar masyarakat Surabaya mendukung rencana membawa anak nakal hingga terindikasi LGBT ke barak militer. Hal ini terungkap dalam hasil polling yang diselenggarakan dalam program “Wawasan Polling di Radio Suara Surabaya” baru-baru ini.
Dari total 252 partisipan, sebanyak 206 orang (82 persen) menyatakan setuju dengan kebijakan tersebut. Sementara itu, 46 orang (18 persen) menyatakan tidak setuju.
Endang Retno Surjaningrum, Psikolog dari Universitas Airlangga (Unair) sekaligus Wakil Dekan 3 Fakultas Psikologi Unair, menilai rencana tersebut memiliki tujuan baik. Namun, ia mengingatkan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap anak-anak yang akan mendapat label dari masyarakat.
“Kalau mereka menjadi target sasaran, saya rasa ini terlalu diklasifikasikan. Sebaiknya dibangun secara netral saja kebijakan ini, sehingga ini semua menjadi negatif ya, jadi mereka dinilai menjadi nakal. Ketika keluar pun, mereka akan dapat label itu dari masyarakat,” kata Endang dikutip laman laman Suara Surabaya.
Endang juga menekankan pentingnya pendidikan gender dan seksualitas di sekolah. Ia menyarankan agar sekolah dan orang tua lebih aktif memberikan pemahaman yang tepat kepada anak-anak mengenai seksualitas.
“Mungkin ada penyegaran dari gurunya dan orang tua juga. Ini di rumah juga perlu diajarkan, sehingga tidak ada masalah tersebut,” ujarnya.
Lebih lanjut, Endang mengingatkan bahwa siswa yang “melambai” atau terindikasi LGBT, selain berpotensi melakukan perilaku menyimpang, juga bisa menjadi korban dari orang lain. Oleh karena itu, diperlukan penanganan yang tepat dan tidak hanya sebatas mengirimkan mereka ke barak militer.
Ia juga mengingatkan bahwa perilaku tersebut memiliki risiko besar bagi kesehatan, termasuk potensi terkena penyakit tertentu. Endang menekankan bahwa faktor pengasuhan dan lingkungan memiliki peran besar dalam pembentukan perilaku anak.
“Berikan yang seimbang, bahwa ada joget-joget, ada yang tidak joget-joget, yang olahraga, secara seimbang,” katanya.
Terkait penanganan lebih lanjut, Endang menyarankan agar pemerintah melibatkan psikolog untuk melakukan tes psikologi lanjutan pada anak yang dianggap bermasalah. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi sebenarnya dari anak tersebut.
“Tesnya pertama bisa wawancara, melihat riwayatnya, jangan hanya dari satu cara. Kalau begitu, akan lebih baik. Bukan hanya orientasi seksualnya tapi juga identitasnya,” pungkasnya.*