Hidayatullah.com | aktsaru minal auqat (kewajiban lebih banyak dari waktu yang tersedia). Inilah fakta yang tidak terbantahkan. Terutama karena seseorang yang selalu mengkorelasikan kata ‘kewajiban’ dalam bingkai dakwah.
Seorang dai (juru dakwah) secara manusiawi kadang merasa berputus asa ketika berdakwah, karena merasa sudah mengerahkan segala potensi, argumentasi dan dalil, namun tidak mendapatkan sambutan yang menggembirakan dari sang mad’u (objek dakwah).
Rasa putus asa itu tidak akan pernah terjadi bagi seorang dai yang memahami hakikat waktu dalam perjalanan dakwah. Nabi Nuh AS yang sudah berusaha sekuat kemampuan mendakwahi kaumnya agar kembali kepada Allah, siang dan malam, selama 950 tahun lebih, hanya sekitar 80 orang yang mengikuti seruan dakwahnya.
Hal ini pula yang selalu diingatkan kepada kita sebagai dai oleh sang murobbi, Ustadz KH Hilmi Aminuddin bahwa jalan dakwah itu panjang, hendaknya ia selalu dirawat dengan kasih sayang, disiram dengan keistiqamahan, dipetik dengan penuh perjuangan.
Lebih lanjut, beliau menyampaikan, nilai kita sebagai manusia ditentukan oleh amal perbuatan kita, bukan oleh perlakuan yang kita terima. Kualitas seseorang diukur dari kebaikan atau keburukan yang dilakukannya, bukan dari kebaikan atau keburukan yang diterimanya.
Hal yang mesti dipahami oleh seorang dai adalah bahwa usia dakwah itu lebih panjang dari usia seorang dai itu sendiri. Hasil dakwah menjadi hak prerogatif Allah yang hanya diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya untuk menyambut seruan dakwah, seorang dai hanya berkewajiban terus berdakwah hinggal ajal menjemputnya.
إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”” (QS: al-Qashshash [28]: 56).
Seorang dai berinteraksi dengan pribadi buruk di bawah keburukan pemikiran dan moral. Hal ini bisa menjadi penghalang bagi dai untuk berkomunikasi dengan mad’u. Atau, dai berada di satu alam dan mad’u di alam yang lain, di antara keduanya terjadi kesenjangan nilai. Karena itu, terjadinya respon cepat yang tidak proporsional dan wajar, bertentangan tabiat segala sesuatu.
Sesungguhnya kata-kata (materi dakwah) yang diucapkan (disampaikan) oleh sang dai tidak akan sia-sia, pasti merasuk ke dalam pikiran sang mad’u dan akalnya, kelak akan memilih dan menjadi akumulasi pengalaman yang baik.
Sesungguhnya pengaruh kata-kata yang diucapkan beberapa tahun yang lalu akan membuahkan sikap dan membuatnya kembali mengenang pengalamannya. Apa yang diucapkan oleh dai akan didapati (dirasakan) setelah beberapa tahun kemudian.
Pemilihan waktu dalam dakwah adalah hal yang penting, ada waktu seseorang menyendiri, dan tidak siap menerima pemikiran. Dakwah akan berpengaruh dalam suasana dan kondisi yang kondusif, pada sang dai dan mad’u. Karenanya, seorang dai hendaknya memilih waktu yang tepat dengan kendala dan hambatan yang minim.
Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata: “Nabi ﷺ mengatur pemberian nasehat pada hari tertentu, khawatir akan membuat kami bosan. (HR Bukhari).
Seorang dai tidak bijak jika terlalu lama mengajarkan kepada mad’u, sehingga membuatnya gelisah dan bosan. Memberi materi dalam waktu yang tidak terlalu lama, membuat mad’u rindu ingin menyempurnakan pelajaran dan menginginkan tambahan.
Sikap emosional terhadap sang mad’u dapat berdampak buruk, apakah mad’u menolak atau menerima, keduanya berbahaya jika terjadi sebelum waktunya. Mad’u akan bersikap menerima atau menolak lebih dominan karena paksaan, bukan pilihan.
Ketika mad’u menyatakan menolak, sesungguhnya ia tergesa-gesa mengambil sikap, sebelum menerima gambaran dakwah secara utuh. Penolakannya adalah sikap terhadap dakwah, dan tidak mudah merubah sikapnya, sebab biasanya seseorang akan kokoh dengan pendiriannya. Hal ini disebabkan oleh sang dai yang terburu-buru untuk memetik buah dakwah sebelum tiba masa panennya.
Sebaliknya, sang mad’u yang terlalu cepat menerima, tidak lama setelah itu akan mendapati dirinya tidak mampu memikul beban dan kewajiban yang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya. Padahal, jika bisa menunggu sebentar, tidak akan terburu-buru mengambil sikap itu, sehingga menjadi jelas mana sikap yang normal dan prematur, munculnya sifat dusta dan munafik karena faktor tergesa-gesa.
Seandainya dibuka terlebih dahulu kesempatan berfikir dan merenung, pasti ia akan mengambil sikap mendasar dan orisinil. Jalan terbaik adalah jangan emosional dalam mengeluarkan pernyataan. Tetapi, minta kepada mad’u agar tidak terlalu cepat mengambil sikap, seraya terus terang kepadanya tentang tantangan dan konsekuensi menerima dakwah secara positif dan realistis.
Sesungguhnya waktu merupakan unsur yang dapat meringankan intensitas seorang dai dan mengantisipasi sikap putus asa yang kadang menimpa, dan membuka pintu cita-cita. Karena itu, seorang dai dituntut memahami waktu dalam dakwah.
Semoga Allah memberikan kesabaran dan keteguhan kepada para dai agar dapat istiqamah menapaki jalan dakwah yang panjang dan mendapatkan hasil dakwah yang terbaik.*/ Imam Nur Suharno, Pengurus Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Kabupaten Kuningan, Jawa Barat