Oleh: Abdel Bari Atwan
HARI Selasa (22/03/2016) pagi, benua Eropa dan berbagai Ibu kota dunia dikagetkan ledakan bom yang melanda Airport Brussels dan terminal kereta bawah tanah yang memakan korban nyawa dan puluhan luka.
Kondisi darurat pun diperlakukan di berbagai airport dan terminal-terminal kereta bawah tanah, sehingga kelancaran perjalanan terganggu, menyusahkan dan repot. Karena pemeriksaan keamanan diperlakukan begitu sangat ketat, khawatir adanya serangan dan ledakan susulan serupa yang akan mengganyang kota-kota lainnya.
Ledakan Brussel –yang mirip-mirip dengan ledakan Paris pada beberapa bulan yang lalu– terjadi tepat 4 hari setelah penangkapan Solah Abdessalam yang kebetulan juga tertuduh sebagai tokoh utama dalang ledakan Paris dan pun sudah melakukan berbagai komunikasi via telephone dengan partener-partnernya di Belgia, dimana hal ini menguatkan beberapa asumsi:
Pertama, menuduh ISIS sebagai dalang berbagai peledakan tersebut- terlihat semakin gagah dan lebih tangguh dari yang diperkirakan oleh para pengamat militer dan keamanan di Barat.
Dan serangan udara yang jumlahnya lebih dari puluhan ribu kali di berbagai tempat di Suriak, Iraq dan Libya ternyata tidak mampu melumpuhkan ISIS atau tidak membuahkan hasil yang bisa diharapkan oleh dunia Barat.
Kedua, selama dalam rentang 18 bulan yang lalu ISIS ternyata sukses mengerahkan puluhan dan bahkan ratusan pemuda Arab dan Muslim untuk melakukan operasinya di Eropa dan di berbagai tempat lainnya di dunia, baik itu dengan melakukan kontak langsung atau komunikasi lewat media sosial.
Waktu yang relatif singkat itu ternyata dapat memberi mereka ruang yang cukup untuk pelatihan tehnis pembuatan bahan-bahan dan alat-alat peledak.
Ketiga, dari Ledakan-Ledakan Brussels dan sebelumnya Paris, terungkap bahwa ledakan-ledakan ini tidaklah dilakukan oleh orang-orang yang gagal dan putus asa. Melainkan dilakukan oleh jaringan rapi dan terkendali yang menyebar diberbagai kota di Eropa, dimana para pimpinan-pimpinan operasionalnya dapat berhubungan langsung dengan para petingginya di Mosul-Iraq dan Al-Raqqah-Suriah, dan terakhir Sirt-Libya sebagai markas ke dua ISIS di Utara Afrika.
Keempat, ISIS (jika itu pelakunya) dapat dengan mudah dan cepat memindahkan berbagai operasi strategis militernya ke luar Timur Tengah, tepatnya ke jantung negara-negara yang bersekutu memerangi ISIS dibawah komando Amerika.
Itu berarti ISIS bukan ‘pemain remeh’ (Iraq-Suriah) melainkan sudah sukses melebarkan sayapnya untuk melakukan operasi-operasi balasan ke Eropa dan ke wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Eropa tepatnya di wilayah-wilayah sepanjang pesisir utara Laut Tengah.
Kelima, serangan di Brussels ini diyakini diback up oleh jaringan “Molenbeek”, sebagai balasan atas penangkapan pimpinan mereka Solah Abdessalam, dan juga untuk menghajar Barat yang melakukan intervensi militer ke Libya yang skenerionya sudah disiapkan sejak lama.
Kesalahan besar telah dilakukan pemerintahan-pemerintahan Eropa ketika mereka mengirim pesawat-pesawat tempurnya dan pasukan-pasukan khususnya ke Iraq, Suriah dan Libya untuk menumpas ISIS dan memborbardir para petingginya sejak 18 bulan yang lalu.
Mungkin tidak ada yang pernah mengira ISIS dan sejenisnya akan melakukan balas dendam akibat intervensi yang dilakukan Barat ini.
Itu terlihat pada proses penjagaan keamanan di airport-airport dan tempat-wisata Eropa sangat lemah, sehingga gampang dibobol.
Jika Barat memperkirakan adanya serangan balasan sudah barang tentu dari dulu sudah memperketat pengamanan mereka.
Sudah berulang kali –bahkan beribu kali– kami mengingatkan Barat, bahwa model solusi keamanan yang kini diterapkan Amerika dan konco-konconya dalam kampanye terorisme dan tindakan kekerasan, belum mencukupi, khususnya apabila tidak dibarengi dan dilengkapi dengan “politik nafas panjang” yang siap jantan mengakui kesalahan-kesalahan mereka di kawasan yang sudah mengakibatkan berbagai bencana.
Langkah pertama yang harus mereka lalukan Barat adalah mengakui kesalahan-kesalahan mereka yang berbuah bencana itu.
Kesalahan mereka yang berusaha untuk menggeser rezim-rezim Arab dengan menggunakan kekuatan militer demi kepentingan Yahudi-Israel dan demi membalaskan dendam dan kesumat serta kebencian-kebencian politik dengan berdasarkan keagamaan dan keyakinan Salibis-Zionis, namun dalam waktu yang sama tidak pernah mau menawarkan model-model alternatif yang lebih baik.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Barat tidak mengerti bahwa ISIS pada awal pertumbuhannya bukanlah menjadikan ibu-ibu kota Barat sebagai target serangan mereka. Paling tidak pada awal-awal munculnya hanya menginginkan wilayah. Dan yang menjadi fokus ISIS adalah melengserkan rezim-rezim Arab (yang bagi mereka anggap lemah dan tak bisa diandalkan).
Rezim-rezim inilah yang menjadi prioritas operasi mereka. Tetapi, operasi militer Barat dibawah komando Amerika dalam rangka mem-back up rezim-rezim bobrok Arab dan memperkuat cengkraman rezim-rezim tersebut terhadap rakyat yang terus menderita; menyebabkan prioritas ISIS menjadi kacau dan jungkir balik, yang harusnya tidak penting malah menjadi prioritas, hasilnya adalah ledakan Paris dan Brussels.* (BERSAMBUNG)
Abdel Bari Atwan adalah pemimpin redaksi Rai al-Youm, situs berita dan opini berbahasa Arab. Artikel diambil dari Rai al Youm, diterjemahkan Syafruddin Ramly