Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Lagi-lagi eksepsi dari terdakwa Habib Rizieq Shihab dibuat tidak terbuka. Permintaan sidang offline dipenuhi Majelis Hakim, setelah ia kekeh tidak akan mengikuti sidang, jika sidang tidak dibuat offline. Sempat sidang dua kali dilakukan virtual/online.
Melihat sikap Habib Rizieq dan pembelanya, maka akhirnya diputuskan sidang berikutnya, hari ini, Jum’at (26 Maret) dilakukan secara offline. Keputusan Majelis Hakim itu disambut kelegaan, khususnya terdakwa.
Tapi ada hal berikutnya yang mengganjal, bahwa sidang dibuat tidak biasa. Meski sidang berlangsung offline, tapi diputuskan menjadi sidang tertutup (Closed Trial).
Wartawan pun tidak diperkenankan hadir. Benar-benar tertutup dari unsur luar. Entah apa alasan sidang ini dibuat tertutup. Itu yang buat spekulasi muncul.
Baca: Nobar Sidang Habib Rizieq, Yuk
Beragam spekulasi menyebut, tapi semuanya lebih kurang demikian, bahwa pengadilan takut marwahnya runtuh berhadapan dengan Habib Rizieq. Pasti akan mempermalukan penuntut umum khususnya, yang memberikan tuntutan sumir dan mengada-ada.
Takut eksepsi yang disampaikan Habib Rizieq akan menelanjangi banyak pihak. Karena itu sidang dibuat tertutup. Sebisa mungkin eksepsi yang dibacakan Habib Rizieq dengan intonasi dan suara menggelegar tidak bisa sampai didengar khalayak.
Ketidaksiapan untuk bongkar-bongkaran, menjadikan sidang mesti tertutup. Diharapkan yang “gawat-gawat” tidak sampai keluar bebas. Tapi beberapa potongan video masih bisa dilihat dan viral.
Baca: Sidang Offline Akhirnya
Menyidangkan seseorang dengan kesalahan yang sebenarnya administratif, lalu harus dikenakan pasal pidana. Ini yang membalik nurani kesadaran, sampai sebegitu besar nafsu memenjarakannya.
Sebagai sebuah kasus hukum yang itu administrtatif, mungkin hanya kasus Habib Rizieq yang dipaksakan dibawa ke ranah pidana. Dan tidak tanggung-tanggung dengan pasal berlapis. Itu dimungkinkan, bahwa di tahun 2024, saat Pilpres berlangsung ia masih meringkuk di tahanan.
Pengadilan Habib Rizieq ini, jauh dari upaya mencari keadilan, tapi justru lebih dari upaya memenjarakannya. Tapi bagi umat kebanyakan, pengadilan ini justru jadi sarana mengetuk pintu langit, memohon Tuhan turunkan keadilannya. Dan keadilan Tuhan itu pasti. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya