Hidayatullah.com— Hari Ahad (29/11/2015) digelar kampanye “Permintaan Maaf Inggris Menjelang 2017”, sebuah gerakan rakyat lintas negara yang lahir dari proyek hak kembali bangsa Palestina ke tanah airnya.
Proyek hak kembali bangsa Palestina ke tanah kelahiranya yang dilakukan lembaga persahabatan Amerika Quakers bertujuan menuntut pemerintah Inggris dalam hal meminta maaf kebada bangsa Palestina atas kesalahan mereka memberikan tanah Palestina ini kepada yahudi saat itu dalam sebuah perjanjian yang dinamakan perjanjian Balfour.
Kampanye yang mulai diluncurkan dalam konferensi pers di Gaza juga bertujuan meminta pertanggung jawaban secara sejarah dan hukum atas eksodusnya bangsa Palestina akibat tekanan dari pemerintah Inggris.
Mera diberikan tenggang waktu selama dua tahun hingga 2017 mendatang, bertepatan 100 tahunnya Perjanjian Balfour.
Dikutip Sahabat Al Aqsha, kampanye menuntut permintaan maaf Inggris atas Deklarasi Balfour itu diluncurkan secara resmi di London pada 19 Januari 2013 saat konferensi akademis yang diselenggarakkan oleh Palestinian Return Center.
Gerakan ini sudah dimulai bulan April 2013, di mana sebanyak 220 delegasi dari berbagai negara menandatangani memorandum yang menuntut Inggris meminta maaf atas Deklarasi Balfour.
Penandatangan petisi itu dilakukan dalam sebuah konferensi yang digelar di Kairo dari 4-6 April lalu. Konferensi itu dihadiri para pemuka dari negara-negara Arab dan Muslim.
Petisi itu antara lain ditandatangani oleh anggota parlemen, para pelajar, akademisi, wartawan, politikus, pemimpin asosiasi, dokter, insinyur serta penulis dari berbagai negara Arab, Islam dan Barat.
Kampanye ini ditujukan untuk mengumpulkan satu juta tanda tangan dalam waktu lima tahun yang akan disampaikan kepada pemerintah Inggris agar meminta maaf kepada rakyat Palestina terkait Deklarasi Balfour.
Deklarasi Balfour adalah surat tertanggal 2 November 1917 dari Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour kepada pemimpin komunitas Yahudi Inggris, Lord Rothschild untuk dikirimkan kepada Federasi zionis.
Surat itu menyatakan sikap yang dimufakati oleh Rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917 bahwa pemerintah Inggris mendukung rencana-rencana Zionis untuk membuat ‘tanah air’ bagi Yahudi di Palestina, dengan syarat zionis tidak melakukan hal-hal yang mungkin merugikan hak-hak dari komunitas-komunitas yang ada di sana.
Pada waktu itu, sebagian besar wilayah Palestina berada di bawah kekuasaan Kekhalifahan Islam terakhir, Turki Usmaniyah, namun Inggris telah menyiapkan diri untuk mengalahkan pasukan Usmaniyah dan menguasai Palestina. Batas wilayah yang akan menjadi bagian ‘Israel’ telah dibuat dalam Perjanjian Sykes-Picot, yang telah disetujui sebelumnya oleh Inggris dan Prancis pada 16 Mei 1916.
Perjanjian Sykes-Picot adalah sebuah kesepakatan sepihak yang dilakukan Inggris dan Prancis yang dikemudian hari membagi Negeri Syam menjadi empat negara jajahan: Palestina dan Yordania di bawah Inggris, Suriah dan Libanon di bawah Prancis.
Deklarasi itu membuktikan, Inggris menyetujui berdirinya pemerintahan Yahudi di Palestina dan memberi bantuan dalam pembentukan negara tersebut. Lalu pada 1948, David Ben-Gurion membacakan proklamasi berdirinya negara bangsa Yahudi di Palestina yang diberi nama ‘israel’. Setelah itu, terjadilah “pengusiran” besar-besaran terhadap rakyat palestina dari Tanah Air yang telah menjadi hak mereka selama bertahun-tahun.
Termasuk yang menjadi puncak penjajahan itu, pada tanggal 5 Juni 1967, penjajah Zionis Yahudi merampas Masjidil Aqsha, salah satu masjid terpenting dalam aqidah tauhid, sampai hari ini.*