AL-QURAN adalah kitab suci yang merupakan bahan bacaan wajib, sumber rujukan dan studi utama yang dibutuhkan oleh ummat Islam di seluruh dunia. Indonesia sebagai negara dengan 85% lebih penduduk Muslim sudah barang tentu sangat membutuhkan al-Quran dalam jumlah besar. Merujuk hasil sensus penduduk Indonesia tahun 2010 yang mencapai hampir 237,5 juta jiwa berarti penduduk Muslim di Indonesia sekitar 202 juta jiwa.
Kebutuhan atas al-Quran bukan hanya oleh individu rumah tangga Muslim saja tetapi juga diperlukan secara luas di dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam seperti: pesantren, madrasah, perguruan tinggi, perpustakaan sekolah/umum dan dalam rumah-rumah ibadah seperti Mesjid, Surau, Langgar dan Mushola yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.
Data penelitian yang dilakukan tentang jumlah madrasah dan pesantren di Indonesia yang dikeluarkan November 2011 oleh Persis Research Bloq menyebutkan ada 37.000 madrasah dan 10.000 pesantren dengan jumlah anak didik mencapai hampir 6 juta.
Sementara itu data yang diumumkan oleh Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), Bapak Jusuf Kalla pada sambutan beliau dihadapan Rapat Kerja Nasional DMI di Jakarta pada tanggal 01 Desember 2012 bahwa Indonesia memiliki 800.000 rumah ibadah Islam terdiri dari 255.000 berupa Mesjid Besar dan 545.000 sisanya berupa Surau, Langgar dan Mushola. Hal ini belum termasuk kebutuhan al-Quran dalam mengisi berbagai kegiatan majlis-majlis taklim, untuk keperluan waqaf dan hadiah dikalangan masyarakat Muslim seperti untuk rumah-rumah yatim-piatu dan kaum duafa yang kini telah menjadi kegiatan rutin dan positif yang tiap tahun mengalami peningkatan.
Kebutuhan al-Quran Indonesia setiap tahun memang belum ada data pastinya, namun dalam sambutan Bapak Maftuh Basyuni, (mantan) Menteri Agama pada waktu peresmian berdirinya Asosiasi Penerbit Mushaf Al-Qur’an (APQI) tanggal 14 Agustus 2008 beliau menyampaikan bahwa kebutuhan kitab suci al-Quran di Indonesia pertahun sekitar 39 juta exemplar tetapi baru dapat dipenuhi maksimal 5 juta exemplar itupun sebagian merupakan al-Quran impor dan sumbangan cuma-cuma dari Timur Tengah utamanya dari Kerajaan Saudi Arabia.
Berdasarkan gambaran data tersebut secara nyata nampak bahwa kebutuhan al-Quran di Indonesia secara fisik sangat besar, namun yang tidak kalah pentingnya bahwa segi pengamanan penerbitan dan pencetakan al-Quran memerlukan adanya perhatian khusus dari otoritas yang berwenang di Indonesia mengingat fungsi al-Quran sebagai kitab suci yang dijunjung tinggi oleh penganut Islam tidak mungkin disamakan dengan barang-barang cetakan biasa.
Oleh karena itu adalah wajar apabila instansi Pemerintah RI yang berwenang dalam hal ini Kementerian Agama dapat mencari jalan keluarnya antara lain melalui meningkatkan kerjasama dengan mitra-mitra terkait, baik organisasi yang mewakili para penerbit Mushaf Al-Quran, maupun instansi terkait lainnya. Sebagai langkah awal Pengurus APQI telah melakukan audensi dengan Bapak Menteri Agama RI pada tgl 5 Februari 2013 dimana pada kesempatan tersebut Menteri Agama diwakili oleh pejabat terkait pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Ditjen BIMAS Islam), Kementerian Agama RI.
Dalam audensi tersebut selain sebagai ajang silaturahmi dan melakukan tukar-fikiran, APQI antara lain telah menyampaikan harapan agar Kementerian Agama berkenan menerima APQI sebagai salah satu mitra kerja dalam rangka mencari solusi guna merumuskan konsep untuk menata aturan main yang baku dalam penerbitan dan pencetakan al-Quran di Indonesia dan sejalan dengan peraturan dan perundang-undangan pemerintah RI serta memanuhi aturan kaidah-kaidah ajaran Islam. Ajakan tersebut mendapat sambutan baik dan akan dibahas lebih lanjut oleh Kementerian Agama.
Merujuk artikel “Problem Percetakan Al-Quran” (Republika, 9 Februari 2013) oleh Wakil Menteri Agama RI, Bapak Nazaruddin Umar yang dengan baik dan lugas beliau menguraikan problem-problem yang selama ini terjadi dalam percetakan al-Quran dikalangan ummat Islam di Indonesia agaknya beliau telah memberikan gambaran tentang adanya persoalan yang perlu untuk dicarikan solusi dan hal ini sejalan dengan harapan APQI.
Penulis secara pribadi berpendapat bahwa kondisi semacam ini sudah saatnya dapat segera di tangani dengan baik, agar tidak berlarut-larut sehingga dapat menimbulkan adanya kesalahpahaman dan fitnah dikalangan masyarakat. Aturan main yang jelas, baku, transparan sehingga dapat ditaati oleh setiap pemangku pelaksana penerbit dan percetakan al-Quran di Indonesia dengan baik. Dari sisi lain pemecahan masalah tersebut juga dapat mendorong dan memberikan dampak positif berupa terbukanya peluang usaha dan kesempatan kerja baru yang dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Dalam perspektif penataan penerbitan dan pencetakan al-Quran agaknya diperlukan suatu pemecahan yang harmonis dan saling mendukung terhadap 2 (dua) aspek penting yang melekat pada usaha penerbitan dan pencetakan al-Quran yaitu aspek keamanan (security) dan aspek komersial. Aspek keamanan agaknya harus menjadi prioritas dan perhatian utama dalam penerbitan dan pencetakannya mengingat fungsi al-Quran sebagai kitab suci ummat Islam sangat sensitif apabila sampai terjadi pelanggaran yang mencederai kaidah-kaidah ajaran Islam secara vulgar. Sementara itu aspek komersialnya tetap perlu diberikan peluang yang tepat tanpa melanggar kaidah-kaidah Islam yang baku dalam pelaksanaannya dan juga tidak melanggar peraturan dan perundang-undangan pemerintah.
Untuk itu agaknya perlu adanya otoritas yang kuat dan berwibawa didukung oleh para ulama dan pakar-pakar yang kompeten di setiap bidang terkait sehingga mampu bertindak obyektif dan jujur dalam mengawasi pelaksanaan penerbit dan pencetakan Mushaf Al-Quran di Indonesia. Wallahua’lam.*
Penulis Sekjen Asosiasi Penerbit Mushaf Al-Qur’an (APQI)