Oleh: Mohammad Saleh Sitompul
PELAJAR Islam Indonesia, suatu organisasi pelajar yang terbesar di Republik Indonesia, pada tanggal 15 sd 20 Rajab 1436 atau tanggal 4 sd 9 Mei 2015 M akan menyelenggarakan Muktamar XXIX berlokasi di Asrama Haji Pangkalan Masyhur Medan.
Sehubungan dengan penyambut peristiwa yang sarat dengan momentum itu, sebab akan dihadiri oleh 5.000 orang warganya dari 28 Pengurus Wilayah se Indonesia, maka diungkapkan suatu kenangan, interaksi Pelajar Islam Indonesia dengan Jenderal Besar (purn) Dr (Hc) H. Abdul Haris Nasution ([almarhum, lahir di Hutapungkut Kotanopan 3 Desember 1918 dan wafat di RSPAD Gatot Subroto Jakarta 6 September 2000].
Nuansa hubungan rasional dan emosional antara Jenderal Abdul Haris Nasution atau akrab dipanggil Pak Nas, yang mantan Menko Hankam/KASAB dan Kepala Staf TNI AD dengan warga Pelajar Islam Indonesia diakui banyak pihak.
Hubungan antara Pak Nas dengan organisasi-organisasi Islam sangat intens, salah seorang sepupunya, Muhammad Radjab Nasution [mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta] pernah menjabat Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam pada Periode III (1951-1953) ketika itu Ketua Umumnya Dahlan Ranuwihardjo.
Adiknya, Musa Nasution ketika studi di SMA juga pernah menjadi simpatisan Pelajar Islam Indonesia. Demikianlah hubungan dan interaksi Pak Nas sangat akrab dengan pimpinan atau pengurus Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Al-Washliyah, Himpunan Mahasiswa Islam, Partai Syarikat Islam Indonesia, Himpunan Seni Budaya Islam, dan kepada organisasi Islam lainnya.
Di antara kenangan Pak Nas yang memiliki kesan mendalam, tatkala pada hari Kamis malam tanggal 30 September 1965, ia ditemani stafnya Kolonel Mudhar Amin dan Kolonel Isa Edris memberikan ceramah tentang “Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta [Hankamrata]” kepada Pimpinan Muhammadiyah DKI Jakarta Raya di Universitas Muhammadiyah, justru pada Jum’at dini harinya terjadi usaha penculikan oleh gerombolan Gerakan 30 September (G 30 S PKI) di kediaman beliau Jalan Teuku Umar 40 Jakarta [bangunan ini telah berobah fungsi menjadi Museum Jenderal Besar Purn Dr (Hc). H. Abdul Haris Nasution – peresmiannya dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 3 Desember 2008]. Museum itu dikelola oleh Dinas Sejarah TNI AD.
Ia berhasil meloloskan diri ke pekarangan Kedutaan Besar Irak dan pada peristiwa itu mengakibatkan gugurnya putri bungsunya Ade Irma Suryani Nasution sebagai perisai Ayahandanya.
Pak Nas [putra sulung dari H. Abdul Halim Nasution & Hj. Zaharah Lubis] menikahi Juhana Soenarti Gondokoesoemo pada 30 Mei 1947 di Ciwidey Bandung. Dan kembali mengenai hubungan organisasi Pelajar Islam Indonesia, tatkala harus dilakukan pengamanan internal di kompleks Markas Besar Hankam/Staf Angkatan Bersenjata Medan Merdeka Barat pada sekitar tanggal 2 Oktober 1965 sampai beberapa hari yang genting berlalu, justru Komandan Detasemen Hankam Kolonel H.V. Worang – membuat pasukan khusus untuk memperkuat penjagaan – yang diambil dari anak-anak Pelajar Islam Indonesia yang dipersenjatai.
Pak Nas menyebutkan “Itu sama sekali bukan saya instruksikan. Sebagai perwira Kristen, dialah yang memilih mereka, karena katanya lebih terjamin kesetiaannya”.
Jenderal Besar Purn DR. H. Abdul Haris Nasution dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dengan Piagam Nomor 01/XV/2002 tertanggal 6 November 2002 ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, menuliskan dalam memoarnya bahwa tanggal 1 Oktober 1965 kondisi masih meragukan, karena tiada yang dapat mengetahui kawan atau lawan, sedangkan kondisi kota Jakarta dan sekitarnya, dan situasi di Indonesia pada umumnya sangat mencemaskan.
Suratkabar edisi sore “Warta Bhakti [eks Sin Po]” pimpinan Karim DP [Ketua PWI masa itu] pada edisi hari itu justru membuat head-line “Pembentukan Dewan Revolusi, Pangkat Djenderal Dihapus”.
Berbagai reaksi bermunculan, dimulai oleh DPP Partai Nasional Indonesia ditandatangani Sekretaris Jenderal Ir Surachman pada tanggal1 Oktober 1965 jam 11.30 memuat enam butir statemen, salah satunya “Dalam rangka menghadapi segala kemungkinan, maka segenap anggota PNI/Front Marhaenis dalam formasi Dewan Daerah, Dewan Tjabang sampai ke Ranting-ranting beserta segenap anggota Gerakan Massa Marhaenis dinyatakan dalam keadaan siap-siaga untuk bersama-sama kekuatan progresif revolusioner lainnya melaksanakan aksi-aksi revolusioner di bawah pimpinan Bung Karno untuk menjelamatkan djalannya revolusi.”
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dan sesudahnya, berturut-turut diterbitkan pernyataan yang isinya mengutuk Gerakan 30 September serta menyatakan taat dan setia tanpa reserve pada perintah Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi ABRI Bung Karno, antara lain berasal dari Ladjnah Tanfizijah Partai Sjarikat Islam Indonesia, Pengurus Besar Muslimat Nahdlatul Ulama, Pepabri, Pengurus Besar Karjawan Tani Pantjasila, Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia, Pengurus Besar Pemuda Muslimin Indonesia, dan yang lainnya, umumnya senada atau sebangun.
Malah Pak Nas yang meraih anugerah Doctor Honoris Causa dari Universitas Islam Sumatera Utara [1962], Universitas Andalas [1962], Universitas Padjadjaran [1962], serta Mindanao State University [1971], menilai pernyataan Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia tertanggal 1 Oktober 1965 ini “agak lain atau berbeda dengan yang sudah ada”, yaitu “Bahwa jang menamakan dirinja G30S didalangi dan ditunggangi oleh golongan tertentu untuk melakukan kup. Menuntut hukuman mati terhadap pelaku-pelaku G30S dan Dewan Revolusi serta mendesak membubarkan organisasi dalangnja dan jang memberikan bantuan. Mengharapkan tindakan tegas dari Presiden/Pangti dan mendukung kebidjaksanaan Major Djenderal Soeharto bersama Angkatan-Angkatan lainnja dalam mengembalikan ketertiban.”
Pada tanggal 7 Oktober 1967 Pak Nas berkesempatan mengadakan dialog dengan kader Pelajar Islam Indonesia, secara garis besar Pak Nas menguraikan tentang pembangunan nasional, investasi asing, masalah korupsi, penyalahgunaan kekuasaan yang berlebihan, penyempurnaan aparatur negara, dan pendayagunaan kinerja birokrasi.
Ia memberikan tekanan atas saran PB PII yakni, “Dalam struktur pimpinan haruslah ada perbedaan dan pemisahan yang layak antara policy making dan excecutive making. Policy making yang selalu memerlukan musyawarah antara unsur birokrat, ilmiah, dan masyrakat, sebagai juga saran Pelajar Islam Indonesia. Karena Pelajar Islam Indonesia adalah unsur terbesar dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia yang telah banyak perannya dalam aksi-aksi yang lalu.”
Bukan hanya Pak Nas yang akrab dengan kader Pelajar Islam Indonesia, juga Ibu Soenarti Nasution pun pernah menghadiri acara kader Pelajar Islam Indonesia di Sekretariat Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia Menteng Raya 58 [kemungkinan pada tahun 1970] karena pada foto ada tertera tulisan “Meningkatkan Moral Agama Bagi Segenap Insan Indonesia jang Religius.”
Juga Pak Nas berkenan memberi sambutan pada Muktamar X Pelajar Islam Indonesia di Bandung [1969]. Sebagai salah seorang mantan Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia [1964-1966] Sjarifuddin Siregar Pahu yang diwawancarai Solichin Salam pada tanggal 20 Maret 1990 menyatakan hubungan Pak Nas dengan Pelajar Islam Indonesia.
“Saya mulai kenal pribadi dengan Pak Nas pada tahun 1961, sewaktu saya menjadi anggota PB PII [1960-1962]. Kemudian lebih dekat lagi dengan beliau pada waktu saya memegang jabatan sebagai Ketua Umum PB PII. Kemudian yang sangat terkesan pada saya ialah waktu beliau memberi ceramah di Desa Jungke Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Waktu itu Pelajar Islam Indonesia mengadakan Perkampungan Kerja Pelajar sekitar tahun 1964. Di situ beliau memberi ceramah tentang Civics Mission, barangkali inilah merupakan embryo Dwi Fungsi ABRI. Sesudah meletusnya G30S/PKI, beliau minta bantuan dari anak-anak Pelajar Islam Indonesia dan Muhammadiyah untuk ikut aktif dalam Pertahanan Sipil, yang ternyata memberi dukungan moriel kepada beliau. Akhirnya di antara mereka ada yang kemudian diterima menjadi Wajib Militer.” (“A.H. Nasution, Prajurit, Pejuang Dan Pemikir”, Solichin Salam, Kuning Mas, 1990)
Demikianlah hukuman dekat PII dengan Jenderal H. Abdul Haris Nasution, petinggi ABRI yang kini menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).*
Penulis adalah mantan Ketua Umum Pengurus Daerah Pelajar Islam Indonesia Kotamadya Tanjung Balai [1979 – 1971] serta Sekretaris Umum Pengurus Cabang Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia Kota Pematangsiantar [2015 – 2019]