Oleh: Yan S. Prasetiadi
AKHIR-akhir ini dalam isu perpolitikan nasional mulai bergulir wacana menarik, yakni koalisi antar parpol Islam. Umumnya pengamat jika berbicara koalisi parpol Islam, selalu mengenang romantisme poros tengah yang dianggap sebagai model koalisi parpol Islam yang baik.
Padahal kita sangat paham bahwa poros tengah dulu terbentuk sebenarnya karena pemilihan presiden masih di tangan parlemen. Tapi menurut beberapa pengamat, poros seperti itu memang agak sulit terwujud terlebih sekarang adalah era pemilihan presiden langsung.
Di lain pihak ada juga opini agar koalisi itu agar jangan terjadi antar parpol Islam saja, namun lebih baik koalisi sebagaimana sebelumnya, yakni koalisi parpol Islam dan nasionalis atau sekuler, konon hal tersebut demi menjaga keseimbangan dan pluralisme.
Tulisan ini tidak dalam rangka merumuskan parpol Islam mana saja yang layak berkoalisi, atau bahkan menentukan siapa yang layak kiranya menjadi capres koalisi parpol Islam tersebut, sebagaimana analis para pemerhati politik pada umumnya.
Begitupun tulisan ini tidak dalam rangka memprediksi apakah pada tahun politik kali ini, parpol Islam akan berhasil membentuk koalisi poros Islam ataukah tidak. Penulis menilai ada hal yang jauh lebih penting untuk dikemukakan disini, yakni hal penting yang menurut hemat penulis banyak dilupakan ketika berbicara seputar masalah koalisi antar parpol Islam.
Kejelasan Identitas
Sebelum parpol Islam menggebu-gebu untuk melakukan koalisi, parpol Islam wajib memperhatikan track record siapa parpol yang akan menjadi kawan koalisinya. Termasuk kelayakan parpol Islam itu sendiri untuk disebut sebagai parpol Islam. Syarat sebuah partai disebut parpol Islam adalah:
Pertama, berideologi Islam; hal ini adalah perkara fundamental, mana mungkin sebuah parpol disebut parpol Islam, jika tidak dengan jelas menyatakan dirinya ber-ideologi Islam. Karena itu, ini adalah syarat mutlak yang tidak boleh ada kompromi sedikitpun. Serta parpol juga wajib selalu menyuarakan Islam dalam setiap kesempatan. Kan aneh bin ajaib jika ada parpol mengaku parpol Islam namun selalu menyuarakan nasionalisme, liberalisme, pluralisme, trias politika, demokrasi dll.
Kedua, menempuh metode perjuangan politik yang digariskan Rasul Shallallahu ‘alaihi Wassallam, yang meliputi: (1) pembinaan atau kaderisasi anggotanya demi membentuk kepribadian Islam; (2) berinteraksi ditengah umat demi melakukan edukasi kesadaran politik kepada masyarakat, yakni kesadaran pentingnya kehidupan Islam yang terjamin dalam institusi politik kokoh, yang dalam bahasa fikih siyasah disebut dengan Khilafah atau Imamah al-‘Uzhma; (3) Melakukan konsolidasi politik dengan para tokoh dan pemilik kekuatan nyata (misal militer), agar parpol mendapat perlindungan dalam mewujudkan idealisme politiknya.
Ketiga, karena parpol Islam wajib berideologi Islam, sedangkan ideologi Islam tidak mungkin diperjuangkan oleh non Muslim, maka anggota partai jelaslah wajib orang Islam. Namun bukan sekedar muslim, dia harus memang sudah melalui kaderisasi matang dalam parpol tersebut dan betul-betul memahami ideologi partainya.
Jika salah satu dari tiga hal diatas hilang dalam diri parpol Islam, maka alih-alih koalisi parpol Islam terbentuk, kelayakan mereka menyandang predikat parpol Islampun tentu dipertanyakan.
Bentuk dan Tujuan Koalisi
Berdasarkan pemetaan yang melatarbelakangi terbentuknya koalisi, sebenarnya koalisi secara sederhana bisa diklasifikasikan menjadi dua macam, yakni: (1) koalisi ideologis, dan (2) koalisi non ideologis. Di antara dua bentuk koalisi ini tentunya koalisi ideologislah merupakan koalisi yang kokoh dan permanen. Ideologi yang dimaksud tentulah ideologi Islam, jadi bukan sekedar ideologi. Jika ideologi selain Islam yang menjadi perekatnya, maka itu disebut koalisi ideologi kufur tentunya, misal parpol berideologi sosialis dengan parpol yang sama.
Koalisi ideologis dalam term Islam maksudnya adalah koalisi berdasarkan kesamaan akidah Islam, dimana masing-masing partai menjadikan akidah Islam sebagai tolok ukur dalam kebijakannya dan syarat kaderisasinya, sehingga partai seperti ini tentunya tidak akan serampangan dan sembrono memasukan non muslim sebagai anggotanya. Serta tidak dengan mudahnya berkoalisi meski ditawari kursi menteri dan jabatan basah lainnya, sehingga mongorbankan akhirat hanya demi dunia.
Koalisi ideologis juga bisa dimaknai koalisi yang bertujuan mengusung dan memperjuangkan ideologi Islam agar seluruh aturan Islam terwujud dalam semua aspek kehidupan. Koalisi ideologis seperti ini tidak akan ragu dan bimbang dalam menyatakan model negara dan sistem pemerintahan yang akan mereka bangun. Negara yang akan mereka bangun tentunya adalah negara Islam, dan sistem pemerintahan yang akan mereka instal tentunya sistem pemerintahan Islam, dalam bahasa fukaha adalah Khilafah Islamiyyah atau Imamah al-‘Uzhma. (lihat: Dr. Sulaiman ad-Dumaiji, al-Imâmah al-‘Uzhmâ’ ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, Riyadh – Dar at-Thayyibah, 1408 H).
Sedangkan di sisi lain terdapat koalisi yang mesti dihindari parpol Islam, yakni koalisi model kedua, yaitu koalisi non ideologis. Koalisi ini sangat berbahaya bukan semata-mata karena menyebabkan politik transaksional semata. Namun berbahaya karena akan menjadikan Islam hanya simbol dan polesan demi meraup suara umat, yang berdampak pada perusakan citra Islam itu sendiri, hal inilah yang sangat digemari para politikus liberal, bahkan mereka dorong demi menjebak umat Islam. Koalisi non ideologis ini bisa beragam bentuk dan caranya, namun ciri utamanya adalah koalisi yang mensyaratkan agar parpol Islam lebih terbuka dan ramah terhadap ideologi calon partai koalisinya, dimana ideologi partai koalisinya tentu bukanlah Islam.
Penulis melihat dalam konteks praktik politik demokrasi kini, koalisi non ideologis seperti ini selalu berulang-ulang terjadi, hal ini karena aturan main politik demokrasi memang selalu tidak menguntungkan Islam. Jika demikian, parpol Islam yang ada kini, harus segera mengevaluasi diri, agar koalisi non ideologis dan sangat berbahaya tersebut tidak mereka lakukan. Namun dengan realitas praktik politik demokrasi yang mahal dan cenderung sekuler, koalisi parpol Islam yang ideologis apakah bisa terjadi? WAllah Subhanahu Wata’alau a’lam.*
Penulis dosen Studi Islam, STAI Darul Ulum Purwakarta, Jawa Barat, aktivis HTI