Oleh: Wahyu Ichsan
PERINGATAN hari kebangkitan nasional sudah menjadi rutinitas yang sering kita lakukan pada 20 Mei setiap tahunnya. Seperti biasa, rutinitas ini diisi dengan acara yang formalitas tanpa ruh, plus pidato basa-basi tentang kebangkitan. Kalau dihitung-hitung sejak berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) hingga saat ini berarti sudah 104 tahun berlalu. Pertanyaannya, sudahkah kita bangkit?
Alih-alih bangkit, kehidupan dan nasib rakyat malah semakin terpuruk. Di saat yang sama para pejabat berlaku hidup mewah dan menghambur-hamburkan uang Negara, sehingga korupsi menjadi aktivitas yang biasa dilakukan oleh pejabat negeri ini. Karena itu, tidak aneh kalau begitu banyak julukan ‘hitam’ untuk negeri.
Ada yang mengatakan the failed state (negara gagal), the vampire state (negara drakula penghisap darah rakyat), the envelope country (Negara amplop), negeri sejuta markus dan julukan-julukan menyedihkan lainnya.
Secara emosional kita tentu marah dijuluki demikian, tapi fakta memang menunjukkan demikian. Kasus terakhir lihatlah kejahatan wisma atlet yang terus menjadi bola liar dan menyentuh pejabat pejabat teras negeri ini. Demikian juga kasus Century yang sangat sistematis. Bahkan hampir melibatkan seluruh penegak hukum; mulai dari kepolisian, kehakiman, jaksa, hingga pengacara.
Secara ekonomi, Pemerintah boleh saja mengklaim angka pertumbuhan ekonomi tinggi, neraca perdagangan positif, rupiah menguat, ekspor meningkat, pengangguran berkurang, dan sejumlah klaim lainnya. Namun, lihatlah realita sesungguhnya ditengah-tengah masyarakat. Kemiskinan di mana-mana tumbuh meningkat. Banyak rakyat yang hidup tak layak, bahkan untuk makanpun susah. Busung lapar terjadi di beberapa tempat. Biaya kesehatan makin meningkat tidak terjangkau. Rakyat kecil harus bisa menahan rasa sakit karena tak mampu berobat. Pendidikan pun semakin mahal sekaligus tidak bermutu dan tidak menjamin seseorang meraih pekerjaan apalagi gaji yang layak.
Bukti kongkrit kondisi ini, lihatlah di jalan-jalan. Anak-anak jalanan dan pengemis semakin subur. Jumlah orang gila di jalanan makin bertambah karena tidak mampu menahan beban hidup yang berat dan kompleks. Masyarakat kita menjadi masyarakat yang sakit. Tidak sekali dua kali kita mendengar dan menyaksikan ibu membunuh anaknya, suami membakar istrinya, anak membunuh orang tuanya. Semuanya berpangkal pada kesulitan hidup.
Kesenjanganpun semakin menjadi-jadi. Saat orang miskin kesulitan makan untuk sehari-sehari, pedagang mendapat lima ribu rupiah saja sulit, pemimpin negeri ini dengan teganya mempertontonkan kekayaannya dengan acara pernikahan putra bungsunya yang super mewah mencapai miliaran rupiah; ada yang dengan tega mempertontonkan korupsinya hingga miliaran rupiah. Para pejabat dan politisi pun memamerkan kerakusannya dengan biaya anggaran selangit.
Data menyedihkan
Lihat dunia pendidikan kita, hanya 11% siswa SMU yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi (APTISI, 2000). Angka pengangguran bertambah menjadi 113,74 juta orang, dan angka “setengah” menganggur adalah 59% penduduk Indonesia (Data BPS, 2009). Komnas perlindungan anak pun merilis pada tahun 2007 sekitar 11,7 juta anak putus sekolah, dan lebih mengejutkan ketika KPI juga merilis laporan pada tahun 2008 pada anak-anak sekolah menengah pertama (SMP) bahwa 97% di antaranya mengaku pernah menonton film porno, dan 93,7% remaja SMP mengaku pernah berciuman serta happy petting alias bercumbu berat, dan lebih mengejutkan 62,7% remaja SMP mengaku sudah tidak perawan lagi. Mungkin angka ini bisa bertambah lebih banyak lagi jika semuanya mengaku.
Lembaga Demografi UI juga menyatakan bahwa 58,36 juta dari 111,47 juta (52,3%) angkatan kerja Indonesia hanya berpendidikan SD, sekitar 19,91% pendidikan setingkat SMP, 20,7% setingkat SMA, dan hanya 5,05% Perguruan Tinggi. Senada denga itu laporan ADB atas pendidikan di Indonesia juga menunjukkan hal serupa yaitu hanya 46,8% siswa yang mampu menyelesaikan wajib pendidikan 9 tahun.
Belum lagi fakta miris yang menujukkan bahwa negeri muslim terbesar ini justru sangat parah dalam hal aborsi, sekitar 2.6 juta balita diaborsi setiap tahunnya. Selain itu, Indonesia menempati urutan pertama dalam penularan HIV/AIDS di Asia Tenggara. Data Kementerian Kesehatan per Juni 2011 menunjukkan bahwa pengidap AID 93.000 orang.
Tidak hanya itu, korupsi yang menjadi momok yang tidak pernah selesai dalam sejarah negeri ini, seakan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan. TKI disiksa tidak pernah mendapatkan perlakuan dan pembelaan yang layak dari pemerintah Indonesia.
Kemiskinan yang merajalela sampai saat ini, sementara negara sibuk menjual asset kepada pihak swasta dan asing.
Ketika pemerintah dengan berapi-api mengatakan NKRI harga mati! tapi lihat, faktanya mereka menjual hasil alam Negara. 90% dari total produksi minyak Indonesia dikuasai asing, yakni Total (30%), ExxonMobil (17%), Vico (BP-Eni joint venture, 11%), ConociPhilips (11%), BP (6%), dan Chevron (4%) (kementerian ESDM, 2008). Hutan Indonesia menghasilkan sekitar 80 triliun setiap tahun tetapi hanya 17% masuk kas Negara dan sisanya ke kantong HPH (Kompas, 2001). Perusakan Alam menjadi saksinya, dalam 1 menit perusakan hutan terjadi seluas 5 kali luas lapangan sepak bola (kompas, 2008).
Di Bumi Papua, kekayaan tambang emasnya setiap tahun menghasilkan uang sebesar Rp 40 triliun. Sayangnya, kekayaan tersebut 90%-nya dinikmati perusahaan asing (PT Freeport) yang sudah lebih dari 40 tahun menguasai tambang ini. Wajarlah jika gaji seorang CEO PT Freeport Indonesia mencapai sekitar Rp 432 miliar pertahun (=Rp 36 miliar perbulan atau rata-rata Rp 1.4 miliar perhari). Padahal, rakyat Papua sendiri hingga saat ini hanya berpenghasilan Rp 2 juta saja pertahun (=Rp 167 ribu perbulan).
Pemerintah Indonesia pun hanya mendapatkan royalti dan pajak yang tak seberapa dari penghasilan PT Freeport yang luar biasa itu (Jatam.org, 30/3/07).
Di Kaltim, batubara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun; emas 16.8 ton pertahun; perak 14 ton pertahun; gas alam 1.650 miliar meter kubik pertahun (2005); minyak bumi 79.7 Juta barel pertahun, dengan sisa cadangan masih sekitar 1.3 miliar barel. Namun, dari sekitar 2.5 juta penduduk Kaltim, sekitar 313.040 orang (12.4 persen) tergolong miskin. Di Aceh, cadangan gasnya mencapai 17.1 tiliun kaki kubik. Namun, Aceh menempati urutan ke-4 sebagai daerah termiskin di Indonesia, dengan Jumlah penduduk miskinnya sekitar 28.5 persen.
Hasil Totalnya, menurut data Bank Dunia 100 Juta atau kurang lebih 50% penduduk Indonesia hidup di garis kemiskinan dengan standar kemiskinan US$ 2per hari (MI, 2006).
Akhirnya, kekayaan yang berlimpah ruah di Indonesia hanya dinikmati segelintir orang.
Semua ini menghantarkan kita pada satu kesimpulan bahwa sepanjang sejarahnya Indonesia tidak pernah bangkit, lalu hari kebangkitan siapa yang di peringati setiap tahunnya oleh bangsa ini? Tapi, bukan tidak mungkin negeri ini dapat bangkit dikemudian hari, hanya saja itu akan terjadi jika diterapkannya hukum yang Maha Adil, yaitu syariat Islam secara total insya Allah.*
Penulis adalah mahasiwa Master of Political Science di IIUM, Malaysia