Oleh: Herry Mohammad
SETIAP menjelang dilaksanakannya pemilihan umum (Pemilu), baik itu untuk pemilihan calon legislatif, dewan perwakilan daerah (DPD), maupun presiden, umat Islam selalu dibuat ambigu. Ada yang mengharamkan pemilu, ada juga yang mengharamkan golput. Bagaimana semestinya sikap seorang Muslim?
“Jika Anda dan jutaan yang lain tidak ikut pemilu. Jutaan orang fasik, sekuler, liberal, ateis akan ikut pemilu untuk berkuasa dan menguasai kita,” begitu pesan Hamid Fahmi Zarkasyi dalam akun Facebook-nya. Pesan yang ditebar oleh Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia itu, tentu saja, ditujukan kepada para pemilih muslim yang punya paham bahwa Golput adalah sebuah pilihan sikap. Pro dan kontra atas pernyataan Fahmi tersebut, tak terhindarkan, baik melalui jejaring sosial, media massa, maupun diskusi-diskusi kelompok.
Sejak awal kampanye, yang dimulai pada 16 Maret lalu, penulis kebanjiran pertanyaan dari mereka yang merasa kebingungan untuk menjatuhkan pilihannya. Bahkan yang jelas-jelas tidak mau memilih pun, ikut-ikutan bertanya. Catatan berikut adalah pandangan pribadi atas berbagai pertanyaan di seputar Pemilu tersebut.
* * *
Sejak awal berdirinya republik ini, demokrasi adalah sebuah pilihan dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam demokrasi, kekuasaan ada di tangan rakyat. Tapi, tentu saja, dengan banyaknya warga dan luasnya wilayah, tak semua rakyat bisa menjalankan “kekuasaan”-nya secara langsung. Karena itu, sebagian dari warga –yang sudah punya hak pilih– mewakilkan kepada mereka yang dianggap bisa melaksanakan aspirasinya. Itulah yang dinamakan demokrasi perwakilan.
Maka, dibuatlah mekanismenya. Memilih pemimpin puncak pemerintahan, seperti presiden dan wakil rakyat, anggota legislatif, dan DPD, dilakukan dengan mekanisme pemilihan umum. Inilah sistem demokrasi, suara lelaki sama dengan suara perempuan, suara seorang ulama sama dengan suara seorang preman, dan seterusnya. Pokoknya, banyak-banyakan perolehan suara. Tentu saja ini sangat jauh dari sistem syuro yang menempatkan figur ulama rabbany yang bermusyawarah untuk memilih pemimpin.
Dalam sistem demokrasi, mereka yang terpilih adalah yang dipersepsikan bisa mewakili rakyat dan juga atas kemauan politik yang memilihnya. Karena dipilih oleh rakyat, mereka mesti bertanggung jawab kepada rakyat. Karena itu, wakil rakyat seharusnya bisa amanah dalam menjalankan mandatnya.
Di era pemilihan umum yang dinilai paling jujur dan adil, pada tahun 1955, perolehan suara Partai Masyumi bisa mengimbangi partai nasionalis. Di era Orde Baru, partai Islam, tidak bisa berbuat banyak untuk bisa memulung suara dari umat Islam. Di era reformasi, dimana kran kebebasan telah dibuka, para tokoh berbondong-bondong membuat partai ber-azas Islam; bahkan yang “mengaku” Islam pun juga ada. Mereka berlomba untuk mendapatkan suara dari konstituen Islam. Dan, umat Islam pun diperebutkan setiap lima tahun sekali, tidak hanya dari kalangan partai ber-azas atau berbasis massa Islam, tapi juga partai-partai yang ber-azas nasionalis.
Acapkali kita dikejutkan oleh munculnya sosok-sosok religius yang a-historis. Mereka adalah para caleg atau juga calon DPD yang tiba-tiba sering terlihat shalat berjamaah di masjid, muncul di berbagai pengajian dan memberi sedekah kepada para jamaah. Mereka yang sebelumnya tidak ada rekam jejak sebagai pemakmur masjid atau mushala, tiba-tiba mendadak religius dan dermawan. Bahkan, seorang penyanyi ndangdut yang sebelumnya mengumbar syahwat dan hidupnya dikenal hedonis, tiba-tiba berjilbab dan menjadi caleg dari partai yang ber-azas Islam.
* * *
Argumen yang dilontarkan oleh Hamid Fahmi Syarkasy sebagaimana tersebut diawal tulisan ini, tidaklah salah. Tapi kita juga perlu merujuk pada sunatullah sosial, bahwa jika ummat ini baik, maka Allah akan mengirimkan pada negara-bangsa ini seorang pemimpin yang baik pula. Begitu pula halnya jika terjadi sebaliknya. Lihatlah surah Al-An’aam ayat 129, “Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.”
Ibnu Abbas r.a. memberi komentar atas ayat ini, “Bila Allah meridhai suatu kaum, Allah menjadikan orang-orang terbaik menjadi pemimpin mereka, dan bila Allah memurkai suatu kaum, maka Allah menjadikan orang-orang terburuk mejadi pemimpin mereka.”
Karena itu, agar kita mendapatkan pemimpin yang shaleh, maka tidak ada jalan lain kecuali kita mesti membina diri, keluarga, dan ummat ini agar menjadi shaleh, baik secara individual maupun sosial. Dan jika itu sudah kita upayakan secara terus menerus, maka Allah akan mengirimkan seorang pemimpin yang shaleh, satu sama lainnya saling dukung mendukung, sebagaimana firman-Nya dalam surah at-Taubah ayat 71, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.”
Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang kufar, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain.
وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ إِلاَّ تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu [625], niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS: al-Anfaal [8]: 73)
Dari sini, perlu juga dipahami, sebagaimana tersurat dalam surah ar-Ra’d, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Di sini Allah tidak berfirman, “sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada pemimpin mereka.”
Jika demikian keadaannya, dakwah yang terus menerus agar masyarakat menjalankan ajaran Islam secara benar mesti dijaga, agar kezhaliman hilang, dan Allah Subhanahu Wata’ala memberi kita pemimpin yang shaleh. Dan, untuk meraih cita-cita tersebut, tidak bisa secara instan, dadakan, apalagi hanya melalui mekanisme lima tahun sekali.
* * *
Lalu, bagaimana sikap umat Islam dalam menghadapi Pemilu 9 April dan pemilihan presiden pada 9 Juli 2014?
Panduan dalam menjalani hidup individual, keluarga, bermasyarakat dan bernegara ummat Islam adalah syari’at Islam. Dan itu harus dilaksanakan semampunya. Karena itu, jika mereka akan memilih wakil-wakilnya di DPR dan DPD, atau memilih presiden (juga walikota, bupati, dan gubernur), maka ada lima syarat minimal yang mesti dijadikan pertimbangan.
Pertama, dilihat partainya, yang ber-azas Islam, bukan sekedar berbasis massa Islam. Atau mengaku Islam tapi tidak sepenuh hati menjalankan syariatnya.
Kedua, adalah komitmennya atas penegakan syari’at Islam, baik secara individual maupun kepartaian.
Ketiga, para pemakmur masjid. Karena para pemakmur masjid adalah orang-orang yang ber-iman, sebagaimana tersurat dalam at-Taubah ayat 18. Abu Said al-Kudri, imam Ahmad, Imam Tirmidzi, Ibnu Mardawaih, dan al-Hakim meriwayatkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalllam, “Jika kamu melihat seseorang terbiasa pergi ke masjid, maka saksikanlah bahwa dia beriman. Karena Allah berfirman, Yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.”
Orang-orang yang beriman itu melaksanakan shalat jamaah di masjid. Shalat berjamaah di masjid, terutama shalat Shubuh dan Isya’, menjadi pembeda dengan orang-orang munafik. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits, “Sesungguhnya shalat yang paling berat dilaksanakan oleh orang-orang munafik adalah shalat Isya’ dan Shubuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.”
Keempat, akhlaknya. Baik akhlak pribadi, kepada keluarga, lingkungan kerja, maupun kepada masyarakat pada umumnya.
Kelima, amanah. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam memberikan arahan pada ummatnya, hendaknya amanah diberikan kepada mereka yang kompeten di bidangnya. Kompeten, bukan keterkenalan, atau kekayaan seseorang. Terkenal namanya, selebritas misalnya, kalau tidak punya kompetensi, mesti dihindari untuk dipilih. Sahabat Abu Hurairah r.a. menarasikan sebuah hadits,”Apabila amanah itu disia-siakan, maka tunggulah kehancuran. Para sahabat bertanya: bagaimana menyia-nyiakannya? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalllam menjawab: Apabila sesuatu jabatan itu diserahkan kepada orang orang-yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancuran.” (HR. Riwayat Bukhari)
Lima syarat tersebut diatas menjadi satu kesatuan. Jika tidak bisa memenuhi keempatnya, maka gugurlah ia sebagai calon terpilih. Karena itu, para pemilih mesti benar-benar mengetahui calon yang hendak dipilihnya.
Jika para pemilih ternyata tidak punya pengetahuan cukup tentang calon-calon yang ada, atau calon-calon yang ada tidak memenuhi lima kriteria tersebut di atas, adalah hak mereka untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Mengapa? Jika kita memilih tanpa ilmu, tanpa mengetahui “siapanya” si calon, maka kelak Allah . akan meminta pertanggungjawaban atas pilihan kita itu, sebagaimana tersurat dalam surah al-Isra ayat 36;
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya.” [QS: al- Isra’ [17]: 36].*
Penulis adalah wartawan, pemerhati politik Islam