Islam mengharamkan pernikahan beda agama. Namun putusan hakim PN Surabaya menyiratkan sekulerisme hari ini sungguh-sungguh sudah masuk kehidupan nyata
Oleh: Hana Annisa Afriliani
Hidayatullah.com | PERNIKAHAN merupakan institusi terkecil dari sebuah peradaban manusia. Lewat pernikahanlah kelak terbentuk bibit-bibit generasi penerus bangsa. Maka, pernikahan merupakan hal penting dalam kehidupan setiap individu, sebab menjadi penentu wajah peradaban di masa depan.
Oleh karena itu, Islam memandang pernikahan adalah wadah bagi lahirnya generasi emas yang akan mampu mengisi peradaban gemilang di masa depan. Dengan begitu, seseorang yang menikah selayaknya mempersiapkan segala sesuatunya agar pernikahan benar-benar mampu mewujudkan visi agungnya tersebut.
Salah satu hal yang perlu dipersiapkan selain kematangan mental dan finansial, juga kematangan iman kedua pasangan itu sendiri. Sebab kuat lemahnya iman pasangan suami istri, akan menentukan corak pernikahan yang akan terbangun kelak.
Dengan demikian, kesamaan akidah menjadi hal yang mutlak adanya bagi pasutri. Sebab dengan kesamaan akidah itulah, ada kesatuan dalam visi misi pernikahan.
Inilah yang semestinya menjadi prinsip mutlak bagi setiap muslim, nikah wajib se-akidah. Maka, wacana pelegalan nikah beda agama yang ramai disuarakan semestinya menjadi ancaman nyata bagi kita.
Sebab hal tersebut akan membuka pintu gerbang bagi masuknya paham liberal yang kian meracuni negeri mayoritas muslim ini. Namun sayang, legalisasi nikah beda agama tampaknya sudah mulai diterapkan di negeri ini.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang mengesahkan atau mengizinkan pernikahan beda agama. Terang saja hal itu menjadi kontroversi dan perhatian publik. Betapa tidak, putusan tersebut dianggap akan menjadi lahirnya putusan yang sama di masa yang akan datang.(Sindonews.com/24-06-2022)
Komisi Fatwa MUI Jawa Timur pun bereaksi atas adanya putusan hakim tersebut, lantas mengeluarkan fatwa yang salah satu isinya adalah, “Mengacu pada Fatwa MUI 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama, UU Nomor 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum Islam maka Komisi Fatwa MUI Jatim menolak perkawinan beda agama karena hukumnya haram dan tidak sah.”
Demikianlah, sejatinya Islam memang mengharamkan pernikahan beda agama. Walhasil, adanya putusan hakim PN Surabaya tersebut kian menyiratkan sekulerisme hari ini sungguh-sungguh mengeliminasi peran agama dari kancah kehidupan.
Bahaya moderasi beragama
Legalisasi pernikahan beda agama hakikatnya tak hanya menabrak aturan syariat, namun ada bahaya laten yang menyertainya, yakni ide moderasi beragama. Ya, sebagaimana kita tahu bahwa pemerintah begitu gencar menggodok ide moderasi beragama ini lewat Kementrian Agama. Sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, yang menyatakan bahwa arah kebijakannya ditujukan agar umat beragama memiliki karakter moderat, unggul, maslahat (berdaya guna), dan damai.
Semua itu dibangun melalui tiga fondasi utama, yaitu moderasi beragama, tranformasi digital, dan good governance. Bahkan moderasi beragama masuk ke dalam salah satu dari tujuh program prioritas Menag dan menjadi asas (landasan) utama pembangunan nasional yang telah tertuang dalam RPJMN 2020-2024.
Adapun implementasinya di lapangan, moderasi beragama mewujud dalam salah satunya narasi toleransi antarumat beragama. Sayangnya, toleransi yang dimaksudkan tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Toleransi yang digagas oleh sistem hari ini adalah menyamakan semua agama, sehingga anggapan “tidak ada kebenaran mutlak” seolah menemukan wadahnya. Padahal hal itu sangat berbahaya, khususnya bagi seorang muslim.
Karena akan melemahkan keterikatan terhadap ajaran Islam, sebaliknya banyak mengambil ajaran yang sebenarnya bertentangan dengan Islam atas nama toleransi. Hal itulah yang termanifestasi dalam pernikahan beda agama.
Masyarakat awam sengaja ditanamkan mindset bahwa pernikahan beda agama bukan masalah, selama kedua pihak bisa saling menghargai perbedaan. Nyatanya tidaklah sesederhana itu.
Pernikahan beda agama akan berpengaruh terhadap nasab anak hasil pernikahan tersebut, sebab nikah beda agama tidak sah dalam pandangan hukum syarak. Maka, hubungan suami istri yang dilakukan oleh pasangan nikah beda agama akan berstatus zina.
Islam tentang nikah beda agama
Dalam pandangan Islam, orang yang berada diluar Islam disebut sebagai kafir. Adapun kafir terbagi menjadi dua, yakni musyrik dan ahli kitab.
Orang yang terkategori ahlul kitab yakni kaum Nasrani dan Yahudi. Islam membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahlul kitab dengan syarat wanita tersebut aafiaat, yakni suci dan terjaga dari segala bentuk kemaksiatan. Namun, rasanya hal ini sulit dipastikan di sistem kehidupan hari ini.
Adapun seorang muslimah haram hukumnya menikah dengan lelaki ahlul Kitab. Karena lelaki kelak akan menjadi pemimpin dalam rumah tangga, dialah nahkoda dalam kehidupan pernikahan tersebut, maka jika pemimpinnya beda akidah sangat dimungkinkan akan menyeret istri dan anak-anaknya untuk ikut pada agamanya alias memurtadkannya. Maka, Islam melarang muslimah menikah dengan lelaki ahlul kitab.
Adapun yang termasuk kaum musyrik adalah agama atau kepercayaan selain Nasrani dan Yahudi, misalnya Hindu Budha, Majusi, Konghucu, dll. Islam melarang menikah dengan kaum musyrik ini secara mutlak, baik dengan kaum laki-lakinya maupun perempuannya. Allah Swt berfirman:
وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا۟ ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ يَدْعُونَ إِلَى ٱلنَّارِ ۖ وَٱللَّهُ يَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱلْجَنَّةِ وَٱلْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِۦ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS: Al-Baqarah ayat 221).
Oleh karena itu, umat harus waspada terhadap upaya-upaya yang bertujuan menjadikan moderasi beragama kian kaffah di negeri ini. Umat Islam harus berpegang teguh pada ajaran agamanya secara kaffah.
Kita harus mampu menempatkan toleransi dalam batas-batas yang dibolehkan syariat. Padahal hidup dalam naungan syariat akan menjadikan negeri ini menjadi baldatun toyyibatun WA robbun ghofuur, yakni negeri yang baik dan diselimuti ampunan. Dengan itulah, kita akan selamat di akhirat kelak. Wallahu’alam bis shawab.*
Penulis buku dan akativis dakwah