Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Kasihan guru Hervina, kasihan nasibnya. Sudah 16 tahun mengabdi sebagai guru honorer di salah satu SDN, di Bone, Sulawesi Selatan.
Kasusnya hanya sederhana, karena saking senangnya ia meng- upload gajinya yang Rp 700 ribu di media sosial. Nasibnya menjadi nelangsa.
Ia langsung dipecat sang kepala sekolah sebagai guru di SDN itu, tempat pengabdiannya selama ini. Itu karena unggahannya viral menggelegar.
Satu pihak, guru Hervina, meng- upload itu karena riang gembira mendapatkan hak gajinya, uang halal atas jerih payahnya sebagai guru selama sebulan.
Sedang pihak lainnya, kepala sekolah, yang lagaknya percis bak Menteri Dikbud, Mas Nadiem Makarim, saat mendengar ada SMKN di Padang, Sumatera Barat mewajibkan siswinya yang non-Muslim memakai hijab, langsung instruksinya pecat kepala sekolahnya.
Kepala Sekolah di tempat guru Hervina mengajar, itu pun lalu mengikuti jejak sang Menteri, memecatnya. Tidak tahu persis apakah ada pejabat di atasnya yang menelpon untuk memecat, atau inisiatifnya sendiri.
Alasan pemecatan itu katanya, karena ada 2 guru baru ASN, maka itu yang lebih diutamakan. Dan lalu guru honorer belasan tahun itu dipecatnya. Bisa jadi itu cuma alasan pembenar pemecatan, meski dengan alasan tidak manusiawi.
Baca: CAP Adian Husaini: Jiwa Guru
Banyak yang lebih percaya, pemecatan itu karena langkah guru Hervina dianggap memalukan sekolah, yang cuma bisa menggaji guru belasan tahun dengan gaji seuprit.
Tidak ada yang tahu persis, meski guru Hervina mengatakan, bahwa tidak ada niatan lainnya kecuali rasa senang mendapatkan gajinya itu, atau justru itu bentuk “pemberontakan” agar nasibnya, dan nasib guru-guru honorer lain di seluruh negeri bisa terangkat.
Meski itu diniatkan sebagai perlawanan lewat medsos, itu haknya. Tidak ada aturan larangan meng- upload gaji yang diterima. Memang hal tidak patut, tapi bukan perbuatan terlarang, apalagi pelanggaran yang sampai harus diganjar dengan pemecatan.
Belasan tahun jadi guru honorer, itu pengabdian luar biasa. Sungguh miris jika karena kesalahan yang debatable, lalu pengabdian panjangnya itu terhapus, seperti debu tersapu angin.
Baca: Belajar Tanpa Guru Berakibat Melahirkan Rusak Pemikiran
Mas Nadiem Dengar Gak, ya?
Tidak juga persis tahu, apakah Mas Nadiem dengar tidak ya nasib guru Hervina itu, semacam ia dengar masalah pemaksaan pemakaian hijab di Padang. Kalau di Padang dengar, mustahil di Bone tidak didengarnya.
Dari segi pemberitaan dan penyikapan soal “pemaksaan” penggunaan hijab, yang di Padang tentu lebih seksi, dan karenanya menjadi pintu masuk terbitnya SKB 3 Menteri.
Sedang kasus yang dihadirkan guru Hervina, itu kasus tidak seksi, bahkan bisa menjebak terbitnya keputusan menteri, berkenaan penetapan maksimal guru honorer bisa diangkat menjadi guru tetap. Ini justru yang dihindari.
Baca: 6 Guru Honorer Pro Prabowo Yang Dipecat Gajinya Belum Dibayar
Permasalahan guru honorer, ini tidak kunjung bisa diatasi oleh rezim yang lalu-lalu, maupun yang sekarang. Nasib guru honorer terkatung-katung. Tidak lebih baik dari nasib nelayan.
Maka tidak sedikit nasib guru honorer yang sepanjang pengabdiannya tetap sebagai guru honorer. Tidak pernah merasakan diangkat sebagai guru tetap. Bahkan sampai wafat pun, bermimpi diangkat sebagai guru tetap tidak pernah dirasakan.
Tidak tahu persis bagaimana kelanjutan nasib guru Hervina, yang hidup bukan di zaman romusha. Apakah nasibnya berbuah manis, karena peruntungannya disikapi secara baik, atau justru sebaliknya.
Jika sebaliknya yang terjadi, itu sama dengan negara tidak hadir menyapa dan membela selayaknya atas hak-haknya. Tentu tidak berharap yang demikian, agar kata zalim tak sempat keluar dari mulut ini. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya