Lanjutan artikel PERTAMA
oleh: Ilham Kadir
Qurban adalah ibadah klasik, yang telah turun temurun sejak generasi awal umat manusia, hal ini direkam dalam al-Qur’an. Ketika itu, kedua putera Nabi Adam alaihissalam berselisih tentang jenis qurban sebagai jalan menuju ketakwaan yang diterima.
Firman Allah;
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَاناً فَتُقُبِّلَ مِن أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Ceritkanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang di antara mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Qabil berkata, ‘Aku pasti membunuhmu’, Habil menjawab, ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima qurban dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah [5]: 27).
Faktor utama diterimanya qurban Habil karena ketakwaan dan jenis qurban yang ia persembahkan, berupa hewan ternak miliknya yang terbaik, seekor kambing gemuk. Sedang Qabil, bertolak belakang, selain antagonis (jahat) dia juga seorang yang pelit, hanya mempersembahkan qurban kepada Allah berupa jenis hasil panen yang buruk dan tidak berkualitas.
Berkaca dari kisah di atas, maka seorang muslim jika hendak mempersembahkan sesuatu kepada Allah sebagai bentuk ketakwaan hendaklah yang terbaik, sesuai dengan kemampuannya. Sebab itulah, kebaikan (surga) hanya dapat diraih dengan mempersembahkan kepada Allah yang terbaik dari barang yang dimiliki.
لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak akan pernah sampai pada kebaikan—yang sempurna—sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imron [3]: 92).
Ayat di atas mendapat dukungan dari ayat lain, yang juga berbicara tentang syariat qurban, Dan telah Kami jadikan untuk kami unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu mendapat kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri maupun terikat. Kemudian apabila telah mati, maka, makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang lain yang rela dengan apa yang ada padanya. Demikianlah kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridahan Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat menggapainya.” (QS. Al-Hajj[22]: 36-37).
Cukuplah ayat-ayat di atas menjadi lentera penerang bagi kita semua, bahwa syariat qurban memiliki tujuan utama sebagai jalan menuju takwa, walaupun tentu saja memiliki manfaat yang lain, terutama dimensi ekonomi, sosial, politik, pendidikan, hingga budaya, tapi itu hanya sekadar tujuan sekunder, primernya adalah takwa.
Tentu saja, puasa Ramadan yang telah berlalu dua bulan lebih yang juga sebagai bagian dari jalan menuju takwa, diperkuat dengan ibadah qurban, maka akan melahirkan pribadi agung, bersahaja, penuh manfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan agamanya.
Dan, takwa sebagai maqam yang akan mereduksi segala bentuk kemungkaran, dan menghidupkan segala bentuk kebaikan, jika itu terwujud, maka tatanan masyarakat bijak, beradab, adil penuh ketakwaan akan terwujud. Apalagi, dalam suasana hiruk-pikuk pilkada serentak yang akan dihelat akhir tahun ini, nampaknya, para calon pemimpin daerah sudah tancap gas, mondar-mandir kesana-kemari mencari dukungan, maka, masyarakat yang cerdas harus tau rekam jejak calon pemimpinnya, jangan beli kucing dalam karung. Pilihlah pemimpin yang saleh dan bertakwa. Pemimpin bertakwa pasti pancasilais, dan manusia pancasila harus selalu mengimplementasikan nilai-nilai pancasila dalam hidupnya, berketuhanan dan tidak ateis apalagi komunis, berkeadilan sosial dan tidak zalim, memimpin dengan hikmat bukan pencitraan apalagi asal-asalan.
Karana itu, peristiwa qurban juga erat kaitannya dengan kepemimpinan. Saat Allah mengankat Nabi Ibrahim sebagai pemimpin (imam) bagi seluruh umat manusia, Inni ja’iluka linnasi imaman. Lalu Ibrahim meminta kiranya keturunannya pun bisa diangkat menjadi pemipin seperti dirinya, namun tidak semudah itu, Allah memberikan syarat bagi siapa pun yang ingin mengikuti jejak Ibrahim harus bersikap adil, dan orang yang zalim tidak akan bisa disebut pemimpin, La yanalu ahdiz zhalimin, (QS. Al-Baqarah [2]: 124).
Lalu, bagaimana dengan keturunan Ibrahim yang tersebar di mana-mana, dengan kezaliman merajalela terutama dari garis keturunan putranya Ishak yang disebut dengan bangsa Israil? Memang, mereka pemimpin dunia dengan materi, politik dan kekuasaan, tapi karena bukan dengan keadilan makanya tidak bisa dikategorikan pemimpin yang sesungguhnya, begitu pula yang berlaku di antara kita, sulit menemukan pemimpin adil, hanya layak disebut penguasa yang korup lagi zalim.
Semoga Idul Qurban kali in dapat melahirkan pemimpin adil dan bertakwa dambaan umat, plus masyarakaat beradab impian negara. Allahu Akbar walillahil hamdu. Selamat Hari Raya Qurban, 1436 Hijriah.
Enrekang, 21 September 2015 H.
Penulis peserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) Baznas DDII; Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor
bahwa syariat qurban memiliki tujuan utama sebagai jalan menuju takwa, walaupun tentu saja memiliki manfaat yang lain