Oleh: Ady C. Effendy
EMPAT September lalu, negeri Vatikan dipimpin oleh Paus Francis mentahbiskan Bunda Theresa, seorang biarawati Katolik dalam sebuah upacara misa sebagai salah seorang santo/ orang suci dalam tradisi Katolik di depan lapangan St. Peter, Kota Vatikan.
Upacara pentabhisan wanita bernama asli Anjece Gonxhe Bojaxhiu menjadi St. Teresa of Kolkata atau Santa Teresa dari Kolkata dihadiri oleh banyak peziarah ke kota suci umat Katolik ini.
Kebesaran nama Mother Theresa menyeruak terutama di akhir 80an dimana ia sempat memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian 1979. Seingat penulis di dekade 90-an pun namanya masih menghangatkan media-media internasional dengan aksi philatropist (dermawan) nya yang selalu memperoleh liputan media besar dunia.
Dilahirkan di Skopje, Macedonia, dalam keluarga keturunan Albania Kosovo, dan kemudian berganti kewarganegaraan menjadi dua warganegara Bangladesh (1950-1997) dan sekaligus Albania (1991-1997) hingga kematiannya, Teresa dipuja sebagai pembela kaum papa terutama melalui rumah sakit untuk kaum miskin di Kalkutta, Bengal Barat, Bangladesh. Berbagai penghargaan diperolehnya baik di Bangladesh maupun didunia, namanya bahkan dijadikan sebagai nama bandara internasional Albania di Tirana.
Didukung oleh media dan mungkin jutaan pengikutnya, figur Mother (Bunda) Teresa bukan tanpa kontroversi. Michael Parenti, misalnya, seorang guru besar ilmu politik menulis artikel yang cukup kritis tentang Teresa. Menurutnya Teresa adalah salah satu contoh pentahbisan orang suci jalur cepat atau ‘fast-track’ yang banyak dilakukan oleh Paus John Paul II, yang selama 26 tahun kepemimpinannya menobatkan 483 orang menjadi santo atau orang suci.
Praktek pentahbisan orang suci/ santo ini memang dikembangkan oleh beberapa gereja yakni Ortodoks, Ortodoks Timur, Katolik Roma, dan Anglikan. Pentahbisan/ pengukuhan santo (canonization) tidaklah dikenal dahulu dimana santo/orang suci lampau tidak melalui ‘upacara formal’ untuk menjadi santo, sebelum ritual ini dikembangkan oleh gereja-gereja tersebut.
Bunda Theresa sendiri semasa hidupnya dibawah Paus Paulus II hanya mencapai status “yang diberkati” (beatification) yang menjadikannya dinilai dapat menjadi perantara dalam doa dan dijamin masuk surga.
Disisi lain, Parenti pun mengkritisi Teresa yang faktanya menerima uang miliaran dolar dari Charles Keating seorang rentenir yang dibelanya dihadapan pengadilan, pun Teresa dinilai menerima uang dari diktator Haiti Duvalier yang mengkorupsi uang dari dana publik Haiti.
Rumah sakit Mother Theresa di Bangladesh pun sangatlah buruk kondisinya dimana orang sakit hanya berbaring diatas matras bersama lima puluh hingga enam puluhan pasien tanpa perawatan medis memadai dalam gedung yang disebut Parenti “gudang manusia”.
Ironis, mengingat Theresa biasa beramah-tamah dengan kaum kaya raya dan ternama dunia karena didaulat sebagai ibu kaum papa dan ketika sakit dirawat di rumah sakit termahal dunia.
Klaim Teresa bahwa rumah sosialnya memberi makan hingga ribuan orang setiap harinya juga ‘mentah’ karena faktanya ia hanya memberi makanan tidak lebih dari 150 orang yang mencakup biarawati dan saudaranya. Sekolahnya di kalkutta pun hanya mendidik kurang dari seratus siswa sementara diklaim mendidik lima ribuan siswa.
Figur Mother Teresa dengan reputasi internasional ini tidak mengherankan dimanfaatkan juga oleh misi Kristen dunia untuk menyebar kegiatan misionarisme Katolik.
Artikel Wikipedia mengutip surat kabar Balkan Insight menyebut salah satunya, yaitu pendirian gereja Katedral Katolik Roma di Pristina, Kosovo, yang diumumkan tahun 2010 atas namanya.
Pembangunannya yang dimulai tahun 2011 menuai kontroversi mengingat kecilnya jumlah penganut Katolik di tempat itu, juga aksi misionaris yang membangun Patung Teresa di kota kecil Pec yang 98 persen penduduknya justru Muslim.
Fakta yang ada ini mendorong kita untuk merenungi lebih mendalam realita dan interkoneksi antara berita media, dunia global dan misionarisme.
Pastinya umat Islam tidak pernah kekurangan dalam hal filantropisme atau kegiatan kemanusiaan, banyak sumbangan-sumbangan kemanusiaan dari negeri-negeri Muslim teluk misalnya seperti Qatar, Kuwait, dsb yang bekerja secara sunyi dari liputan media dalam skala dan jangkauan yang jauh lebih besar namun tidak beroleh kemewahan liputan.
Tanpa Sorotan Kamera
Individu-individu Muslim selama ini dididik dengan tradisi filantropi (kepedulian social) seperti Idul Adha misalnya yang menebar jutaan hewan kurban bagi kaum miskin dan kelaparan di seantero bumi, karena menjalankan perintah-Nya:
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang Telah ditentukan atas rezki yang Allah Telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj [22]: 28)
Menafsirkan baris kalimat terakhir dari ayat ini, Ibn Katsir ra. menyatakan bahwa sebagian berpendapat untuk dibagi setengah, setengah untuk pelaksana kurban dan sebagian untuk kaum fakir.
Pandangan lain menyebutkan diatur sepertiga. Spertiga untuk si pelaksana kurban, sepertiga untuk dihadiahkan, dan sepertiga untuk disedekahkan ke fakir miskin.
Ikrimah ra. menerangkan bahwa yang dimaksud dengan (الْبَائِسَ الْفَقِيرَ) adalah seseorang yang ‘terjepit’ dan mengalami kesusahan (Tafsir Ibn Katsir, J. 5, ayat 417).
Idul Adha dan lagi ditambah tradisi-tradisi Islami lainnya seperti puasa dan zakat yang menempa jiwa sosial Muslim, tentulah jika dihitung, setiap individu Muslim tidak pernah kurang dalam aksi sosial yang dilakukan meski sepi dari sorotan kamera media dan berpribadi yang ikhlas lillahi ta’ala semata mencari balasan dari-Nya. InsyaAllah.*
Penulis kandidat doktor, pemerhati peradaban dan agama