Oleh: Mustofa B. Nahrawardaya
OBAMA dikabarkan akan mengunjungi Bali. Jika kita teliti dan tidak amnesia, maka kita akan mencatat ternyata ada yang terulang jika Obama berkunjung ke Indonesia. Apa itu? yakni ramainya penggerebekan “teroris”.
Beberapa hari terakhir, media juga dijejali dengan berita keberhasilan Densus 88 menangkapi “teroris” kelompok baru bernama Kelompok Abu Omar, dan menyita banyakm amunisi beserta senjata berat lainnya. Bahkan konon ada yang ditembak ‘tepat’ di kakinya karena si “teroris” membawa M-16 saat ditangkap. Jika membaca laporan Densus ini, kita sungguh miris, ternyata Indonesia ini sudah seperti Timur Tengah. Tiba-tiba muncul banyak kelompok “teroris” lengkap dengan embel-embel nama kelompoknya. Tiba-tiba “teroris” ada di mana-mana, dan bisa ditangkap dengan mudah oleh aparat. Seperti kebiasaan, pimpinan kelompok dikabarkan belum tertangkap, lengkap dengan informasi kemungkinan yang bersangkutan membawa bom yang membahayakan. Abu Omar, yang disebut-sebut ketua kelompok “Bom Hutan UI” diumumkan belum tertangkap. Entah apa kejadian berikutnya, mungkin sehari menjelang Obama datang, Abu Omar akan ditangkap.
Tepat setahun lalu, ketika Obama menginjakkan kaki di tanah air pada 9 Nopember 2010, serangkaian kejadian “teroris” mememenuhi halaman media massa kita sebelum kehadiran orang nomor satu di Amerika Serikat itu. Serangkaian penangkapan terhadap pelaku teror di Aceh, Pamulang, dan beberapa tempat cukup membuat masyarakat kagum.
Dua kali Obama kunjungi Indonesia, dua kali orang-orang yang diduga “teroris” ditangkapi, dan banyak senjata dan amunisi yang ditemukan serta disinyalir ada senjata lain yang ditimbun di hutan UI. Karena berdekatan dengan UI, maka isu pun menjadi menarik. Ini tentu mirip dengan penangkapan Syaefuddin Zuhri yang ditangkap di dekat kampus UIN Ciputat. Atau, ketika ada mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta yang dikabarkan menguppload video latihan milisi di Aceh beberapa waktu lalu.
Ada banyak pertanyaan dan asumsi seputar ini.
Pertama, ini kemungkinan proyek untuk cari muka kepada Obama. Beberapa tahun lalu, ketika Indonesia mengumumkan betapa berbahayanya Dulmatin, Amerika kemudian berjanji untuk memberikan uang sebesar US$ 10 juta. Kalau dirupiahkan, ini setara dengan Rp 93 miliar. Seperti biasa, anak buah Dulmatin ditangkap dahulu, dan Dulmatin dikabarkan lolos. Kemudian, Maret 2010, di Warnet Multiplus Jalam Siliwangi, Pamulang, Tangerang Selatan, tengah hari, Dulmatin alias Joko Pitono asal Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah tewas diberondong polisi. Meski begitu, kejanggalan pun muncul, karena wartawan berhasil memotret jenasah Dulmatin di atas kursi yang di tangannya masih memegang senjata laras pendek. Senjata laras pendek yang beratnya lebih dari 1 Kg itu ternyata masih menempel erat di tangan jenasah Dulmatin yang lemas.
Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri yang menggelar konferensi pers di Mabes Polri mengumumkan bahwa Dulmatin tewas dengan senjata pistol revolver di tangan. Siapakah yang menikmati uang Rp. 93 Miliar dari Amerika? Tidak ada yang tahu.
Kedua, kemungkinan lain memang murni pemberantasan “teroris”, namun momennya menunggu kehadiran Obama. Dengan menunggu momen kehadiran Obama, maka efek positifnya akan lebih terasa di masyarakat ketimbang tanpa memanfaatkan momen tertentu. Bagaimanapun, Amerika berkepentingan atas prestasi negara sekutunya, dalam hal pemberantasan “terorisme”. Laporan keberhasilan pemberantasan “teroris” kepada Amerika di depan mata Obama, tentu lebih berasa efeknya, ketimbang laporan keberhasilan pemberantasan ““teroris””me jauh dari pandangan mata Obama.
Ketiga, meski demikian, ini bukan kesalahan Densus 88 atau aparat kepolisian. Pasalnya, pasokan informasi adanya “teroris”, bisa saja datang dari BIN (Badan Intelijen Negara), atau satuan intelijen lain yang turut mendukung upaya pemberantasan “terorisme”. Bisa juga, pasokan informasi datang dari kelompok intelijen hitam yang bermain memanfaatkan situasi kepentingan Obama di tanah air.
Permainan intelijen hitam inilah yang sangat membahayakan, karena bagi mereka, yang penting mendapatkan uang dan materi, meski informasi yang dilaporkan adalah fakta atas hasil rekayasa mereka sendiri. Jika ini benar terjadi, sungguh seluruh hasil pemberantasan “terorisme” di Indonesia tidak lebih dari sebuah penebaran fitnah demi keuntungan sesaat dengan mengorbankan masyarakat yang tidak mengerti ada apa di balik peristiwa itu. *
Penulis Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF). Anggota Majelis Pustaka & Informasi PP Muhammadiyah