oleh: Harits Abu ulya
Di TENGAH tragedi asap dan problem kebangsaan lainnya, rakyat kembali disuguhi narasi terorisme oleh sebagian besar media. Kali ini Bom di Mall Alam Sutera Tangsel menjadi TKP, dan kasus ini yang kedua kalinya.
Sejak kejadian kali pertama (Bom di Toilet) di Mall Alam Sutera pihak kepolisian, para pengamat, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan media bernafsu untuk menggiring kasus ini masuk pada isu terorisme.
Bahkan dicoba narasi keterkaitan dengan kelompok atau jaringan terorisme tertentu di Indonesia.
Begitu pula di kejadian kali kedua, terorisme sudah menjadi bingkai opini untuk membaca kasus bom Alam Sutera. Di lapangan aparat dengan cepat bisa menangkap pelakunya dan hasil penyidikannya dibuka ke publik.
Namun publik akhirnya dikejutkan oleh realitas aktual baru bahwa ternyata pelakunya adalah Leopard Wisnu Kumala (29) alias Leo dari etnis Tionghoa dan beragama Katolik.
Media akhirnya seperti gagap untuk menata ulang opini, bahkan sebagian pengamat yang sebagian besar memegang pakem metode “framework analisis kultural” juga kelu lidahnya.
Bisa jadi BNPT juga mules perutnya karena teori terorisme yang diusung selama ini kesandung di Alam Sutera.
Dalam isu terorisme, Rakyat Indonesia selama ini dalam kerangkeng sudut pandang yang tendensius dan stigmatis. Begitu mendengar teroris maka tergambar sosok pelakunya seorang muslim, berjenggot, jidat hitam, celana cingkrang, keluarganya bercadar, memandang Barat (AS) sebagai musuh.
Meski jika ada seseorang atau beberapa orang yang dituduh hendak ngebom dengan barang bukti material bahan petasan tapi jika punya ciri diatas maka otomatis label teroris akan disandangnya. UU tahun 2003 nomer 15 soal terorisme pun diterapkan untuk menjerat. Jadi, Terorisme akan selalu dimaknai sebagai produk radikalisme dalam agama Islam.
Terorisme di Indonesia itu identik dengan Islam, ini secara simpel di konstruksi oleh pihak pemerintah melalui aparaturnya dan diaminkan sebagian besar media.
Maka hadirnya sosok Leopard dalam kasus bom Mall Alam Sutera seperti titik balik yang bisa meruntuhkan stigmatisasi terhadap Islam selama ini dalam isu terorisme.
Bagaimana tidak? Leopard seorang dari etnis cina, beragama katolik, pandai meracik bom dengan bahan peledak high eksplosive jenis Triaceton Triperoxide (TATP) kali pertama di Indonesia terjadi.
Leopard melakukan empat kali pengeboman di Alam Sutera meski tidak semua meledak, sejak meletus bom nya di toilet Mall Alam Sutera jelas telah melahirkan teror yang meluas rasa tidak aman bagi publik, dan teror menjadi cara untuk meraih kepentingan opurtunisnya. Maka jika konsisten dengan nafsu untuk menarik kasus ini ke isu terorisme maka apa sulitnya untuk menyebut Leopard teroris?
Saya pikir istilah teroris lone wolf (serigala sendirian) adalah tepat. Apa karena sosok Leopard yang katolik membuat aparatur pemerintah dan pemilik media wajib memilih diksi judul pada setiap berita dan isinya kemudian harus steril dari diksi terorisme? Kejujuran dan konsistensi diuji, publik juga sudah cerdas.
Inilah terorisme di Indonesia, sebuah bangunan terminologi yang memiliki dimensi sarat tendensi, stigma, kepentingan politis dan ideologis dibaliknya.
Rakyat sekarang tahu, orang kristen atau non muslim di Indonesia juga sama potensialnya bisa hadir ditengah masyarakat menjadi sosok-sosok teroris yang sangat berbahaya sekalipun terkesan ramah bahkan imut.
Tidak harus karena spirit crussader nya seorang Kristen (non Muslim) untuk menjadi seorang teroris dengan menebar teror. Tapi bisa jadi cukup hanya karena motif kepentingan perut, sebab hasud, sakit hati atau dendam terhadap pihak diluar dirinya kemudian menjelma menjadi teroris liar yang mematikan. Teror dengan mengebom menjadi salah satu cara untuk mencapai keinginannya.
Teroris di Indonesia tidak lagi harus karena teologi beku yang di anutnya, juga tidak harus kerena soal imperialisme Amerika di Indonesia. Semua asumsi diatas menemukan relevansinya pada sosok Leopard Wisnu Kumala, dan Leopard sosok Teroris Lonwolf yang membuyarkan semua narasi teori terorisme yang di cekokkan ke publik selama ini.
Publik sekarang perlu waspada, bisa jadi seorang yang tidak punya iman dan moral kontrol diri yang baik kemudian ia patah hati dalam urusan asmara juga potensial menjadi teroris.
Terorisme sepertinya sudah menjadi jalan baru dan jalan pintas semua etnis untuk meraih kepentingannya.
Sosok Leopard menjadi penanda sejarah penting dalam isu terorisme di Indonesia.*
Penulis adalah Pemerhati Kontra Terorisme & Dir CIIA